Lipatan kedua kaki yang sudah terasa hangat sedari tadi ditambah tangannya yang telah melipat surat berisi cerita tentang liburannya tadi, sontak menghilang begitu sekejap saja menjelang tengah malam ini sekitar pukul 23.15 WIB. Dirinya yang telah tertidur memakai daster selutut sontak saja kembali terjaga saat dirinya tahu bapak menerima telepon dari seseorang. Si penelepon mengaku dirinya sudah sampai di Terminal Bus Leuwipanjang sejak setengah jam lalu. Maka tanpa berlama-lama lagi, bapak segera mengambil kunci mobil dan menstarter mesinnya. Ia menyetir sendiri menembus kegelapan malam lantaran Pak Warsono masih mudik ke Temanggung, Jawa Tengah. “Mbak Nana sudah datang pak?” Tanya Rayla saat dirinya terbangun, keluar dari kamar paling depan. Kakaknya menyusul dari arah yang sama. “Sudah nak, ini baru sampai di Terminal Leuwipanjang. Sekarang bapak mau jemput dulu ke situ. Kamu di rumah saja ya.” Imbuh bapak.
Jaket kulit hitam dengan aksesoris khas pilot yang acap kali dipakai bapak kalau berdinas menerbangkan pesawat direntangkan lebar-lebar di badannya. Pintu ruang tamu ia kuakkan lebar-lebar sendiri, sedangkan pagar dibuka Rayla. “Nanti jangan lupa dibuka lagi ya setelah bapak sampai.” Suara bapak berusaha mengalahkan deru mesin mobil Toyota Hiace perak. Kurang sedetik, mobil yang ukuran tubuhnya lebih besar dari Kia Pregio itu hilang ditelan kegelapan malam. Tanpa berlama-lama di halaman, usai menggesekkan kedua pahanya karena dingin Rayla lantas beringsut masuk rumah lagi. Kamar tidur yang biasa dipakai bapak dan ibu ia rapikan kembali, pertanda semakin siap menyambut kedatangan Mbak Nana. Dua kasur lipat telah ia gelar di lantainya. Lalu ia keluar kamar seraya merapikan daster selututnya yang tadi nyaris tersingkap ke atas.
Kantuk Rayla kini seakan-akan menguap begitu saja. Kadung bangun ia hanya sibuk mempersiapkan kedatangan kakak sepupu tertuanya dari bapak tersebut. Dan sambil menanti ia minum beberapa gelas air mineral dari dispenser dekat layar kaca televisi lalu berlari ke kamar mandi sebagai akibatnya. Ia mendadak beser dan tidak mau menanggung risikonya.
Pukul 23.30 WIB, bapak belum juga datang bersama Bude Yatni, Mbak Nana beserta tiga anaknya yakni Alfred, Reina dan Eddie. Rayla menduga mereka terjebak macet apalagi jarak dari Terminal Leuwipanjang ke Dago sendiri jauh. Nyaris menyamai rute bus kota nomor 5 yang beberapa kali pernah Rayla naiki kalau terpaksa harus pulang ke rumah eyang. Tetapi Rayla cepat-cepat membantah dugaannya itu sendiri. Ia baru sadar ini sudah tengah malam. Biasanya lalu-lintas Bandung hanya mengalami kepadatan dari sore hingga jam sembilan atau sepuluh. Menjelang tengah malam hingga subuh keesokan harinya lalu-lintas akan sangat lengang. Dan baru juga ngomongin bapak, tahu-tahu klakson mobil memecah keheningan malam. Isyarat bapak mengingatkan Rayla agar segera membuka pagar. Tidak mau menunggu lebih lama, Rayla segera beringsut lari kecil ke depan. Dibukanya pintu pagar serta garasi, dan mobil Hiace besar itu masuk.
