Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #48

Malari dan Keputusan Memilih Perang Dagang

Kepala lonjong Rayla menyembul dari balik helm hijau khas ojek online yang sedang menjamur belakangan ini di depan gerbang kampus seiring tangannya menyerahkan lembaran rupiah kepada sang pengemudi sebelum melangkah masuk. Di dalam kampus, ia tak langsung menuju kelasnya melainkan melipir terlebih dahulu ke kantin di Gedung Fakultas Teknik. Ukuran ruangnya terbilang kecil untuk kampus sebesar Unpar. Namun mahasiswa tidak pernah absen jajan di kantin milik koperasi keluarga besar Fakultas Teknik ini. Dari kantin mungil berpenjaga seorang ibu paruh baya pemakai kerudung ini dirinya mendapatkan dua potong risoles isi makaroni seharga Rp. 10.000,00 dan setelah membeli kudapan itu barulah ia bergegas pergi ke Fisip.

Hari ini untuk kali pertamanya ia mendapatkan firasat akan diberi tugas berkelompok yang membahas aneka isu ekonomi politik internasional belakangan ini. Ia berani merasakan firasat seperti ini usai mendengar dari temannya yang tadi berserobok di kantin. Jumlah mereka ada empat orang, sudah mengikuti kelas Ekonomi Politik Internasional tadi pagi. Mereka tak sengaja memberi tahu Rayla saat sekaligus bertanya apakah hari ini ada kelas atau tidak. Dan Rayla memilih tidak langsung percaya. Ia memilih tetap berjalan ke gedung Fisip dan menunggu kebenaran informasinya secara langsung di kelas saja.

“Halo semua.” Rayla mengucap salam sapaan begitu menguak daun pintu lebar-lebar.

“Eh Rayla, selama ini loe dekat sama Stevie ‘kan?” Tanpa basa-basi, Naira menanyakan Stevie.

“Iya Nai, selama ini gue dekat sama Stevie yang pakai kacamata itu, orangnya putih. Memang kenapa?” Jawabnya kaget melihat teman kuliahnya ini menanyai Stevie begitu saja.

Gue cuma bertanya, Ray. Habisnya setelah ini gue mau langsung bentuk kelompok sama dia. Cuma sebelum itu gue mau konfirmasi ke loe dulu, takut enggak enak sama kalian berdua kalau selama ini sedekat itu.” Sontak ada perasaan ganjil yang menyeruaki hati Rayla. Ia merasa heran kenapa Stevie belum terlihat batang-hidungnya di kampus sejak tadi ia datang padahal biasanya ia selalu kemana-mana berdua dengannya. Sambil duduk, Rayla berusaha menerka-nerka soal apa yang terjadi dengan Stevie hari ini. Untuk pertama kalinya selama Rayla mengenal gadis kelahiran Bandung itu sejak empat tahun silam, rasanya baru kali ini ia merasa terpisah sejauh itu dari dia. Dulu-dulu saat di SMA saja kalaupun terpisah masih selalu dekat. Dan tumben sekali Stevie tak sempat bicara satu patah kata pun dengan Rayla. Bahkan ketika masuk kelas saja ia hanya mengatakan “Hai” kepadanya sambil berlalu ke bangku paling belakang.

Di sana ia sudah langsung asyik berbincang dengan teman-teman sekelompoknya, membicarakan apa saja topik yang ingin mereka bahas saat presentasi nanti. Kontras dengan Rayla yang sama sekali belum menemukan orang untuk mengisi kelompoknya.

