“Selasa reunian di sekolah yuk!!!”
Adalah Diandra yang ‘memprovokasi’ seluruh alumni kelas IPS Angkatan 9 di grup Line hari Jumat siang kemarin sesaat usai Mbak Nana angkat koper kembali ke rumahnya di Cilegon, Banten juga sesaat sebelum Tiffany angkat koper kembali ke Bogor, Jawa Barat. Pikiran Rayla yang tengah terasa hampa Jumat lalu mendadak cerah seperti terisi semangat yang dipompa udara dari luar. Ajakan Diandra reuni di SMA-nya dulu seperti tidak salah terdengar. Agaknya menarik kalau bisa hadir secara langsung disana, terlebih lagi setelah setahun lamanya tidak pernah menginjakkan kaki di SMA. Rayla terakhir kali menginjakkan kaki di sana ketika mengambil surat keterangan hasil Ujian Nasional dan ijazah SMA yang sudah selesai menempuh proses legalisir oleh pihak sekolah. Dan sejak itu, dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Adapun kalau bersinggungan dengan SMA-nya lagi, sekadar lewat di depan gerbangnya saja sudah bagus. Menyapa guru atau barangkali adik kelas yang masih belajar di sana sudah lebih bagus lagi.
Namun kali ini rasanya sungguh berbeda. Ia akan kembali masuk ke area sekolah lamanya bersama kawan-kawan sekelasnya. Lalu boleh jadi, dirinya masih bisa menemui guru-guru yang masih mengenal dirinya semasa belajar di SMA tiga tahun lalu. Namun untuk siswanya, jumlah yang kemungkinan masih kenal sudah sangat sedikit lantaran angkatannya saja sudah lulus sejak pertengahan 2017 lalu. Adik kelasnya, Jacqueline dan teman-teman seangkatan dia baru saja lulus menjelang tibanya bulan Ramadhan 2018 Mei lalu. Sehingga satu-satunya angkatan yang masih Rayla kenal hanyalah mereka yang pada tahun ajaran ini telah menduduki bangku Kelas 12. Per pertengahan tahun 2019 mendatang para Kelas 12 tersebut akan segera menyusulnya berkuliah.
“Kiri pak!” Pikiran itu mendadak sirna berbarengan Rayla menyuruh supir angkot hijau jurusan Kebon Kalapa-Dago berhenti di pinggir jalan dari arah bawah. Letak perhentiannya ada di seberang sebuah bangunan tinggi besar yang jaraknya sendiri tidak terpaut jauh dari Terminal Dago. Supir angkot yang kepalanya ditumbuhi rambut keriting seperti pelawak Edi Brokoli ini mengerem angkotnya, Rayla pun segera beringsut turun diikuti Stevie. Lewat kaca samping kiri depan, ruas jemarinya menyerahkan selembaran uang 10 ribu kepada si supir. Uangnya dipastikan pas, angkot hijau ini segera berlalu meninggalkan keduanya dengan asap yang mengepul-ngepul tebal. Dari baliknya lalu muncul sebuah bangunan besar yang tengah ramai oleh siswa dan gurunya. Rayla dan Stevie terlebih dahulu melihat kanan-kiri, memastikan keadaan lalu-lintas aman ‘untuk menyeberang. Pula Stevie sudah mematok sebuah kedai makan sederhana untuk makan siang nanti.
Baru juga sampai di gerbang sekolah, tahu-tahu suara sebuah motor menyambar keduanya. Lebih tepatnya itu adalah suara sebuah vespa kuno keluaran 1980-an yang dikemudikan seorang lelaki muda keturunan Tionghoa pemakai kacamata. Tubuh tinggi menjulangnya sempat mencoba menghalangi pandangan Rayla dan Stevie sepintas. Helmnya dilepas, seketika raut wajah berikut gaya rambutnya dapat langsung mereka kenali: Matthew. Rupanya ia datang ke sekolah hari ini. Berselang singkat, seorang pemuda pemilik wajah seperti orang Arab datang dari arah Terminal Dago. Sebagian baju serba hitamnya ditutupi sweater kelabu seperti milik Stevie dan aroma kopi menyembur dari mulutnya kala menyapa tiga orang teman yang ada di depannya: Itu adalah Fandy. Empat anak muda ini langsung saling berjabat tangan begitu bertemu di gerbang SMA. “Diandra-Natalie belum datang?” Tanya Fandy, lagi-lagi menyemburkan aroma kopi.
“Belum Fan, tadi sih katanya masih on the way ke sini.” Giliran Stevie yang menjawab. Keduanya lalu menyalami Pak Sobirin, petugas Satpam yang telah merintis karier berjaga di gerbang sekolah sejak mereka masih belajar di sini bertahun-tahun lalu. “Kalian mau ambil ijazah? Langsung ke ruang administrasi saja ya.” Rayla cepat-cepat membantah pertanyaan Pak Sobirin tadi. “Bukan pak, ini mah sekedar mau reunian saja mampir ke dalam. Boleh ya pak? Sekarang menunggu yang lain dulu, masih ada yang belum datang.” “Oh jadi kalian lulus SMA-nya kapan?” Tanya Pak Sobirin seraya menyingkap topi koboinya. “Tahun lalu pak, legalisir ijazah juga sudah dari tahun lalu.” Matthew menerangkan kapan mereka lulus dan mengambil ijazahnya.
“Wah maaf-maaf bapak lupa. Berarti sekarang pada kuliah dimana?” Tanyanya lagi.
“Hubungan Internasional Unpar.” Rayla dan Stevie menjawab kompak.
“Administrasi Bisnis Unpar.” Matthew memberi jawaban yang berbeda.
“Hukum Universitas Islam Bandung.” Fandy menambahkan paling terakhir.
“Wah jurusannya meuni serem-serem euy. Hebat kalian, bapak jadi ikut bangga. Ya sudah, sok atuh pada masuk.” Intonasi kental khas Sundanya keluar dan mengalir sangat deras, mempersilahkan tiga orang empat orang alumni SMA-nya ini masuk. Kemudian, dari belakang menyusul dua orang perempuan yang mereka tunggu-tunggu: Diandra dan Natalie. Mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Kristen Maranatha Bandung dan Bina Nusantara Tangerang ini menyusul langkah keempat rekannya tadi. Tanpa berpikir panjang lagi, sambil melewati area lapangan basket juga aula gedung serbaguna sekolah keenam mahasiswa perguruan tinggi ngetop di tanah air ini segera masuk ke area SMA. Pilihannya bisa melalui anak tangga atau lift yang tersedia di ujung bangunan. Sehingga ketika mereka berjalan ke arah sana, mereka jadi bisa bertegur sapa dengan sebagian guru SMP yang juga pernah mengenal serta mengajari mereka.