Kembali bertemu Jacqueline pada masa kuliah nyatanya turut membawa Rayla pada secarik buah pemikiran baru yang sejatinya sudah muncul menghiasi benaknya sejak mampir ke SMA-nya dua pekan silam. Hadirnya gadis pemakai setia topi merah di pucuk kepalanya itu sekaligus menyadarkan dirinya tentang peran seorang guru. Bagi Rayla, di setiap sekolah manapun guru-guru yang mengajar baik sebagai wali kelas maupun guru bidang studi akan selalu bertahan lebih lama ketimbang siswanya sendiri yang rata-rata hanya belajar selama enam tahun untuk tingkat SD serta tiga tahun untuk SMP-SMA. Dan mereka boleh saja mengajar di sekolah yang sama hingga tua kelak. Itu sekaligus mengartikan bahwa seorang guru akan menemui beraneka ragam siswa sepanjang masa baktinya, berbeda dari siswa yang mungkin hanya menemui segelintir guru sepanjang hidupnya. Dosen di perguruan tinggi pun setali tiga uang. Orang di kampusnya saja sebagian dosen sudah tua, ada yang nyaris pensiun ada juga yang jadi dosen luar biasa.
Pemikiran itu sekaligus menyumbang kesadaran penuh di hati Rayla, bahwa ucapan ibunya tentang setiap masa akan tampak keindahannya sendiri begitu tiba waktunya adalah benar. Keindahan masa kuliah langsung duduk satu gerbong dengan Rayla singkat saja usai keindahan masa SMA pudar, hilang ditelan hembusan angin kenangan masa lalu. Ia pun menyadari setiap masa yang berlangsung dalam kehidupan di dunia ini tak pernah absen mengalami perubahan. Apa yang dulu sudah dianggap paling bagus kini tak jarang dianggap ketinggalan zaman. Termasuk segala kenangan yang pernah hinggap di masa SMA. Kini semuanya dianggap telah lalu sebagai kenangan lama, terkalahkan oleh keindahan cerita di sepanjang masa kuliah yang menyenangkan walau Rayla merasa berat untuk mengakui dirinya sulit melupakan semua itu. Bahkan ia berharap sebagian memori manis sepanjang masa SMA dapat kembali terulang di masa kuliahnya ini.
Kembali lagi ke kampus.
Masih tidak jauh berbeda dari keenam dosen pada enam mata kuliah sebelumnya, Mas Irman, Dosen Mata Kuliah Kajian Keamanan pada pukul empat petang ini hanya menyampaikan butir-butir outline dari mata kuliah ini berupa daftar bahan bacaan serta materi yang bakal dipelajari setiap mahasiswanya selama satu semester ke depan. Alhasil perkuliahannya hanya berlangsung singkat tidak sampai satu jam. Antara pukul 16.45-16.50 WIB Rayla sudah keluar ruangan kuliah bersama mahasiswa lain. Lalu ketika ia belum jauh melangkah pergi meninggalkan pintu kelas, di ujung lorong ruang kuliah lantai tiga Fisip seseorang menarik pergelangan kiri tangan Rayla ke arah jejeran bangku di sebelah kiri lorong dekat tangga. Tanpa basa-basi orang yang menarik tangan kiri Rayla itu langsung mengajaknya bicara tentang rencana yang akan mereka jalani malam ini.
“Christoff mana?” Stevie terlebih dahulu mencari kakak kandung sahabatnya itu.
“Masih di kelas. Biasa, dia lagi nge-copy slide Powerpoint kuliah dulu. Memangnya kenapa?”
“Aku mau sekalian bertanya ke dia. Mau ikut menjemput Tiffany ke stasiun apa enggak. Habisnya tiga menit lalu dia kirim Line, keretanya baru berangkat dari Gambir tadi jam setengah lima. Artinya dia bakal sampai di Bandung nanti jam setengah delapan malam.”
“Wah begitu ya Stev? Duh Tiffany, rasanya kok baru sebulan yang lalu dia balik ke Bogor. Tahu-tahu sudah datang lagi ke Bandung hari ini.” Rayla tergelak sendiri kala menyadari Tiffany sudah akan muncul lagi di depan batang hidungnya. Malahan ia baru ingat, sepupu dekat Stevie itu datang ke Bandung hari ini untuk mengisi liburan long weekend 17 Agustus 2018 yang sekaligus berbarengan dengan bermulanya perhelatan Asian Games 2018━ajang perhelatan olahraga terbesar di seantero Benua Asia sepanjang masa yang digelar setiap empat tahun sekali. Acara ini terakhir kali diadakan di Seoul, Korea Selatan empat tahun silam atau tepatnya pada 2014. Ketika itu, berdasarkan pengetahuan Rayla, nominasi negara calon tuan rumah Asian Games 2018 sempat jatuh ke tangan Republik Sosialis Vietnam. Namun belum juga sempat memulai persiapannya, negara bekas kekuasaan rezim Paman Ho Chi Minh ini menyatakan mengundurkan diri sebagai tuan rumah karena merasa kekurangan biaya. Kondisi infrastruktur berikut sosialnya pun tak memadai menurut mereka sendiri. Alhasil nominasi tuan rumah 2018 menjadi rebutan negara lain.
Hingga komite panitia olimpiade menjatuhkan nominasi kepada Indonesia yang dinilai lebih siap menghelat Asian Games 2018. Mandat besar itu diserahkan kepada perwakilan delegasi Indonesia yang hadir di Seoul, Korea Selatan secara langsung. Perwakilan Indonesia yang ketika itu hadir secara langsung adalah Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2014 Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Saat penyerahan nominasi itu Ahok juga sekaligus tengah menyandang status Plt[1] Gubernur DKI Jakarta, sementara waktu menggantikan Jokowi yang sedang menjalani masa transisi mempersiapkan pelantikannya jadi Presiden RI 2014. Tidak lama berselang, Jokowi resmi menjabat sebagai Presiden RI dan secara otomatis Ahok naik pangkat naik dari Wakil Gubernur menjadi Gubernur DKI Jakarta. Keduanya pun menjalin koordinasi meneruskan pembangunan ibukota & persiapan Asian Games 2018 sebelum dilanjutkan Anies Baswedan.