Dosen datang ke kelas, ia pun segera mengawali pembahasan tentang materi hari ini selama kurang lebih 30 menit namun kadung didominasi tugas kelompok. Ia lantas mengambil kertas absensi dan membagi tiap-tiap nama mahasiswa yang tertera di sana ke dalam beberapa kelompok walau tak membaginya secara acak juga, melainkan berurutan sesuai nomor absensi. Ketika Mas Hadi menyebutkan nama berikut nomor pokok mahasiswa Rayla, di titik itulah dia benar-benar menyadari Stevie bukanlah kawan sekelompoknya. Melainkan Eldo, Phillip dan Axelia-lah yang bakal menemani Rayla untuk beberapa pertemuan ke depan. Sesuai instruksi beliau yang memperbolehkan tiap-tiap kelompok mahasiswanya berdiskusi di luar, kelompok ini memilih tempat dekat bangku di seberang pintu kelas. Keempatnya berdiskusi mau memilih topik apa untuk dipresentasikan nanti.

“Eh eh eh sok mau tentang apa?” Tanya Eldo memancing kawan-kawannya.

“Apa saja sok bebas,” Axelia membebaskan semua kawannya memilih topik.            

Rayla terdiam sejenak memikirkan apa topik yang ingin ia angkat bersama kelompoknya untuk presentasi kali ini. Kepalanya berupaya menerka-nerka apa saja isu ekonomi internasional yang tengah santer kekinian sampai ia menjawab secara spontan antara sadar atau tidak. “Perang Dagang saja gimana?” Suaranya terasa memantul-mantul dengan jawaban yang tampak menggantung juga. “Gue setuju, Ray. Yang lain gimana?” Eldo nyatanya menyambut baik ide Rayla ini. “Ya sudah deh, gue juga setuju bahas perang dagang. Artinya kita harus banyak mencari sumber tentang Amerika & Tiongkok ya.” Axelia dan Phillip setali tiga uang. Mereka juga ikut memilih Perang Dagang Amerika Serikat vs Tiongkok sebagai topik presentasinya. Sehingga untuk itu, keempat anak muda ini lantas menyusun poin-poin maha penting dalam presentasi mereka.

Adapun poin-poin maha penting yang mereka catat itu terdiri atas latar belakang terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat melawan Tiongkok, proses terjadinya, dampak yang timbul serta prediksi kedepannya. Sosok Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xi Jinping turut tak luput dari pembahasan Rayla sekelompok hingga Mas Hadi meminta semuanya kembali ke kelas. “Waktunya sudah cukup ya, yuk kita diskusi di dalam lagi.” Tahu-tahu waktu diskusi selama 20 menit sudah usai. Tak punya pilihan lain lagi atau terlambat masuk kelas, Rayla pun segera beringsut duduk lagi di kelas. Eldo, temannya yang memimpin kelompok saat ini telah menyetorkan tema presentasinya ke meja dosen. Usai semua mahasiswa menduduki lagi kursinya masing-masing dosen lalu membacakan daftar tema presentasi mahasiswanya. Keseluruhan tema itu dihiasi berbagai topik selain perang dagang AS-Tiongkok seperti sanksi embargo ekonomi antarnegara, peningkatan laju ekspor-impor, dsb.

Bahkan tidak tanggung-tanggung ada salah satu kelompok yang membahas sanksi embargo ekonomi Amerika Serikat terhadap Uni Soviet dan Yugoslavia beserta negara-negara pecahannya di waktu lalu. “Wow, ini kelompok siapa yang membahas embargo untuk Uni Soviet?” Beliau terperangah melihat nama negara yang telah bermetamorfosis jadi kenangan hampir 30 tahun silam tersebut. Seorang mahasiswa pria jangkung mengacungkan tangannya setinggi mungkin. “Saya mas,” Ujar Gwen sambil menggulung senyum. “Kalian bisa pastikan enggak ini embargo yang dijatuhkan tahun berapa? Kalau terlalu lama misalnya tahun 1960an, apa 1970-1980an saya lebih merekomendasikan agar diganti saja dengan data yang baru. Nanti boleh diskusikan lagi dengan kelompoknya.” Selorohnya halus. “Paper kali ini sengaja saya buat berbeda dari biasanya biar kalian dapat lebih banyak gambaran kuliah S2.” Beliau melanjutkan ucapannya, undang penasaran.

