Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #37

Mendadak Sepi dan Rindu

Dering telepon yang meraung-raung ganas tepat dini hari ini membuat Rayla kalang kabut, terlonjak bangun dari tidurnya yang masih berjalan kurang dari enam jam lewat pukul satu dini hari. Untuk mencapai gagang telepon di ruang tamu saja ia sampai harus meloncat turun dari kasurnya seraya masih mengenakan baju terusan selutut. Pintu kamar dikuak lebar-lebar, ia berlari pontang-panting menembus ruang tamu dan ruang televisi yang gelapnya sangat pekat hingga diraihnya gagang telepon yang berada tepat di antara televisi dan komputer. Ia lalu menangkatnya dan mulai bicara dengan si penelepon yang entah apa tujuannya menghubungi ia sekeluarga tengah malam begini. Entah saudara atau teman, ingin mengabarkan bencana alam atau kecelakaan lalu-lintas atau seseorang yang baru saja meninggal dunia tengah malam begini.

“Halo, selamat malam ini siapa ya?” Rayla memancing sang lawan bicara sekenanya. “Malam, ini Dato’ Kapten Ahmad Rizwan dari Malaysia Airlines. Nak bercakap dengan rekan kerja awak yang ada di Bandung. Bolehkah awak bercakap? Lalu ini siapa ya?” Ternyata si penelepon misterius tengah malam ini adalah seorang pria asal Negeri Jiran Malaysia. Tanpa menyebut nama teman kerjanya yang dimaksud secara jelas, Rayla sudah pasti bisa menduga bahwa sosok penelepon yang mengaku dirinya Pilot Malaysia Airlines itu punya maksud mencari bapak. “Oh iya, boleh. Dato’ Kapten pasti mau cari bapak saya ya? Tunggu sejenak ya, bapak harus dicari dulu.” Sambil mengangkat baju terusannya, Rayla berlari kecil menuju kamar bapak. Ia terpaksa mengalahkan perasaan hatinya yang tidak enak harus membangunkan sang ayah di tengah malam seperti ini akibat ada orang yang mencarinya jauh dari luar negeri.

Tahu-tahu bapak sudah muncul di beranda pintu kamar yang sebenarnya terpaut jarak tidak jauh dari meja telepon, hanya satu sampai dua meter. “Kita ditelepon Dato’ Kapten Ahmad Rizwan, dia mengaku pilot Malaysia Airlines mau bicara sama bapak. Coba ajak dia bicara dulu pak, pastikan si Kapten benar pilot Malaysia Airlines yang juga kenal bapak.” Ibarat itik takut dimangsa hewan buas, Rayla lalu mengekori bapak meraih gagang telepon tentunya sembari mengangkat baju terusannya tadi. Kaki kurusnya tidak lupa ia elus-elus sendiri sekaligus memastikan semuanya ‘baik-baik saja.’ Bapak pun menyulut percakapan memakai nada yang hampir sama seperti Rayla. Persis di belakang punggung bapak, Rayla berdiri harap-harap cemas mengamati percakapan bapak bersama sosok WNA tadi. Batinnya dirundung ragu dan cemas, khawatir keluarganya diteror.

Semenit-dua menit bapak berusaha mengenali lawan bicaranya, dan tak sampai 10 menit berselang bapak langsung akrab dengan si penelepon. Gaya bicara yang berdialek Melayu membuat bapak ikut-ikutan berbicara memakai dialek Melayu kental juga, dicampur bersama dialek Jawa nan kentalnya yang acap kali tersembur kalau lagi bicara. Rayla, antara bingung dan geli hanya bisa mematung di belakang punggung bapak. Dia bingung kenapa bapak bisa langsung segitu akrab bersama sang penelepon tengah malam namun juga geli mendengar dua jenis dialek, yakni Jawa dan Melayu saling bersahut-sahutan lewat sambungan kabel telepon tanpa peduli jarak negaranya. Dan bapak terus saling menyahut percakapan lintas negara itu selama kurang lebih 20 menit. Beres membangun percakapan, karena sudah terlanjur bangun lewat tengah malam bapak lantas berlalu ke dapur, mengecek kelengkapan stok makanan untuk sahur. Rayla pun tidak punya pilihan lagi selain terus mengekor bapak sampai ke dapur. Di sinilah bapak meminta putri bungsu satu-satunya itu agar menurunkan posisi baju terusannya saat ia sadar usai menghidupkan lampu dapur. “Nak, sekarang kamu sudah besar, sudah mahasiswi juga. Itu bajunya tolong yang sopan.” Antara kaget dan geli bapak menelurkan titah seperti itu, membuat Rayla secara refleks menurunkan bajunya.

