Ting-tung!
“Tumben komputer tablet gue sudah bunyi kencang-kencang sepagi ini. Lagian siapa sih yang sudah DM[1] sepagi ini?” Tanpa sengaja Rayla menyisipkan kata “gue” di dalam kalimatnya yang terucap pagi buta ini sebangunnya ia dari tidur semalam. Rasanya jarang sekali ada orang mengiriminya pesan singkat di kala matahari belum terbit seperti ini. Dan mengenai terselipnya kata “gue” dalam ucapan Rayla sepersekian detik lalu, adapun itu seringkali terucap karena telah menjadi kebiasaan sejak dirinya kuliah. Ia sering menggunakan kata “lo-gue” saat berbicara dengan teman-teman kuliahnya yang berasal dari Jakarta sehingga tak heran lagi hal tersebut jadi sering terbawa sampai ke rumahnya sendiri. Lalu tanpa basa-basi lagi ia segera membaca pesan itu.
“Siapapun tolong catat rute penerbangan bapak ini ya: CGK-DPS-HKG-CGK-NRT. Itu buat jaga-jaga saja, karena pilot lain (termasuk Kapten Harsono) sudah laporan via WA Grup Pilot, security checking di Bandara Soekarno-Hatta sudah mulai diperketat sejak muncul laporan kerusuhan Mako Brimob semalam.” Tulis bapak di Whatsapp Grup keluarga yang dibuat hampir setahun lalu. Aduhai, tumben sekali bapak menulis pesan singkat segenting ini di grup percakapan keluarganya sendiri. Membaca tulisannya saja Rayla sanggup menerka-nerka raut wajah bapak dari kejauhan sana. Ekspresi khasnya yang memperlihatkan alis terangkat diikuti kumis tipis pasti tampak ke permukaan saking cemasnya mengikuti perkembangan berita sejak semalam. Di pelupuk matanya barangkali sudah terbayang-bayang seperti apa situasi di Jakarta serta nasib keluarganya di Bandung semalam.
Namun Rayla menyadari ada sesuatu yang janggal dari bapak. Rasanya bapak ada di Bandung sampai hari ini. Tetapi kenapa beliau justru mengatakan sesuatu lewat pesan singkat? Tidak secara lisan saja kepada semua anggota keluarganya di rumah. “Halo, siapapun yang baca tolong jawab ya.” Pesan singkat kedua yang baru saja terkirim semakin memperlihatkan kepanikan bapak. Rayla yang dari tadi diam saja, mematung di depan layar komputer tabletnya segera saja mengirim balasan secepat kilat. “Ehh iya bapak, ini rute penerbangannya aku catat ya. Bapak sekarang dimana sih? Kayaknya, juga seharusnya bapak di Bandung sampai hari ini deh.” Balasan Rayla terkirim tepat pukul 04.50 WIB, hanya 15 menit usai kumandang adzan Subuh. “Bapak masih di jalan ke Bandara Soekarno-Hatta, ini sudah lewat Simpang Susun Tomang. Berangkat dari Bandung semalam jam setengah sembilan waktu kamu sudah tidur. Duh maaf bapak lupa pamitan.” Imbuhnya panjang lebar.
Sambil menunggu bapak memberi update kabar tentang mendadak gentingnya situasi keamanan di sekitar Bandara Soekarno-Hatta, Rayla menutup percakapan bersama bapak sambil membuka pintu kamarnya. What an eminent situation. Rayla ‘memanjangkan leher’ ke sekelilingnya, mendapati suasana di sekujur area rumahnya dari ruang tamu ke ruang makan di belakang masih gelap gulita. Hanya ada sebutir bohlam neon yang menerangi celah di dekat pintu pemisah ruang tv dengan area belakang rumah. Orang selain dirinya, termasuk Christoff masih kembali tertidur lelap usai shalat Subuh tadi. Adapun Rayla sendiri sengaja tidak shalat karena sedang ‘halangan.’
Masih sepinya situasi rumah di pagi buta ini dimanfaatkan Rayla untuk langsung menyetel televisi seperti saat menyaksikan berita mengenai kemenangan PM Mahathir tempo hari. Layar televisi LED rumahnya memunculkan gambar serta rekaman video amatir tentang rusuhnya serangan di Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob) Kelapa Dua, Depok-Jawa Barat. Keterangan pembawa acara breaking news Subuh ini tertuang seperti orang sedang berbicara sambil berlari terbirit-birit, bahkan jadi seperti orang kesetanan dikejar monster.
Kelopak mata-daun telinga Rayla kompak berkoordinasi satu sama lain menangkap informasi dari breaking news tadi, menyadari bahwa Mako Brimob sudah chaos sejak semalam pukul sembilan seiring ia tertidur hingga keberangkatan bapak ke Jakarta. Chaos-nya situasi tersebut bermula dari area sel penjara bagi para tahanan atau narapidana terorisme yang sempat mengeluhkan kurangnya jatah makanan kepada aparat kepolisian yang menjaga mereka di sana. Entah karena miskomunikasi atau keluhan para napi terorisme yang tidak digubris itu, mereka lalu memberontak semakin keras sampai harus menganiaya serta menyandera sejumlah polisi di sana. Alhasil kerusuhan pun pecah, tak terbendung sekaligus tak tertahankan lagi. Aparat kepolisian lalu ‘mengencangkan sabuk pengaman’, bersiaga membendung kerusuhan agar tak meluas keluar Mako.