“Berdasarkan pengalaman saya mengajar di kampus pascasarjana terutama mahasiswa jenjang S2, sekaligus pengalaman saya mengambil kuliah S2 di Eropa belasan tahun lalu, setiap kali mengumpulkan tugas paper ke dosen itu bukan berarti tugasnya selesai begitu saja titik. Tapi setelah kita mengumpulkannya, nanti dosen akan membaca paper kita sampai beres terus dikoreksi. Nah setelah dikoreksi ini nantinya paper ini akan dikembalikan ke mahasiswanya untuk direvisi. Makanya di tugas ini saya memberlakukan sistem seperti itu biar kalian enggak kaget kalau nanti S2 atau bahkan S3. Siapa tahu nanti ada S2 atau S3nya satu kampus dengan saya di Eropa.” Walau terlihat membebani, namun rupanya inilah alasan mulia dosen meminta setiap mahasiswanya siap merevisi paper usai pengumpulan kelak. Mendengar “siraman rohani” beliau ini, benak Rayla mendadak menyiratkan sesuatu.

Di telinga sebagian orang, kuliah di luar negeri terasa seperti sebuah kehebatan termewah. Belajar di kampus top dunia dan tinggal di negara maju selalu terdengar mengasyikkan. Tetapi dibalik semua itu hakikatnya semua yang terjadi di sana adalah sebuah perjuangan baik secara akademis maupun psikologis. Kuliah di luar negeri sekaligus memuat perjuangan menuntaskan tanggung jawab menuntaskan pendidikan sampai selesai menggunakan sistem, budaya, bahasa, iklim serta pergaulan yang semuanya berbeda dari negara sendiri. Itu semua terasa berat kecuali bagi orang-orang yang telah mengantongi mental pejuang apalagi di negara-negara bule seperti Australia, Selandia Baru, Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Makanya kesiapan matang sangat dibutuhkan di sini dan inilah pesan yang pernah ibu tanamkan kepada Rayla.

“Mas Hadi, ini deadline-nya kapan ya?” Fiora, mahasiswi putih nan jangkung bertanya.

“Eh iya, hampir saja lupa. Terima kasih untuk pertanyaannya. Hmmm, sebentar. Kita masih ada empat kali pertemuan lagi termasuk hari ini. Minggu depan, eh dua minggu lagi bisa kumpulkan paper-nya? Karena target saya, sebelum UTS awal bulan depan sudah ada kelompok yang presentasi. Artinya, semua pertemuan setelah UTS nanti kita isi dengan presentasi kelompok alias tidak ada lagi materi dari saya.” Sambung beliau menutup kelas hari ini.

Ketika mahasiswa berebut keluar kelas Rayla tak lupa membubuhkan tanda tangannya di kertas absensi daftar hadir. Begitu hendak keluar ia masih berupaya mencoba menyapa Stevie, namun hasilnya Stevie justru melenggang pergi begitu saja tak sempat menghiraukan Rayla. Ini tentu membuat Rayla bertanya-tanya, ada apakah gerangan dengan Stevie?

Hanya hatinya yang mampu memberi jawaban.

*** 

Lezatnya Mie Hijau yang sudah terkenal di sejagat kampus ini seolah mendadak sirna, membuat Rayla merasa seperti tidak berselera usai menelannya sampai habis siang ini lantaran ketika masuk kelas Politik Internasional, lagi-lagi sang dosen memberikan tugas berkelompok kepada siapa saja yang hadir di kelasnya siang ini. Tanpa basa-basi lebih panjang lagi, dosen pria berkacamata ini segera menyuruh mahasiswanya membentuk kelompok masing-masing. Awalnya Rayla ingin duduk satu kelompok dengan Aga, seorang mahasiswa lelaki berambut gondrong dan kacamata lebar. Tetapi Aga kepalang menolak dirinya mentah-mentah dengan alasan jumlah anggotanya sudah pas. Dirinya mengaku sudah satu kelompok dengan Vika, mahasiswi perempuan berambut panjang serta kulit putih.

Lihat selengkapnya