Vespa putih nan mengkilap keluaran pabrik era 1980/1990an itu menderum, lalu berhenti tepat di samping Warung Pak Awan, sebuah warung masakan pemilik bangunan berukuran kecil yang letaknya persis di depan gerbang rektorat. Dari atas motor itu, seorang laki-laki muda turun dengan melepas helm cokelat andalannya seraya mengenakan jaket sewarna. Rambut poninya mengkilap begitu ia membuka helm dan kacamatanya sesekali menangkap pantulan bayangan dari aneka jenis kendaraan yang melintas di depan kampus. Beres berdandan, laki-laki muda ini lalu beranjak ke warung di sebelah tempat motornya terparkir. Persis saat ia datang, Pak Awan sang pemilik warung dengan usia yang sudah lanjut namun gagah perkasa ini baru saja selesai memasak gorengan berupa bala-bala, tahu isi dan pisang goreng.
“Ya silahkan masuk aa.” Pak Awan memberi jalan bagi Matthew, lelaki yang tadi memarkirkan motornya di samping warung. Tanpa basa-basi Matthew langsung masuk warung Pak Awan, memilih-milih gorengan yang ada di etalase depan menghadap gedung rektorat. “Sok dipilih dulu, harga gorengannya seribu semua.” Imbuh Pak Awan tanpa sempat ditanya harga. Tangan Matthew lalu merogoh kantong pembungkus dari kertas di laci bawah, memasukkan tiga butir bala-bala, tiga butir tahu isi dan tiga butir pisang goreng. Total harga semuanya 9 ribu dan ia membayarnya pakai uang 10 ribu. Jadilah kembali seribu hinggap di tangannya. Beres transaksi ia lalu beranjak pergi keluar warung mengetahui saking sempitnya warung tersebut. Persis ia keluar, dua gadis sebayanya datang menyergap dari arah gerbang di sisi utara warung.
Mereka terpekik melihat Matthew ada di sana. Dan berhubung posisinya sudah begini, mereka pun segera mengobrol di depan Warung Pak Awan. “Kang Memet apa kabar? Meuni sudah lama enggak ketemu…” Stevie menyapa Matthew duluan. “Baik Stev, Ray. Kalian berdua di HI gimana, sehat-sehat semua?” Balas Matthew girang. “Alhamdulillah sehat. Kuy makan gorengan dulu.” Stevie dan Rayla lalu menuruti Matthew, duduk di depan Warung Pak Awan.
“Btw kuliah di Administrasi Bisnis gimana Matt, lancar?” Kali ini Rayla membuka interaksi.
“Ya Puji Tuhan kuliah di Administrasi Bisnis lancar. Anak-anak sana semuanya baik, jadi aku betah kuliah di sini. Enggak ada salahnya dulu gagal SBMPTN terus langsung masuk sini.” Matthew memberi jawaban seraya mengenang masa lalunya yang terjadi hampir setahun silam. Kunyahan gorengan melanjutkan cerita untuk sementara waktu.
“Betul Matt, enggak ada salahnya dulu gagal masuk kampus negeri terus langsung dapat jalan ke sini. Sekarang aku malah betah di sini.” Ujar Rayla mensyukuri kondisinya sekarang. Di sampingnya Stevie turut berperasaan sama. Gagal masuk program studi DKV tahun lalu justru mengantarkannya menjadi tetap lebih dekat dengan Rayla. Kenikmatan-kenikmatan yang ada di sana turut ‘memperdaya’ dirinya menjadi betah menjalani perkuliahan di sini. Namun diam-diam gadis Tionghoa ini teringat Fariq, pacarnya yang sedang menempuh pendidikan pilot pada salah satu akademi penerbangan di kota Bandung. Ia ingat, obrolan bersamanya tahun lalu mengasumsikan Fariq akan lulus sekolah pilot dalam waktu satu tahun. Artinya kalau Fariq masuk kuliah pilot di Bulan Agustus 2017 lalu, maka dia akan lulus bulan Agustus 2018 ini.