Telinga Rayla kembang-kempis sendiri sejak mendengar kata “media visit” yang diucapkan Mas Alvin di pertemuan pertama kelas Isu-isu Global pasca UTS minggu lalu. Dosen tersebut sengaja mengatakan “media visit” dengan maksud memeriksa silabus mata kuliah untuk semua pertemuan selepas UTS sampai nanti UAS. “Untuk sisa tujuh pertemuan ini ada kemungkinan kita terpotong banyak libur belum lagi saat nanti kalian ikut media visit bulan April. Tapi kayaknya saya perlu cek kalender lagi.” Imbuh Mas Alvin. Maka sejak Mas Alvin bilang seperti itu Rayla segera bersungut-sungut mencari tahu apa maksud “media visit” itu gerangan sampai akhirnya ia menemukan sendiri jawabannya dari kiriman salah seorang temannya di grup Line angkatan HI 2017. Ia lalu membacanya dengan seksama.
Persis bagai namanya, media visit merupakan program kunjungan Mahasiswa HI secara berombongan ke kantor-kantor media massa baik itu cetak, elektronik maupun televisi di Jakarta. Kegiatannya sendiri berlangsung selama dua hari (menginap satu malam) dan tentu saja pergi ke tempat tujuannya menggunakan bus. Sebagian tempatnya bersifat wajib dikunjungi semua, sebagian lagi bersifat pilihan disesuaikan dengan kode busnya. Dalam kiriman informasi di grup angkatan tersebut, tidak lupa disertakan pula list kamar tempat menginap. Mulanya Rayla antusias ingin ikut acara tersebut sampai ia menyadari mayoritas mahasiswa pesertanya adalah angkatan 2016 disusul sisanya 2015. Artinya kegiatan ini lebih banyak diikuti angkatan atas, bukan angkatan bawah. Dan melihat hal begitu Rayla jadi menimbang-nimbang lagi. Ia mendadak berpikir dua kali apakah mau tetap ikut media visit ataukah tidak alias tetap stay di Bandung saja.
Lagi pula tempatnya hanya mengambil pilihan di Jakarta seperti tahun-tahun sebelumnya yang ia dengar dari kawan-kawannya. Sadar akan hal demikian Rayla mengambil keputusan sepihak sendiri, tidak jadi ikut media visit. Lokasi yang sudah sering ia datangi dan pendeknya durasi waktu pelaksanaan kegiatan menjadi pertimbangan besarnya kini. Ia memilih tetap menjalani kuliah di dan menanti kesempatan lain ke kota di luar Jakarta. Kembali lagi ke kampus. Sore hari begitu kelar kuliah Sosial Budaya Indonesia dan Hukum Indonesia ia menghabiskan waktunya sejenak lewat ritual ibadah rutin Shalat Ashar lalu pulang. Di sepanjang perjalanan pulang inilah pikirannya tak kenal henti mengingat-ingat bayangan seseorang terdekatnya empat tahun terakhir ini. Dari tadi ia terus memikirkan kapan orang itu akan datang dan bertemu dengannya.
Dan jelas siapa lagi kalau bukan Tiffany. Remaja putri 15 tahun itu akan datang ke Bandung hanya dalam hitungan hari apalagi Jumat besok adalah libur long weekend. Sampai hari ini kurang dari tiga hari menjelang hari H long weekend Rayla masih belum tahu kapan Tiffany akan sampai di kota kembang serta bagaimana caranya. Alhasil tak ada pilihan lagi selain menghubungi Stevie. Dirogohnya telepon seluler dari ransel, dan dia lalu mulai mengetikkan pesan untuk sahabatnya itu. Semenit-dua menit terkirim belum ada balasan. Baru 10 menit usai terkirim Stevie memberi balasan. “Tiffany juga baru DM[1] aku setengah jam lalu via Instagram. Dia bilang mau datang hari Kamis malam naik kereta via Jakarta terus langsung menginap di rumahku. Jumat mau langsung jalan ke Dago Dreampark di daerah Dago Atas sana. Kalau mau, yuk jalan bareng 😃😃.” Rayla sumringah mendapat tawaran menggiurkan tersebut hari ini. Rasanya senang kalau pergi bareng mereka.
***
Pada jam kuliah HI Kawasan hari ini Rayla sulit fokus karena terus memikirkan libur long weekend besok. Apalagi ditambah kedatangan Tiffany malam ini naik kereta dari Bogor via Jakarta. Dia semakin sulit mengendalikan pikirannya. Namun bagaimanapun dia tetap wajib memperhatikan presentasi pertama temannya yang hari ini kebagian membahas regional Afrika. Topik pembahasan mereka didominasi isu perjuangan Presiden Afrika Selatan ke-9 Nelson “Tata Madiba” Mandela (1994-1999). Mereka menceritakan dominasi warga kulit putih atas kulit hitam di Afrika Selatan selama puluhan hingga ratusan tahun. Dan Nelson Mandela sendiri termasuk daftar orang yang tidak gentar memperjuangkan kesetaraan hak warga kulit hitam di Afrika Selatan walau badai menghadang termasuk saat ia harus mendekam di balik jeruji penjara selama 27 tahun karena tanpa tedeng aling-aling menentang penjajahan bangsa Barat di negaranya.