Hingga matahari terbit, keadaan masih belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan di Mako Brimob. Justru bertambah semakin kacau, terbukti dari banyaknya iring-iringan kendaraan Pejabat Polri disusul Tim Forensik Polri yang berdatangan ke Mako Brimob untuk menyampaikan respon atas apa yang terjadi di sana. Serta apa yang bapak tuliskan di WA Group Keluarga tadi pagi ada benarnya. Pengamanan ketat mulai diterapkan di Bandara Soekarno-Hatta pagi hari ini, mulai dari gerbang masuk hingga garbarata di dalam setiap terminal terutama terminal internasional. Kendaraan taktis bersiaga di setiap titik vital, anjing pelacak mengambil posisi siaga di pintu keberangkatan-kedatangan serta detektor penyensor benda mencurigakan disiapkan di sana juga. Agar Rayla percaya, bapak turut mengirimkan foto-foto pemeriksaan di bandara.
“Ini nak, tadi polisi menggeledah bapak habis-habisan. Paspor sampai diperiksa karena bapak juga akan terbang keluar negeri setelah nanti mendarat-transit di Denpasar.” Ujarnya selepas mentari terbit. Tidak hanya itu, ketika di pesawat pun━menjelang keberangkatan bagasi pesawat tidak ikut luput dari perhatian petugas keamanan bandara. Bekerja sama dengan Kepolisian Bandara Soekarno-Hatta, mereka memeriksa detail setiap barang bawaan yang masuk ke bagasi serta kabin. Setiap pesawat termasuk tunggangan bapak tidak diizinkan berangkat sampai pemeriksaan selesai. Petugas menyatakan aman, baru bapak menarik tuas kemudi pesawat memundurkannya ke kawasan taxiway, dan lalu mendorong throttle quadrant supaya hidungnya dapat menukik tajam atas. Barulah usai itu bapak bisa mengudara secara stabil selama dua jam penuh ke Denpasar, Bali.
***
Rayla menyuruh Christoff memarkirkan Mobil Kia Pregio cokelat metaliknya di halaman gedung rektorat menjelang siang ini, tepat pada minggu terakhirnya menjalani kelas perkuliahan sebelum mulai melaksanakan Ujian Akhir Semester (UAS) minggu depan. Masih di kampus, sambil berjalan menyeberangi koridor Rektorat dan Selasar-Plaza Fakultas Teknik Rayla sama sekali tak bisa mengalihkan perhatiannya dari perkembangan berita terkini seputar keadaan di Jakarta terutama Bandara Internasional Soekarno-Hatta sebagai objek vital. Ternyata urusan keamanan hari ini berbuntut panjang, membuat banyak orang menjadi semakin insecure. Barang bawaan di tempat penting wajib mendapat pemeriksaan lebih ketat. Hal itu turut ia jumpai di perasaan Stevie siang ini.
Tadi ia mencari-cari sahabatnya itu di Taman Fisip, namun tidak ketemu. Kawan-kawannya saja pun mengaku belum melihat Stevie hari ini. Alhasil ia harus mencarinya di dalam gedung Fisip lewat cara mengelilingi kelima lantainya menggunakan lift dan tangga. Satu hingga dua menit mencari, hasilnya masih nihil. Melanjutkan pencarian ke lantai lima, baru upayanya membuahkan hasil 100%. Rayla mendapati sosok gadis Tionghoa-Muslim nan cantik itu tengah berselonjor di lantai persis dekat pintu masuk aula. Pakaian yang dirinya kenakan hari ini sangat spesial, yakni baju terusan kotak-kotak selutut. Arloji bertali hitam legam melingkari pergelangan kanannya seiring jemari putihnya men-scrolling layar komputer tablet di hadapannya.
Ujung sepatu kelabu Rayla mendekati ujung sepatu hitam Stevie, barulah ia terlonjak. Perhatiannya teralihkan begitu saja kepada Rayla yang baru menghampirinya. “Kamu kelas apa Ray?” Tanya Stevie sambil mencabut kabel earphone dari kedua daun telinganya. “Hari ini aku kelas Sosial Budaya Indonesia-Hukum Indonesia, pertemuan terakhir sebelum UAS. Kamu?” “Politik Indonesia-nya Mas Kevin terus Hukum Indonesia juga. Jamnya sama bukan?” “Iya jamnya sama.” “Hari ini juga sudah pertemuan terakhir menjelang UAS. Makanya dia minta tugas critical review kuliah Polindo dikumpulkan hari ini.” Ujar Stevie mengagetkan Rayla juga Christoff.
“Hah, critical review yang mana?” Alis Christoff terangkat tinggi-tinggi. “Yang ini Chris.” Stevie berbaik hati memperlihatkan rangkuman materi kuliah buatannya ke Christoff. Rayla lalu ikut mendongakkan kepalanya, ikut membaca tulisan teman baiknya sejak SMA itu. Membacanya dari paragraf demi paragraf sontak saja mengingatkan Rayla akan tugasnya yang serupa. Ia lalu merogoh ransel dalam-dalam, dan mendapati kertas critical review-nya sudah tercetak rapi tinggal menunggu diserahkan di kelas Politik Indonesia besok pagi. Christoff pun sama, sudah merampungkan tugasnya itu sebelum mengumpulkannya kepada sang dosen esok pagi. Topik obrolan mengenai urusan tugas sudah usai, kini beralih ke situasi terkini di Jakarta. Adalah Stevie yang pertama kali mengungkitnya, persis saat ia bertanya.
“Rayla, Christoff, hari ini ada keluarga yang pergi ke Jakarta enggak?”
“Ada bapak, hari ini dia terbang ke Bali lanjut Hongkong. Nanti balik lagi ke Cengkareng lanjut Narita Tokyo. Semalam baru berangkat dari Bandung.”