Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #24

Trilogi Semi di Pancaroba

Pak-puk-pak-puk, tak-tek-tak-tek. Ritme begitu selalu digambarkan pikiran Rayla sendiri selama kurang lebih empat hari belakangan ini tatkala ia menjalani pekan pertama UTS genap di kampusnya. Hari-hari pertama kemarin diisi dengan UTS model seat-in di kelas-kelas kampus, dan baru kali ini untuk beberapa hari kedepan selama sisa UTS ia akan mengerjakan ujian model take home exam alias ujian berbentuk PR atau tugas untuk dikerjakan di rumah. Dan terang saja ia paling antusias menanti model ujian seperti ini apalagi ia baru pertama kali mengalaminya di semester dua ini. Sedangkan di semester satu lalu semuanya masih berbentuk seat-in di kelas.

Bangun dari tidur siang, mata Rayla mengerjap-ngerjap menangkap bayangan seisi ruangan yang ternyata bukan rumahnya sendiri. Dirinya menyadari betul, ruangan yang siang hari ini dirinya singgahi memiliki ukuran lebih kecil ketimbang kamarnya sendiri di rumah. Masih mengerjap-ngerjap, ia lalu mendapati sosok Stevie tengah terlelap di sampingnya. Pakaian yang gadis itu kenakan sama seperti Rayla, berupa sepotong kaos oblong.

Kemudian sekonyong-konyong Rayla teringat sesuatu. Hari ini begitu merampungkan UTS untuk mata kuliah Perekonomian Indonesia, dia sudah kepalang berjanji dengan Stevie untuk mengerjakan take home UTS HI Kawasan bareng-bareng di rumah sang nenek. Letaknya di daerah Dago atas, dari terminal mengambil jalan belok kiri ke arah jalan alternatif menuju Lembang dan lalu belok kanan melintasi gugusan pohon. Di depannya nanti akan menemui perempatan dan agar bisa mencapai rumah nenek Stevie wajib mengambil jalan lurus. Usai mengitari separuh komplek baru kemudian sampai di rumah nenek Stevie.

Teringat janjinya tadi Rayla segera beringsut menyibak selimut. Ia bergegas meraih tas ranselnya di dekat pintu, mengangkat laptop ‘HP’ dari dalam tas. Gulungan kabel ia panjangkan supaya mampu mencapai terminal colokan di tembok. Tidak hanya itu sekotak nasi goreng kambing nan hangat masih turut ia keluarkan dari ransel menimbulkan gemerisik suara di kamar. Mendengar suara kresek-kresek Stevie ikut bangun sekarang. “Kamu bangun kapan?” Tanyanya dari belakang sedikit mengagetkan Rayla. “Baru kok, ada kira-kira lima menit. Kuy kerjakan take home UTS HI Kawasan dulu, langsung sekarang saja…” Rayla mengajak Stevie bekerja lebih cepat agar lebih cepat selesai pula. Stevie tidak langsung menjawab━hanya menguap lebar pertanda ia masih mengantuk.

Sejurus kemudian ia menyibak selimut dan bergegas keluar kamar. “Mau kemana?” Tanya Rayla melihat Stevie bergegas keluar kamar. “Ke kamar mandi, sebentar ya.” Ujarnya tidak tahan lagi. Namun bukannya pergi ke arah kamar mandi dekat pintu dapur, Stevie malah melipir dulu ke ruang tamu. Rayla tahu arah langkahnya kini mencoba mengintip dari lubang pegangan pintu lainnya yang bolong━langsung mengarah ke ruang tamu. Dari sini Stevie terlihat sedang berdiri di ambang pintu kamar depan tempat kakek juga neneknya beristirahat seraya bergelagat menahan keinginan ke kamar mandi. ABG cantik ini berusaha menahan sekuat tenaga mungkin demi memastikan kakek-neneknya masih tidur siang.

Baru setelahnya ia menarik nafas lebih lega. Dan begitu mendapati Rayla sudah mulai mengerjakan soal UTS HI Kawasan ia pun langsung cepat-cepat mengeluarkan peralatan serupa dari tas kuliahnya. Sekotak bungkus nasi goreng kambing hangat ia tarik dari dalam supaya dapat melahapnya bersama Rayla. “Kita disuruh ngapain ya di soal ini?” Stevie membuka interaksi lewat secuil pertanyaan. Jari kelingkingnya menunjuk pertanyaan pada lembar soal tepat di atas lutut kanannya. “Kayaknya gampang-gampang saja sih, cuma menuliskan definisi globalisasi menurut kita + contoh kasusnya terutama non-militer. Begitu juga dampaknya.” Rayla berhenti mengetik sejenak. “Kamu bahas contoh kasus apa?” Stevie bertanya lagi. “Krisis Moneter 1997-1998.” Ujar Rayla.