Berbarengan menyingkap pintu kulkas hijau berusia lebih dari 20 tahun, usai mengangkat segelintir piring berisi Gudeg Yogya beserta aneka ragam lauk pendampingnya barulah bapak memperkenalkan sosok penelepon yang tadi menghubunginya melalui Rayla. “Eh tapi kayaknya kamu pernah bertemu Kapten Ahmad Rizwan bulan Desember 2017 kemarin deh, waktu dia mampir ke sini sore-sore setelah kamu pulang ujian apa pulang kuliah sambil bawa Singkong Goreng dua bungkus itu.” Tutur bapak di bagian prolog perkenalan. Rayla hanya bisa mengernyitkan dahi isyarat dirinya sama sekali tidak familiar dengan Kapten Ahmad Rizwan. Lebih tepatnya dia lupa bahwa ternyata dia sendiri pernah menemui pilot senior asal Negeri Jiran tersebut. Melihat anak gadisnya itu kebingungan sendiri, bapak lantas mengurungkan niatnya mengenang pertemuan pada Desember 2017 itu. Ia langsung memperkenalkan pilot itu sendiri secara lugas, jelas.

“Kapten Ahmad Rizwan itu dulu teman bapak, sekitar tahun 1990-an akhir sampai 2000-an awal kalau enggak salah dari tahun 1997 sampai 2002, dekat-dekat zaman bapak menikah sama ibu juga Christoff & kamu lahir tahun 1999 & 2000, dia kerja bareng bapak di Garuda Indonesia jadi pilot Boeing 747-400. Dulu dia gabung di Garuda karena waktu itu statusnya masih pilot trainee di Boeing 747-400-nya Malaysia Airlines. Nah buat menambah pengalaman terbang dia kerja dulu ikut bapak dulu di Garuda terus setelah itu baru balik lagi ke Malaysia Airlines sampai sekarang.”

Ungkapan “ayah adalah cinta pertama anak perempuan” ada benarnya dini hari ini. Cerita singkat bapak tentang sosok Dato’ Kapten Ahmad Rizwan tadi nyatanya berhasil menyihir perhatian Rayla walau baru sebatas pengantar saja. Hatinya yang diselimuti kecurigaan sejak 45 menit lalu kini berubah penasaran. Sekonyong-konyong dia ingin mengenal lebih jauh lagi sosok Dato’ Kapten Ahmad Rizwan tadi. Untuk itu kini ia melemparkan sebutir pertanyaan kepada bapak sambil kedua tangannya sibuk memindah-mindahkan sisa piring makanan dari kulkas ke tepian kompor. “Selama di Malaysia Airlines dia pernah menerbangkan pesawat jenis apa saja pak?” “Nanti ya, kamu dengarkan saja ceritanya Kapten Ahmad Rizwan. Coba tanya-tanya deh, siapa tahu ada peluang kerja di maskapai buat anak HI model kamu & Christoff begini.” Rupanya bapak tidak langsung melemparkan jawaban jelas dan lugas kepada sang putri bungsu.

Pilot yang telah merintis karier di maskapai pelat merah tanah air sejak awal tahun 1986 ini lebih memilih mengaduk kuah putih bermuatan tahu kukus sewarna, telur rebus berwarna coklat tua dan ayam opor. Selanjutnya ia menyuruh Rayla menghangatkan krecek[1] sepaket bersama gudeg. “Oh iya nak, Kapten Ahmad Rizwan punya empat anak━dua cowok dua cewek. Anak cowok yang pertama sekarang sudah lulus kuliah, sekarang kerja jadi pramugara Malaysia Airlines juga. Yang kedua, masih kuliah Design Grafis di Malaysia sana terus yang cewek-ceweknya masih SMA. Nanti kalau Kapten Ahmad Rizwan sudah datang, coba kamu tanya anak cowok keduanya sudah punya pacar apa belum. Seumpama belum, sana kamu minta restunya mau pacaran sama dia. Lumayanlah bapak sudah bisa menyiapkan calon menantu cowok, orang calon menantu cewek sudah ada dari Christoff.” Rayla terlonjak kaget mendengar celotehan bapak ini. Ia tidak percaya ayahnya akan sampai bilang begini di depan matanya. Kekagetannya itu berubah menjadi rasa malu yang sekaligus membuat dirinya tersipu hingga wajahnya memerah sambil senyum-senyum sendiri.