Di pelataran halaman, bapak terlebih dahulu berhenti agar bisa lebih mudah menurunkan Mbak Nana sekeluarga. Lalu dari dalam mobil muncullah sepasang wanita dewasa, satu masih berusia 30 tahunan sedangkan satunya sudah lebih dari 60 tahun. Mereka turun berduyun-duyun seraya mengangkut barang bawaan masing-masing. Ketika Rayla dan Christoff ingin menolongnya, mereka mengatakan barangnya tidak berat-berat sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Tahu Mbak Nana tidak ingin merepotkan tuan rumahnya, Rayla dan Christoff pun segera menunjukkan kamar tempat dia beristirahat yang telah disediakan sebelumnya. Dan di kamar kini anak-anaknya segera mengambil waktu istirahat sedangkan Mbak Nana sendiri pergi keluar.
“Ini pada terbangun semua enggak? Maaf ya kalau mengganggu.” Itulah kata pertama yang keluar dari bibir wanita 38 tahun tersebut, namun segera dibantah Rayla-Christoff sendiri. “Enggak mbak, ini memang sudah bangun dari tadi. Cuma sempat tidur sebentar. Santai saja mbak, boleh kalau mau ke kamar mandi. Tuh di belakang.” Mbak Nana menolak tawaran itu secara halus lantaran masih punya wudhu sekaligus belum kebelet. Toh lagipula dia sudah shalat di kamar tadi. Selang beberapa menit kala jarum jam bersatu padu menghunus angka 12, Bude Yatni keluar kamar masih dalam kondisi segar bugar tanpa menunjukkan kantuk sepicing pun. Wanita 63 tahun ini lebih banyak mengobrol dengan bapak seiring Christoff mengangkut sesuatu dari kamar bapak. Itu komputer jinjingnya yang tadi sempat dipinjam bapak dan belum sempat dikembalikan. “Ini sudah ya pak. Aku bawa lagi ke kamar depan.” “Ya.” Percakapan ayah-anak ini berlangsung singkat saja.
“Om, arisannya jadi di rumah Eyang Hardjo ‘kan?” Kini giliran Mbak Nana memulai perbincangan. “Iya kita arisan di Eyang Hardjo. Tadi siang malah sudah wanti-wanti jangan lupa pada kumpul di sana jam 11. Tapi ya enggak tahu juga, tergantung masing-masing berangkat jam berapa. Biasanya suka pada ngaret.” Bapak terkekeh saja saat ingat kebiasaan buruk saudaranya setiap kali arisan keluarga. Kalau seperti ini, rasanya sangat sulit mau mengadakan acara kumpul-kumpul keluarga besar di restoran yang sangat strict soal waktu lantaran harus ada reservasi terlebih dahulu. Jarum jam kian menjauhi angka 12, kepala Rayla mulai terkantuk-kantuk sehingga ia berpamitan mau tidur terlebih dahulu sedangkan Christoff masih segar tetap ikut ngobrol di ruang keluarga.
***
Lamunan Rayla tentang kurangnya kebersamaan dengan Stevie dan Tiffany tempo hari sekejap saja enyah ditelan angin pagi. Bertalu-talunya tabuhan suara palu membuyarkan lamunannya, membuat dia penasaran hendak mencari tahu sumber suara palu itu. Ternyata sumbernya berasal dari tangan bapak yang sedang berusaha membuka pintu garasi dari arah halaman belakang. Entah karena pintunya yang sudah uzur atau kuncinya yang mendadak macet bagai protes merengek minta diberi minyak, pintu garasi nan panjang ini mendadak tidak bisa dibuka baik dari dalam maupun dari luar. Bapak tetap ingin membukanya walau sebenarnya bisa masuk dari halaman depan karena ini adalah pintu alternatif masuk rumah selain pintu ruang tamu. Palu terus dihantamkan ke arah paku pembobol, sekali-dua kali masih gagal. Baru pada kali ketiga pintu akhirnya bisa dibuka dari luar. Ketika dikuakkan, pintunya sudah mengeluarkan bunyi derak yang berasal tepat dari engselnya di pinggir. Mungkin ini karena pintunya sudah tua.
