Rayla manggut-manggut saja ketika membaca lagi isi buku harian coklatnya sambil menunggu giliran jadwal pemeriksaan rutin di Dokter Tedja sore hari ini di penghujung bulan Mei 2018. Dia menyadari betul, intensitas kemunculan Presiden Joko Widodo dalam tulisannya satu tahun terakhir menyusut drastis jika dibandingkan saat dia masih SMA. Saat itu intensitas kemunculan Mantan Walikota Solo sekaligus Gubernur DKI Jakarta tersebut dalam pikiran-hati Rayla sangatlah tinggi, mulai dari kemenangannya di Pemilihan Presiden 2014 berbarengan ketika Rayla baru sekejap mengawali masa SMA-nya di Kelas 10 berikut pelantikannya tanggal 20 Oktober 2014. Dan sejak saat itu, Rayla yang sedang fanatik-fanatiknya mendukung Presiden Jokowi seolah tidak bisa lepas dari beliau setiap waktu sepanjang tiga tahun masa SMA-nya.
Lulus SMA dan masuk kuliah di HI Unpar, dirinya genap tiga tahun menjalani waktu “bersama” Presiden Joko Widodo lewat suara hati nuraninya begitu juga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pada awal masa kuliahnya ini, seperti yang tadi sudah dikatakan di paragraf atas, Rayla menyadari ia mendadak jarang menuliskan sosok tokoh idolanya itu di buku agenda. Entah apa sebabnya, apa karena ia masih mengalami masa transisi dari remaja ke dewasa yang acap kali menuntut daya pikir secara lebih kritis.
Mbak Aci sang perawat andalan Dokter Tedja keluar ruang praktik. Rayla terkesiap masuk, namun rupanya sang perawat malah memanggil pasien lain yang sudah datang lebih dulu. “Rayla, Christoff maaf ya kalian belakangan ya. Ini ada yang sudah datang duluan, tuh orangnya menunggu di mobil.” Tuturnya supaya sepasang kakak-beradik ini tidak kebingungan atau merasa diserobot. “Oke iya mbak, silahkan.” Christoff bergeming menyahut perawat satu anak tersebut. Tidak lama kemudian, hanya berselang 30 detik serombongan keluarga lengkap terdiri atas ayah, ibu serta dua anaknya laki-laki dan perempuan━ menuju ruang praktik. “Mereka juga tipenya cepat kayak kalian, so don’t worry mereka juga bakal sebentar.” Mbak Aci lalu menutup pintu. Dari dalam, lalu terdengar suara mereka kala mengobrol satu sama lain tentang keluhannya.
Bapak yang ternyata hari ini memakai kemeja seragam pilot namun lupa melucuti tanda pangkat empat strip di pundak serta wingtip di atas saku kiri lalu ‘menyerempet’ Rayla, menanyakan sesuatu hal. Tetapi pertanyaannya justru sama sekali tidak membahas keluhan pada gigi putri bungsu satu-satunya ini, melainkan justru mengacu pada salah seorang diplomat tanah air yang dikenal gadis kelahiran 2000 tersebut. “Nak, kamu ingat enggak siapa ya nama Duta Besar Indonesia yang lagi menjabat di India?” Rayla tersentak dan lalu menjawab, “Enggak tahu pak, aku lupa lagi. Memangnya kenapa?” “Enggak apa-apa, cuma tanya. Rasanya dulu pernah mendengar nama duta besarnya waktu lagi ke kampus, acara sosialisasi buat orang tua mahasiswa baru tahun lalu.” Bapak mencoba memutar memorinya tentang peristiwa setahun lalu yang membuat Rayla ikut bicara, menimpali ucapan pilot 56 tahun tersebut sore hari ini.
“Yang jelas duta besar kita di India itu masih Alumni HI. Tapi aku lupa lagi dia angkatan tahun berapa.” Imbuh Rayla menutup percakapan dengan bapak. Tak sampai lima menit kemudian pintu ruang praktik terbuka lebar. Pasien sekeluarga tadi sudah selesai diperiksa, kini tiba giliran Rayla diperiksa. Begitu masuk ruangan praktek, ia mempersilahkan kakaknya diperiksa terlebih dahulu dan ia menunggu selama lima menit. Setelahnya barulah ia diperiksa. Dan selama pemeriksaan ini untuk menghilangkan kekhawatiran akan rasa sakit yang bisa saja muncul hanya seketika, bersama sang kakak dirinya mengungkit agenda kerja Presiden Joko Widodo sepanjang pekan ini. “Mas, ingat enggak Pak Jokowi kapan ya bertemu dua Duta Besar Korea?” “Itu sebulan lalu Ray, membicarakan soal peluang Indonesia jadi tuan rumah pertemuan KTT Donald Trump-Kim Jong Un sekaligus mengundang Korea Selatan-Utara datang ke Asian Games 2018.”
“Terus sekarang agendanya apa?” Dokter Tedja ikut nimbrung, tidak mau ketinggalan. “Menerima Perdana Menteri India.” Rayla menjawab usai kumur-kumur.
“Oh yang baru itu ya, sudah berganti.”
“Perdana Menteri India namanya Narendra Modi dok, belum ganti. Yang sudah ganti itu Malaysia, dulu Najib Tun Razak sekarang Mahathir Mohamad.”
“Aslinya perdana menteri lama, sekarang balik lagi jadi perdana menteri.”
“Umurnya berapa tahun?”
“93 tahun.”
“Kalau Pak Jokowi?”
“57 tahun”
Mereka kini terlibat perbincangan seru, mengundang kekaguman dokter Tedja akan luasnya pengetahuan Rayla dan Christoff tentang para kepala negara karena biasanya anak-anak seumuran mereka jarang sekali yang bersemangat membicarakan apapun hal yang menyangkut pemimpin negara. Biasanya mereka memilih membicarakan artis kekinian termasuk artis asal Korea Selatan.
***
Jabatan duta besar atau diplomat asing dalam sekejap terlihat menarik di dalam diri Rayla sendiri ketika ia teringat akan sosok Duta Besar Indonesia untuk India yang merupakan alumni almamaternya sendiri. Beres dokter Tedja memeriksa giginya, ia lalu sibuk mendiskusikan sang duta besar bersama kakaknya masih di ruang praktek dokter Tedja. Ia pun mengajak kakaknya bicara panjang lebar. “Mas, si Dubes di India hebat banget ya. Kayaknya dia satu-satunya alumni HI Unpar yang sejauh ini berhasil sampai di kursi Dubes. Kita?” Rayla terdengar seperti menembakkan pertanyaan telak yang menghujam dirinya sendiri juga Christoff. Namun rupanya bujang hampir 19 tahun ini tidak kehilangan kata-kata. Ia mengeluarkan kata-kata penuh motivasi kepada sang adik. “Ya pasti bisa dong. Kalau memang punya interest ke arah situ, habis lulus kuliah nanti langsung daftar masuk Kementerian Luar Negeri terus jangan lupa pilih posisi diplomat biar bisa dipost keluar negeri, mulai dari staf KBRI[1] sampai nanti jadi duta besar.”