“Ah bapak mah pasti ingin aku cepat menikah setelah lulus kuliah nanti. Pasti sekalian mau ngemong cucu juga.” Rayla balik menggoda bapak. “Kayaknya iya sih, habisnya teman-teman bapak━sebagian pilot lain saja sudah ada yang punya cucu. Tinggal bapak yang belum.” Bapak santai-santai saja dikala Rayla masih tak kuasa menahan rasa malunya. Ia masih tersipu atas godaan bapak di fraksi sepersekian detik lalu sambil membandingkan kisah cintanya di SMA & kampus.

*** 

Pintu kecil di sudut timur kota Bandung.

Tampaknya itu menjadi kode panggil atau sebut untuk tempat tujuan Rayla bepergian bareng bapak dan Christoff hari ini. Kemana saja bapak pergi saat sedang libur dari jadwal terbang, selama tidak ada halangan berarti Rayla akan selalu ikut karena ia sendiri acap kali tidak betah diam di rumah berlama-lama. Christoff pun setali tiga uang. Maka oleh sebab itulah pagi ini tepat pukul sembilan mereka bertolak ke tempat tujuannya itu sambil mengendarai mobilnya sendiri lantaran Pak Warsono, supir pribadi mereka sudah mudik ke kampung halamannya di Temanggung, Jawa Tengah sampai cukup lama dan baru akan kembali lagi ke Bandung setelah lebaran nanti. Mobil Kia Pregio cokelat berusia 13 tahun itu dipacu bapak pergi meninggalkan rumah menembus rerimbunan pohon sayap Jalanan Dago dan hiruk-pikuk lalu-lintas ke arah timur kota Bandung. Jarak yang sebenarnya sangat dekat dari rumah Rayla sendiri, ibarat hanya keluar sebentar lalu sampai.

“Kita sampai.” Ujar bapak singkat saja. Mesin mobil lalu dimatikan dan dikawal kedua anaknya, pilot senior ini lalu berjalan membelah seutas gang kecil dan berbelok dua kali melintasi permukaan yang berubah dari landai jadi menanjak dan hanya muat untuk satu sepeda motor yang sukar berpapasan. Hanya muat untuk tubuh manusia. Bapak berjalan di paling depan sambil memperhatikan tiap-tiap jengkal rumah yang ada di sekujur gang. Empat sampai lima rumah terlewati, akhirnya ia sampai jua di rumah yang dituju bersama Christoff dan Rayla. Rumah Bulik[2] Darsini. Pagar dikuakkan tangan bapak, kata “Assalamualaikum” dan “permisi” melolong nyaring ke dalam rumah kecil berukuran kira-kira 40 meter persegi ini. Tak lama, sesosok wanita lanjut usia menggeser pintu ruang tamu. Tubuh renta nan keriputnya terlihat jelas di balik pintu putih ini, serta sepasang telapak tangannya lantas menyambut bapak, Christoff dan Rayla menyuruhnya masuk.

“Piye kabare mas? Monggo mlebu rene, ayo podo lungguh sedoyo. Nyuwun sewu ora duwe opo-opo.[3]

“Inggih, matur nuwun bulik. Ora opo-opo, wong isih puasa uga.[4]

Kehadapan bapak dan Christoff juga Rayla, ibu empat anak ini lantas membawa bertoples-toples kue kering yang kerap kali jadi suguhan kala lebaran Idul Fitri tiba. Beliau mempersilahkan tiga orang kerabatnya ini memilih kue mana saja yang ingin dibeli. Melihat banyaknya pilihan kue yang tersedia di meja, bapak lalu menyuruh sepasang anaknya memilih. Dan mereka paling banyak memilih kue-kue bercita rasa asin seperti Kaastengels, Cheese Pepper, dan lain sebagainya sehingga bertoples-toples kue asin lalu dibenamkan Bulik Darsini ke dalam kardus persegi pemilik ukuran sedang. Bapak mengimbanginya dengan banyak pilihan kue manis seperti Corn Flakes cake, Ananas Pisang Bolen, dan lain sebagainya. Transaksi jual-beli ini berikutnya dilanjutkan dengan obrolan seputar kehidupan pribadi masing-masing.

