Ting-tung!
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Hanya butuh waktu sampai dua hari bagi Fariq untuk merampungkan segenap buah perjuangannya selama satu tahun terakhir ini. Setelah pergi ke kantor pusat maskapai penerbangan Air Asia Indonesia di Jakarta━dekat Bandara Soekarno-Hatta sana sekaligus menginap selama dua hari satu malam, akhirnya surat maha penting sepanjang hidupnya itu mendarat jua secara virtual di komputer alias datang dalam bentuk surat elektronik. Lepas senja berlalu di hari Kamis malam ini, bersama-sama dengan Rayla, Stevie dan Christoff, sambil duduk berselonjor meluruskan kakinya di teras Masjid Istiqomah Jalan Citarum, Bandung secara perlahan-lahan Fariq membuka akun surat elektroniknya di telepon seluler. Akun surel itu lalu menampilkan puluhan kiriman surat yang belum sempat Fariq baca mencakup diantaranya surat pemberitahuan dari maskapai AirAsia perihal diterimanya ia atau tidak.
Dengan muka tegang ia lalu mengarahkan sepasang jemarinya memencet kolom subjek yang kata-kata keterangannya masih tercetak tebal itu. Dan hanya membutuhkan waktu sepersekian detik pula untuk dapat langsung mengetahui isi surat itu. Kepalanya yang ditumbuhi rambut cokelat kopi pada sekujur permukaannya itu beranak-beradu dengan Rayla, Stevie dan Christoff. Tiga mahasiswa HI Angkatan 2017 ini juga ikut-ikutan tegang saat Fariq hendak membaca surat elektroniknya itu. Nafasnya terdengar memburu mengikuti keramaian arus lalu-lintas di sekitar masjid. Jarinya yang sejak tadi tak kenal henti men-scroll layar seketika berhenti sebelum menggeser ke sebelah kanan dan membacanya secara zig-zag ke bawah. Intinya surat itu mencantumkan nama, tanggal lahir, alamat dan almamater sekolah pilotnya sendiri setahun ini. Ia terlebih dahulu memastikan identitasnya itu benar semua sebelum ia mengeja satu per satu huruf yang menghimpun dirinya sendiri menjadi satu kata yang dicetak tebal besar-besar: DITERIMA.
Tubuh Fariq sempat terlonjak ke belakang, namun ia mencoba tenang dahulu. Sekali lagi ia memastikan bahwa surat elektronik itu memuat kabar gembira yang layak ia terima hari ini. Usai kembali memastikan barulah ia merekahkan senyumnya lebar-lebar.
“Alhamdulillah, guys this is your captain speaking. Fix, secara resmi sekarang aku sudah masuk jadi pilot AirAsia. Aku kerja, bisa mulai terbang bulan Oktober ini.” Bagai koor paduan suara Rayla, Stevie juga Christoff menghela nafas lega. Rasanya ada beban yang lenyap dari dada mereka begitu tahu Fariq sudah resmi diterima bekerja sebagai pilot di maskapai berbiaya terjangkau itu.
“Wah selamat, selamat Fariq. Bangga sekaligus senang juga nih akhirnya kamu jadi pilot.” Rayla memberi ucapan selamat paling duluan. Tidak mau ketinggalan, Stevie dan Christoff ikut menyampaikan hal senada. Keduanya bangga dengan temannya yang berhasil tembus seleksi pilot.
“Alright captain, jadi kapan nih kita mau menikah?” Stevie menceletuk jahil. “Stev, next time deh kita bicarakan pernikahan. Lagian kamu juga masih kuliah.” Sindir Fariq membuat Stevie tergelak diikuti Rayla-Christoff. Enggan berlama-lama di masjid lantaran sudah beres shalat Isya, keempat sekawan ini lantas beranjak menuruni tangga samping masjid ke arah Jalan Lombok. Persis di ujung anak tangga terakhir mereka memasangkan sepatu kepada kakinya masing-masing sebelum melangkah keluar area pelataran masjid ke arah Warung Bakso Malang Fortuna, sebuah warung bakso ternama di Bandung. Warung ini tidak pernah sepi pembeli walau mematut gaya bangunan sederhana dengan jumlah kursi sedikit nan seadanya. Pelayan yang sehari-hari bekerja di sana pun tidak canggung mematut penampilan sederhana menandakan mereka lebih mengutamakan rasa ketimbang penampilan. Atau gampangnya kepuasan pelanggan menjadi yang paling utama.
Rayla dkk masuk, keempatnya kini harus mengantri dulu di gerobak. Salah seorang pelayan mempersilahkan mereka memilih ingin mengudap apa saja. Rayla sendiri menjatuhkan pilihan kudapannya pada dua gulung mie kuning, satu gulung bihun, daging Iga, beberapa butir bakso aneka ukuran, bakso tahu dan siomay basah yang selanjutnya diguyur kuah panas dari sebongkah panci di dalam gerobak. Makanan lengkap, kini tinggal mengambil empat teh botol dan membayarnya ke meja kasir. Kemudian diekori kawan-kawannya, ia memilih tempat duduk pada sebuah meja dekat tembok kanan dan mereka segera menelan porsi kudapannya masing-masing begitu duduk. Tak lupa, Fariq menekankan bahwa acara makan malam kali ini merupakan bentuk syukuran atas diterimanya ia bekerja sebagai pilot AirAsia Indonesia terhitung sejak Oktober ini.
