Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #47

Bagasi Tercerai dari Tuan

Untuk keperluan berjaga-jaga (lebih tepatnya menu utama perbekalan hari ini) bapak menugaskan Christoff menge-print lembaran demi lembaran kertas yang bertuliskan aneka jadwal penerbangan terutama jadwal kedatangan setiap pesawat yang akan mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang-Banten sepanjang hari Sabtu ini. Selain jadwal kedatangan pesawat di Cengkareng, bapak juga tidak lupa menugaskan putra sulungnya ini untuk turut serta mencetak bukti pemesanan dua kamar di Zest Hotel Cengkareng agar bisa segera dibawa. Christoff yang manut saja ke bapak enggan berkelit lagi. Ia sudah tak punya pilihan lagi selain mencetak lembaran-lembaran kertas itu dan salinan tiket pesawat ibu saat berangkat ke Australia hampir sepekan silam juga ikut dicetak. Setelahnya bapak langsung melingkari jadwal kedatangan pesawat ibu dari Australia malam ini di Cengkareng, baru usai itu mereka sekeluarga pergi dari Bandung.

Namun ketika mobil baru berjalan belum sampai lima meter dari halaman rumah, Rayla mengernyitkan dahinya. Dia bingung kenapa ibu menunggangi dua pesawat sekaligus dalam perjalanan pulangnya dari Australia ke Bandung. “Pak, ini kenapa ibu dua kali naik pesawat sekaligus? Enggak direct flight saja ke Jakarta.” Imbuhnya di jok baris kedua, persis di belakang Pak Warsono yang sudah harus konsentrasi memegang roda kemudinya. “Haaa kamu pasti lupa ya. Ibu sengaja naik pesawat dua kali sekaligus karena enggak ada penerbangan langsung Brisbane-Jakarta. Mau transit di Sydney kebetulan jadwal penerbangannya enggak klop. Makanya sekarang ibu naik pesawat Brisbane-Singapura terus nanti transit di Changi kurang lebih dua jam. Jam delapan malam waktu sana baru ibu berangkat dari Singapura terus mendarat di Cengkareng jam sembilan.” Tutur bapak menjelaskan jadwal dan rute penerbangan ibu panjang lebar. Usainya baru Rayla mengerti.

Jadwal penerbangan yang tidak matching membuat ibu harus memutar dulu ke negara tetangga setelah itu baru kembali lagi ke tanah air seutuhnya. Ia juga terpaksa mengambil pilihan pesawat ke Jakarta lantaran jadwal penerbangan Singapura-Bandung pun sama tidak klopnya alias tak ada pesawat yang berangkat dari Singapura ke Bandung pada malam hari. Adanya hanya di siang dan sore hari, seperti jadwal penerbangan Rayla ketika berlibur ke sana dengan Stevie tempo hari. Dan untuk mengurangi rasa letih usai menempuh penerbangan jarak jauh dari negeri Kanguru, tanpa tedeng aling-aling lagi bapak segera mengabulkan keinginan putra-putrinya menginap di hotel sekitar bandara seraya pergi menjemput ibu. “Lagian pesawatnya juga mendarat malam toh. Lebih baik menginap sekalian kalau begitu.” Pak Warsono seolah memberi testimoni. Dan cuaca cerah hari ini seakan ada di sisi mereka bagai setuju atas perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta hari ini.

Matahari memancarkan sinarnya di sepanjang Jalan Tol Cipularang dari arah Bandung ke Jakarta. Cuaca seperti ini membuat hati Pak Warsono tergerak untuk memacu mobil lebih kencang lagi membelah setiap kelok jalan yang membelah kontur permukaan bukit selepas Padalarang, terus mengarah ke Purwakarta. Liukan-liukan jalan itu menyuguhkan pemandangan berupa panorama alam khas tanah Parahyangan yang telah akrab di mata Rayla dan Christoff sejak kecil. Adanya jalan tol yang dibuka sejak tahun 2005 ini menjadi alasan kuat mengapa mereka selalu pergi naik mobil dari Bandung ke Jakarta. Dan pemandangan favorit dua bersaudara ini adalah jembatan kereta api yang berdiri berdampingan dengan jalan tol di titik-titik kilometer tertentu. Ketika melewatinya Rayla tidak absen membidikkan lensa kamera DSLR hitamnya ke arah jembatan-jembatan kereta api tersebut. Hasil yang didapatnya pun amat memuaskan walau tak ada kereta lewat.