“Kapan terbang lagi mas?” Seloroh Bulik Darsini seolah tak ingin cepat-cepat ditinggal. “Masih lama, nanti setelah lebaran baru terbang lagi. Rencana nanti terbang ke Amsterdam, Belanda. Ya biasalah musim libur sekolah begini selalu banyak penumpang.” Jawab bapak sebelum Bulik Darsini bertanya lebih jauh lagi. Mereka lalu hanya ngobrol ngalor-ngidul tentang berbagai hal, termasuk tentang perkuliahan Christoff dan Rayla sendiri.

“Eh by the way Kapten Ahmad Rizwan datang jam berapa?” Tiba-tiba Rayla teringat sosok calon tamunya itu saat hendak pulang dari rumah Bulik Darsini. “Nanti sore nak, masih lama. Jadi santai saja, mending sekarang kita belanja saja. Masih pada kuat puasa ‘kan?” Tanpa tedeng aling-aling bapak mengajak mereka belanja. Ajakan itu lalu disambut antusias oleh keduanya sehingga oleh karena itulah lalu mereka segera pergi ke pasar swalayan.

*** 

Sore ini mereka datang bukakan pintunya dengan maksud untuk memulihkan luka berupa letih dan peluh yang saling berkombinasi menjadi satu ruang udara yang sama usai menempuh perjalanan dari Negeri Jiran Malaysia ke Kota Kembang Bandung beberapa jam sebelumnya. Di senja kala ini jua, tubuh bapak yang menjulang tinggi seolah tampak paling tinggi melebihi ketiga orang tamunya yang sowan ke rumah hari ini. Bahkan tinggi badan putra-putrinya sendiri dikalahkan bapak sekarang. Tiba di pintu pagar rumah, dengan sorot mata mendelik bapak mencocokkan terlebih dahulu wajah ketiga tamu pentingnya itu dengan foto serta data-data yang tercantum dalam kartu identitas mereka yakni paspor. Yakin ketiga pria tadi adalah benar tamunya, bapak lalu merekahkan senyum lebar di wajahnya mempersilahkan mereka masuk. “Just come in, everybody.” Sambutnya memakai secarik kalimat Bahasa Inggris pendek tetapi ramah. 

Dan ketiga pria barusan mengekori bapak masuk rumah. Suara “Assalamualaikum” bergema memenuhi udara ruang tamu bersama suara “excuse me”. Dan percakapan memakai dialek Melayu kental lalu membahana kencang di ruang tamu kurang dari dua jam sebelum kumandang adzan Maghrib. “Kapten, benar ini anaknya? Satu lelaki satu lagi perempuan?” Kapten Ahmad Rizwan, pilot pemilik wajah asli Melayu memulai percakapan saat melihat Rayla dan Christoff. “Oh iya, ini anak awak hanya dua. Mereka kini nak college di universiti.” Bapak memperkenalkan mereka berbarengan ia menyuruh mereka menyalami Kapten Ahmad Rizwan. Di sampingnya, First Officer Derek Khoo Xiao dan Second Officer Chirag Acharya turut tak luput dari jabatan tangan. “Aha, rupanya ini yang namanya Rayla. Awak bercakap di telefon dengannya dini hari tadi.” Rayla hanya tersenyum tipis mengetahui Kapten Ahmad Rizwan berhasil mengenali dirinya. 

“Iyalah, anak sudah besar pasti sudah bisa disuruh ini-itu. Kita tak perlu memerintah apa-apa lagi.” Dialek Jawa medok yang acap kali bapak keluarkan jadi berpadu dengan dialek Melayu saking larutnya terbawa percakapan bersama Kapten Ahmad Rizwan. “Kau nak college dimana, Christoffer dan Rayla?” First Officer Derek Khoo Xiao yang memiliki darah Tionghoa ikut nimbrung. “College di Universiti Katolik Parahyangan, Jalan Ciumbuleuit sana. Berguru studi Hubungan Internasional.” Sepasang kakak beradik ini kompak menyebutkan tempat dimana mereka kuliah, lalu Second Officer Chirag Acharya si pemilik wajah India tulen menyerocos “Wow hebatnya ini dua brother and sister, sama-sama bisa college Hubungan Internasional. Artinya kelak nak kerja di Kedutaan Besar Kah?” Orang sekelas pilot saja masih sering terbawa stigma bahwa anak HI secara keseluruhan adalah para calon diplomat masa depan. “Rasanya nak begitu, nanti gabung di Kedutaan Besar. Ke Malaysia boleh juga.” Rayla seakan mengamini doa pilot muda tadi.

Lihat selengkapnya