Karena minggu lalu sudah ada dosen kelas lain yang mengajarnya sebagai pengganti, maka minggu ini tidak akan ada lagi kelas pengganti sehingga pada pertemuan di minggu kedua ini Mbak Avira langsung menyampaikan materinya saja yakni tentang sejarah dan perkembangan komunikasi internasional dari waktu ke waktu. “Oke ya, lagi-lagi kita harus kembali membahas aktor negara untuk definisi komunikasi internasional itu sendiri. Saya memakai definisi menurut Cees Hamelink yang bilang, komunikasi internasional adalah komunikasi antar negara-negara.” Imbuhnya membuka kelas.
“Aktornya sudah jelas aktor negara. Ada yang bisa mendefinisikan siapa saja mereka?” Sambung Mbak Arina memancing interaksi.
“Pemerintah juga Diplomat.” Rayla menyahut kencang paling duluan seolah tak sudi kesempatannya menjawab disambar mahasiswa lain.
“Benar. Ada lagi selain mereka berdua?” Tanya beliau.
“NGOs[1], MNCs/TNCs[2]?” Catherine, seorang mahasiswi berambut pendek menyahut.
“Bisa, tapi itu lebih tepat dibilang sebagai aktor non-negara. Konteksnya berbeda, ini cenderung dikategorikan dalam unsur globalisasi yang akan kita bahas nanti.” Beliau mengungkapkan ucapan Catherine ini hanya setengah dari fakta.
Puas menjalin interaksi dengan mahasiswanya di awal perkuliahan, beliau lantas menggeser slide powerpoint kepada materi tentang perkembangan alat-alat teknologi penunjang komunikasi internasional dari masa ke masa. Di layar infocus kelas, slide powerpoint kini nampak seperti sebuah timeline yang menggambarkan perbedaan alat-alat komunikasi dulu dan sekarang. Berawal dari abad ke-18 ketika komunikasi internasional dicetuskan, alat-alat teknologi penunjang yang tersedia kala itu hanya sebatas surat tertulis tangan, telepati, telegram atau radio analog. Televisi belum menampakkan batang hidungnya di masa itu. Kaitannya pun erat sekali dengan perkembangan transportasi. “Kalian pasti sudah pernah belajar sejarah ya baik di sini maupun di sekolah dulu. Zaman dulu, burung Merpati seringkali dipercaya jadi hewan pengirim pesan surat keluar kota karena burung Merpati itu terbangnya cepat. Alternatif lainnya kalau manusia mau bisa sekalian ikut ya menunggangi kuda juga keretanya atau delman.” Imbuhnya lagi.
Baru pada abad ke-19 dan 20 teknologi komunikasi internasional berkembang selangkah lebih maju lagi. Di abad ini televisi telah berhasil ditemukan dan mulai memperkenalkan dirinya kepada orang seluruh dunia menyaingi radio. Teknologi transportasi paling mutakhir kala itu pun telah muncul berupa lokomotif kereta api uap dan pesawat terbang yang diprakarsai George Stephenson, Richard Trevithick dan tentu saja Wright Bersaudara. “Selain menunjang mobilitas manusia, lokomotif uap dan pesawat terbang di abad ini juga otomatis jadi penunjang komunikasi internasional. Banyak orang mulai memakai keduanya jadi sarana pengirim pesan jarak jauh meskipun butuh waktu lama.” Ia tersenyum tipis. Lepas membahas perkembangan transportasi dan teknologi, kini baru ia beranjak ke hal-hal seputar satelit.
“Teknologi satelit mulai berkembang kira-kira di dekade 1960-an sampai sekarang. Fungsinya beragam, mulai dari penginderaan jarak jauh untuk kepentingan peta bumi, cuaca, siaran televisi dan yang paling pasti koneksi internet. Termasuk militer juga sering memakai satelit. Internet baru terpasang dan sedikit demi sedikit digunakan banyak orang itu di tahun 1990-an. Satelit juga sudah mengorbit Bumi, memancarkan sinyal komunikasi sejak dekade itu bahkan sebelumnya lagi.”
Ia menutup kalimatnya dan segera mengganti topik dengan spesifikasi aktor komunikasi internasional lagi. “Maaf kalau kalian bosan ngomongin aktor komunikasi. Tapi ini sengaja saya ulang-ulang biar kalian enggak lupa, sekaligus kalian juga harus tahu dari masa ke masa ukuran aktor pelaku komunikasi internasional menyusut semakin kecil. Di abad ke-19 komunikasi internasional terjalin antara kekaisaran dengan kekaisaran atau kerajaan dengan kerajaan terus di abad ke-20 terjalin antara negara dengan negara. Baru di abad ke-21, komunikasi internasional terjalin antara kota dengan kota. Makanya sekarang lagi nge-trend banget tuh istilah Smart City dimana-mana. Kalian semua pernah dengar itu ‘kan?” Paparnya. “Pernah...!” Kebanyakan mahasiswa yang sudah mulai loyo mendadak bersemangat lagi usai mendengar kata Smart City.
“Selain smart city, kalian juga pasti tahu ya istilah sister city. Ini merujuk pada kesepakatan sekaligus perjanjian kerjasama antar dua kota di dua negara berbeda yang dilatari kesamaan budaya, luas ukuran kota atau karakteristik individu warganya sendiri. Beberapa tahun terakhir ini perjanjian berkonsep demikian sudah banyak ditandatangani kota di seluruh dunia. Termasuk di antaranya ada Bandung yang setahu saya telah menandatangani perjanjian sister city dengan Seoul, ibukota Korea Selatan belum lama ini saat Ridwan Kamil masih jadi Walikota Bandung. Sekarang setelah jadi Gubernur Jawa Barat mungkin beliau akan menaikkan level kerjasama sister city dengan provinsi atau negara bagian di negara lain, bisa provinsi di Korea Selatan atau negara bagian di Amerika Serikat.” Tutup beliau mengakhiri kelas hari ini.
Untuk pertemuan ketiga minggu depan, beliau tidak lupa menitipkan tugas kepada setiap mahasiswanya yang hadir hari ini. Namun tugasnya bukan untuk dikerjakan di rumah, melainkan dikerjakan di kampus secara berkelompok maksimal enam orang sebagai bahan presentasi. Medianya bebas, boleh memakai slide Powerpoint atau papan tulis biasa saja.
Rayla pun merasa lega, terlebih lagi kala ia menghambur keluar kelas.