“Kapan-kapan kamu mau foto-foto di atas jembatan itu? Atau coba cari info tentang komunitas pecinta kereta api dari sekarang. Siapa tahu nanti sering ikut jalan-jalan ke dekat rel atau kemana-mana malah jadi naik kereta api terus.” Bapak menawarkan solusi pemuas naluri putrinya. Bibirnya mengangkat senyum tipis ketika melihat hasil jepretan Rayla di kamera hitamnya itu. Lewat dua rest area di kilometer 97 dan 88 arah Jakarta, Pak Warsono menawari Rayla apakah mau pergi ke kamar mandi atau tidak. “Enggak pak, nanti saja” ia menjawab tegas belum ada keinginan ke kamar mandi. Maka Pak Warsono terus melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Pemandangan sepanjang sisi jalan tol berubah kala mereka mencapai kilometer 72. Tawaran singgah di rest area setempat lagi-lagi Rayla tolak halus. Ia merasa masih segar, belum ingin ke ‘belakang.’ Saat melihat ke sekelilingnya, pemandangan yang tampak hanya berupa sawah, ladang dan kebun yang semuanya berkontur landai. Ketiganya tak menarik hati Rayla seperti jembatan kereta api tadi.

Maka ia memilih mematikan kameranya dan tetap duduk sampai ia sendiri meminta Pak Warsono menepi di rest area kilometer 62 yang terletak tidak jauh dari simpang susun Dawuan. Begitu mobil terparkir di dekat bangunan penampung kamar mandi umum, minimarket dan restoran rest area ini dirinya segera melangkah ke kamar mandi umum di paling belakang. Christoff dan bapak mengekor pada sisi belakang. Kurang dari lima menit ia sudah kembali keluar saat bapak mengajaknya membeli bergelas-gelas minuman hangat. Takut tidak bisa tidur nanti malam, Rayla menjatuhkan pilihannya kepada cokelat panas seperti milik Christoff sedangkan bapak memilih kopi Cappucino demikian juga Pak Warsono. Sepasang pria ini jelas lebih butuh kopi agar prima. “Eh minumnya sambil jalan saja yuk” Christoff mengajak mereka meneruskan perjalanan seolah sudah tidak sabar ingin segera tiba di Bandara Soekarno-Hatta walau ibu masih lama mendarat.

Jalan Tol Jakarta-Cikampek di petak Karawang-Bekasi.

Semakin mendekati ibukota lalu lintas yang semula lancar jaya mendadak berubah padat. Aneka jenis kendaraan bermotor mulai dari mobil sedan kecil, minibus, bus penumpang sampai truk pengangkut barang bersatu padu merayap padat di bawah proyek konstruksi jalan tol layang Jakarta-Cikampek yang sudah bergulir pembangunannya sejak akhir 2017 lalu. Acap kali padatnya lalu-lintas di sini terutama ketika tiba musim libur panjang membuat Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan memutuskan membangun jalan tol layang agar arus dapat dipecah. Dan entah sampai kapan proyek ini akan bergulir. Yang jelas kemacetan panjang timbul sebagai risiko merangkap konsekuensinya dibangun jalan tol layang yang juga turut berdampingan dengan pembangunan jalur kereta Light Rapid Transit (LRT) serta kereta api cepat Jakarta-Bandung.

“Kalau situasinya macet begini sih sebenarnya lebih baik naik kereta api saja pak. Naik mobil ke Jakarta saat lagi kayak begini ya rasanya lama banget.” Ujar Christoff mengeluh dari bangku depan. “Halah naik mobil juga enggak apa-apa sih Chris, orang kita enggak buru-buru. Sementara kita mau naik pesawat kayak ibu kemarin ya baru naik kereta ke Gambir. Sudah, tenang saja Chris. Nikmati saja, toh enggak buru-buru.” Ujar bapak seolah tak memikul beban akibat kemacetan arus lalu-lintas. Mobil hanya maju sepanjang satu hingga dua meter setiap beberapa menit sekali. Ini mengingatkan Rayla pada pengalaman serupanya saat SMA, mengikuti University Preparation ke Purwokerto, Jawa Tengah dan Yogyakarta nyaris dua tahun silam. Banjir di kawasan Rancaekek, Bandung-Jawa Barat membuat perjalanannya tersendat selama dua jam. Namun ia beruntung saat itu. Pengemudi bus rombongan sekolahnya kebetulan tahu jalan alternatif keluar Bandung lewat Majalaya dan Rancaekek. Dia membelokkannya walau harus memutar lebih jauh, tetapi pada akhirnya mereka berhasil keluar ke arah Nagreg tepat pukul 12 tengah malam.

Hari ini situasinya berbeda. Semua orang di mobil baik dirinya sendiri sekeluarga maupun Pak Warsono sama sekali tak tahu-menahu jalan alternatif selain tol Cikampek petak Karawang-Bekasi. Yang ia tahu hanya petunjuk melewati jalan arteri sekeluarnya di gerbang tol sekitar. Tetapi belok mana atau lurus ia tidak tahu persis makanya ia tetap memilih bertahan di ruas jalan tol yang macet ini di sepanjang siangnya hari Sabtu ini.