“Ini harus pakai diganjal pakai grendel. Pintunya sudah tua, enggak bisa dikunci.” Imbuh bapak sambil melangkah masuk garasi. Di dalamnya terdapat dua mobil yang masih tertidur. Pertama ada Mobil Kia Pregio, kedua ada Mobil Toyota Hiace. Lewat kaca depan bapak mencoba menghitung kapasitas jumlah penumpang pada kedua mobil minibus kesayangannya itu. Empat orang dari keluarganya sendiri dan enam orang dari keluarga Mbak Nana. Belum lagi eyang dan Bulik Darsini yang juga akan menghadiri acara arisan keluarga nanti. “Empat, enam, 10..11-12..,” Bapak bergumam sendiri menghitung kapasitas mobil Kia Pregio sambil membayangkan semua yang naik nanti. Jumlah yang mencapai sekitar 15 orang tak muat kalau naik Pregio. Walhasil pilihan bapak lalu jatuh kepada Mobil Hiace. Kapasitasnya terlihat lebih besar untuk memuat 15 orang. Maka pilihan bapak jatuh kepada Mobil Hiace untuk menempuh perjalanan ke arisan keluarga hari ini.
Sampai semua telah siap pukul 09.30 WIB dengan asumsi perjalanan ke rumah Paklik Hardjo di Cimahi memakan waktu selama satu jam karena lewat tol. Namun nyatanya bapak salah perhitungan. Mobil sebesar Hiace begini ternyata terlalu penuh untuk disesaki belasan orang walau hanya sekadar ke Cimahi. Belum lagi ketika eyang dan Bulik Darsini naik dari rumahnya nanti. Tentu terlalu penuh kalau sampai harus memuat hampir 20 orang. Untuk itu, atas inisiatif sendiri Christoff mengajak Rayla mengalah. Mbak Nana sekeluarga pun setali tiga uang. Mobil ini tetap dibawa bapak mengangkut eyang dan Bulik Darsini ke Cimahi, sedangkan mereka yang lebih muda akan tetap pergi menggunakan Grab. Singkat saja bapak setuju. Maka Christoff segera bergerak cepat merogoh telepon selulernya memanggil layanan taksi online itu langsung ke rumahnya. Hanya butuh beberapa detik sampai dapat mengetahui siapa nama pengemudi yang datang hari ini.
Juga jenis mobil dan tarif yang dipatok untuk rute Dago-Cimahi. Semuanya langsung terang benderang di depan rumah seketika. “Atas nama Christoff ya, tujuannya ke Cimahi.” Si pengemudi menyapa pakai bahasa standar ala kalangannya sendiri. Mereka meloncat masuk, Pak Zainal sang pengemudi Grab lantas menjalankan mobilnya menembus rindang pepohonan sayap Jalan Dago, hingar-bingar lalu lintas antara Dago sampai Pasteur lalu jalan tol. Di sepanjang jalan, baik Rayla maupun Christoff sama sekali tidak melihat tanda-tanda bapak sudah menyusul. Mungkin sedang menjemput Bulik Darsini di daerah Tubagus Ismail atau bahkan sudah menjemput eyang di Antapani. Wajar saja kalau durasi perjalanan bapak jadi lebih panjang.
Tiba di pintu tol Baros, Christoff yang duduk di paling depan segera mengarahkan supirnya belok kanan dan ke kanan lagi langsung menuju rumah Paklik Hardjo yang sebenarnya terletak di daerah Margaasih sehingga mobil Toyota Avanza perak ini mesti berbelok-belok melintasi jalanan kabupaten yang sekelilingnya diisi rumah-rumah penduduk. Pemandangan bukit juga tidak ketinggalan memanjakan mata di sepanjang perjalanan ke rumah Paklik Hardjo. Cukup 45 menit menempuh perjalanan, akhirnya mereka sampai di rumah Paklik Hardjo berbarengan dengan bapak. Lancarnya situasi arus lalu-lintas membuat keduanya bisa cepat sampai di tujuan dengan selamat. “Berarti sekarang Grab bisa masuk daerah sini ya. Tadi berapa harganya?” Tanya ibu yang bisa menghela nafas lega usai tahu kendaraan online kini sudah menjangkau daerah pinggiran. “105 ribu.” Christoff hanya melemparkan jawaban singkat, lalu masuk rumah Paklik Hardjo.