 Ia kini tengah asyik menuliskan definisi globalisasi berdasarkan sumber referensi buku yang ia bawa sendiri. Internet menjadi sumber pelengkap. Di belakangnya Stevie juga ikut mengerjakan hal yang sama dan Rayla sendiri amat lancar menjawab definisi globalisasi hingga ia berhasil menemukan kesulitannya sendiri. Saat akan menuliskan contoh kasus beserta dampaknya ia baru menyadari Krisis Moneter 1997 lanjut Krisis Politik sekaligus Reformasi 1998 sepenuhnya melahirkan ancaman militer. Terbukti kerusuhan adalah contohnya yang paling nyata. Adapun penjarahan serta pemerkosaan warga sipil dalam peristiwa itu pun masih tergolong ancaman militer pula. Maka tak heran lagi jika Rayla kebingungan sendiri mencari contoh ancaman non-militernya. Dia lalu berhenti sejenak, menggaruk-garuk tempurung lututnya mencari topik selain Krisis 1997-1998. “Ray, kenapa kok berhenti?” Ternyata Stevie melihat Rayla sedang kebingungan. “Mandek tiba-tiba Stev. Aku enggak tahu contoh ancaman non-militer zaman Krisis 1997-1998.” Keluhnya hampir putus asa.

“Cari case study lain atuh. Krisis 1997-1998 mah didominasi ancaman militer. Susah banget mencari contoh ancaman non-militernya.” Terang Stevie membenarkan keluhan Rayla tadi. Mendengar ucapan Stevie yang demikian, tanpa berpikir panjang-lebar lagi Rayla langsung memencet tombol ‘Delete’ melenyapkan semua tulisannya tentang ancaman militer di era Krisis 1997-1998 berikut imbasnya terhadap dinamika globalisasi kala itu. Baginya jelas sulit sekali menemukan ancaman selain kekerasan bersenjata dari aparat keamanan kepada warga sipil kala itu. Perempuan pemilik rambut panjang nan bergelombang ini jadi harus berpikir keras memikirkan apa saja contoh kasus berikut ancaman non-militer yang bisa ia sandingkan bersama definisi globalisasi.

Merasakan ‘writers block’, ia lalu memutuskan keluar kamar mengenakan penampilan yang sama bagai Stevie saat keluar kamar hampir sejam lalu. Tujuannya adalah dapur di belakang. Ia merogoh gelas yang lalu ia isi pakai segelas air putih dari dispenser. Nyess… Dinginnya menjalar sampai ke ulu hati membuat ia tak sungkan menambah segelas lagi. Lalu ketika ia meneguk untuk kedua kalinya sekonyong-konyong ia mendengar suara derap kaki dari depan. Ia kaget mendengarnya, kemudian melihat ke depan. Pintu kamar utama hampir terbuka, menandakan kakek atau nenek Stevie sudah bangun tidur siang. Hanya sedetik berselang kakinya terlihat.

Rayla yang sadar ia akan menemui orang lain dalam keadaan tanpa celana luar terburu-buru menaruh gelasnya di dekat rak piring. Gadis kelahiran tahun 2000 ini lalu berlari sekencang angin melewati lorong pemisah ruang keluarga dengan kamar mandi dan sepetak ruang kecil di sampingnya menuju kamar tengah tempatnya bersama Stevie. Begitu masuk ia menghembuskan nafas lega, beruntung tidak dilihat siapapun. Tetapi rasa penasarannya tetap saja bersemayam. Lalu ia mengintip dari balik tirai pintu. Orang yang tadi memperdengarkan derap langkah kakinya sekarang telah menampakkan tubuhnya penuh secara utuh. Wujudnya adalah seorang perempuan lanjut usia, berambut pendek seleher telah memutih alias penuh uban, kulit putih namun telah mengerut sekujurnya karena faktor usia. Beliau adalah nenek Stevie, akrab disapa Oma Winarti.

Tidak lama seseorang berwujud nyaris serupa menyusulnya, namun bedanya kali ini dia seorang laki-laki lanjut usia. Rambut putihnya disisir rapi, sangat tipis memenuhi sekujur kepalanya. Bajunya pun amat simpel yakni hanya sepotong kaos oblong dan celana panjang sedangkan istrinya tadi memakai daster serta baju hangat. Pria tua ini adalah kakek Stevie, cucu-cucunya biasa memanggil beliau Opa Hartono. Ia menyusul Oma Winarti ke dapur dan berbincang-bincang di sana. Dari pendengaran Rayla di kamar, pasangan lanjut usia ini diketahui menyingkirkan gelas air putih yang tadi ia pakai minum di sana berdasarkan percakapannya walau mereka tak secara pasti menyebut siapa pengguna gelas tersebut. “Paling Stevie atau teman kuliahnya itu.” Imbuh Opa. Mereka lalu banyak berada di sana memperbincangkan nanti mau masak apa padahal masih siang.

Lihat selengkapnya