“Shalatnya masih bisa nanti ‘kan? Bisa dijamak juga. Tenang saja.” Hibur bapak.

*** 

Lalu-lintas berangsur-angsur lancar begitu Pak Warsono mengantarkan Rayla masuk Jakarta lebih dari pukul 12 siang. Rayla yang belum sempat menunaikan ibadah shalat Dzuhur akibat terjebak macet di tol sekarang bisa melihat gugusan gedung pencakar langit menjulang tinggi dari ruas jalan tol dalam kota Jakarta. Ruas permukaannya jauh lebih landai ketimbang tadi, mengikuti kontur tanah Jakarta yang semuanya datar. Ditambah lengangnya suasana jalan ini jelas menggoda hati Pak Warsono untuk memacu mobil lebih kencang sampai ke Bandara Soekarno-Hatta dan sepanjang sisa perjalanan Rayla menemukan sejumlah titik ibukota yang akrab di pelupuk matanya sendiri walau ia tak pernah tinggal di ibukota sepanjang hidupnya. Titik-titik nan akrab itu antara lain belokan ke Jalan Rasuna Said, tempat tantenya pernah indekos dan bekerja di sana dulu. Lalu ada lagi Kompleks Parlemen, Gedung MPR-DPR-DPD di Senayan yang terlihat jelas dari jalan.

Maju berlangkah-langkah meninggalkan area kompleks parlemen, ia kini menemui Simpang Susun Semanggi berikut bangunan-bangunan di sekitarnya. Di matanya ini tampak biasa-biasa saja tetapi tidak untuk bapak. “Nah ini titik kerusuhan demo 1998 pecah, jauh sampai ke Kemanggisan. Dulu bapak pernah pergi belanja ke mall di sekitar sini terus tahu-tahu kerusuhannya pecah. Saking kacaunya bapak sampai harus jalan kaki ke rumah kos di Kemanggisan dong.” Sosok bapak ternyata bisa menjelma jadi pemandu wisata atau sejarawan dadakan. Pengalamannya tinggal di ibukota tatkala kerusuhan dalam aksi demonstrasi menuntut mundurnya Presiden RI ke-2 Soeharto tahun 1998 silam mendorongnya agar lebih giat bercerita. “Terus di bandara waktu zaman kerusuhan 1998 itu gimana kapten?” Pak Warsono menyahut sembari matanya menerawang gedung-gedung.

“Ramainya setengah mati, minta ampun banget pak. Waktu itu kebetulan saya juga mengantar ibu mau terbang naik pesawat ke Jerman. Berangkat dari Bandung sudah sejak pagi naik kereta api karena takut kena halangan. Terus lanjut naik taksi dulu ke Blok M, dari Blok M baru naik bus langsung ke bandara. Nah di sepanjang perjalanan ke bandara ini, semua gedung di sekitar sini sudah rusak. Bekas penjarahan banyak banget ada dimana-mana. Asap tebal juga mengepul dari semua sisi. Begitu sampai di bandara terutama terminal keberangkatan internasional saya sama ibu langsung lihat orang sudah penuh sesak. Kebanyakan mereka itu korban penjarahan terus pada mau pergi mengungsi yang jauh.” Terang bapak. “Rata-rata mereka pada mau terbang kemana?” Kali ini Christoff menimpali karena penasaran.

“Tujuan mereka beragam. Yang dalam negeri mengungsi ke Semarang, Surabaya, Medan, Pontianak, Makassar atau Manado. Luar negerinya kebanyakan ke Singapura & Hong Kong. Wajah mereka pada ketakutan semua waktu itu. Terus ibu baru take-off ke Jerman malamnya setelah check-in sorenya. Bapak waktu itu langsung terbang ke Singapura & Hongkong angkut mereka yang mengungsi itu bolak-balik. Duh kalau ingat itu rasanya kasihan banget.” Kenang bapak mengingat betapa dahsyat bin ganasnya peristiwa kerusuhan yang menimpa ibukota saat itu. Untuk diketahui, hanya berselang beberapa hari usai bapak terbang ke Singapura-Hong Kong dan ibu ke Jerman, melihat sudah tidak memungkinkannya situasi-kondisi untuk terus berkuasa, tepat pada hari Rabu tanggal 21 Mei 1998 pukul 10.00 WIB, secara langsung dari Istana Negara Presiden RI ke-2 Soeharto merilis pidato pernyataan maha penting sepanjang sejarah bangsa Indonesia:

“Menyatakan berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pidato pernyataan ini.”

Lihat selengkapnya