Sambil menelan daging Iga seperti milik Rayla, tak henti-hentinya Fariq membayangkan akan segagah apa ia ketika sudah bekerja nanti. Tiap hari mondar-mandir keliling bandara, pergi dari satu kota ke kota lainnya baik di seluruh Indonesia maupun luar negeri dengan baju seragam pilot. Tiap hari berkendara menggunakan pesawat jet seraya mengangkut banyak penumpang menjadi nilai tambah nan amat menggiurkan. Kalau diceritakan, amboi rasanya elok nian. Malahan imajinasi seperti itu mendadak membuat Fariq merasa tidak sabar ingin segera menerbangkan pesawat hingga Stevie membuyarkan konsentrasinya tadi.
“Eh Fariq, nanti waktu kamu masuk kerja, saat pertama kali terbang pangkat kamu apa ya?” Ia kepalang penasaran dengan pangkat lelaki pujaan hatinya ini.
“Aku masih first officer, lebih spesifiknya junior first officer yang tanda pangkatnya masih satu strip.” Sebanyak 50% porsi bakso malang telah habis dikunyah, Fariq lalu merogoh lagi ponsel dari saku dan diperlihatkannya foto-foto tentang atribut wajib para pilot kala menerbangkan pesawat.
“Nih, buat yang baru lulus sekolah pilot kayak aku begini tanda pangkatnya masih satu strip. Kayak yang aku bilang tadi, ini artinya junior first officer bahkan trainee atau magang juga bisa. Di atasnya, tanda pangkat dua strip artinya kurang lebih sama juga. Cuma bedanya, pangkat ini sudah punya lebih banyak jam terbang. Ketiga, pangkat tiga strip baru artinya senior first officer sekaligus tinggal selangkah lagi jadi kapten. Nah pangkat empat strip baru kapten.” Paparnya bangga.
“Berarti intinya tanda pangkat itu dibedakan sekaligus didapat menurut jam terbang ya say.” Terka Stevie menebak-nebak arti tanda pangkat pilot berdasarkan capaian jumlah jam terbangnya.
“Betul Stev, tanda pangkatnya dapat yang berapa strip ya itu tergantung jumlah jam terbang yang sudah dikumpulkan.” Mungkin ini kali keduanya Stevie memanggil Fariq “sayang”.
“Proses naik pangkat begini bisa bertahun-tahun lho, dulu bapak saja butuh waktu 10 tahun sampai bisa jadi kapten.” Rayla membongkar lagi masa lalu ayahnya sekaligus menyiratkan rindu pada beliau yang hingga kini masih bertugas menerbangkan penumpang dari Seoul, Korea Selatan ke Denpasar, Bali dan sisanya dari Denpasar ke Jakarta esok malam.
Malam semakin larut, namun suasana justru semakin ramai. Porsi bakso malang yang ternyata belum habis setengahnya seolah menambah kehangatan malam itu, membuat Rayla enggan terburu-buru menghabiskannya. Ia masih ingin berlama-lama di sini merasakan nikmatnya rasa syukur atas buah hasil perjuangan yang baru saja dicapai Fariq hari ini.
***
Langit Sulawesi, keesokan harinya.
Aplikasi flightradar24 di layar komputer tablet Rayla menunjukkan posisi pesawat bapak telah memasuki ruang udara pulau Sulawesi petang ini. Lebih tepatnya sekarang bapak masih terbang di atas perbatasan Provinsi Gorontalo dengan Sulawesi Tengah seiring dirinya menunggu giliran diperiksa Dokter Gigi Tedja pada ruko tempat prakteknya di Jalan Abdulrachman Saleh. Dan tanpa sepengetahuan Rayla, jauh di atas Pulau Sulawesi sana bersama First Officer Jericho Wangsaatmadja bapak sedang melakukan transmisi kontak radio dari pengawas udara Manila, Filipina ke pengawas udara Mutiara SIS Al-Jufri Palu, Sulawesi Tengah juga dalam peralihan selanjutnya lagi ke pengawas udara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan dan Ngurah Rai Bali untuk pendaratan kelak. “Garuda 893 please you contact Palu Tower and standby on level 350.” Perintah pemandu udara yang kelihatannya seorang perempuan asli Filipina itu.
Bapak pun berulang kali menyapa siapa saja petugas yang ada dibalik kendali menara Palu.
“Palu Tower good afternoon this is Garuda 893 on heading to Denpasar via radio transmission with Makassar, wants to contact you from level 350. Palu Tower are you able to hear me? If you’re able please contact my radio.” Pilot senior kelahiran 1962 ini berulang kali menyapa pengawas udara di ibukota Provinsi Sulawesi Tengah itu. Namun sayangnya hanya ada suara hening dari balik radio saat itu. Tidak ada jawaban berupa kata-kata pasti dari petugas dibalik kendali. First Officer Jericho Wangsaatmaja, asisten pilot muda kelahiran Tasikmalaya 24 tahun silam ini melirik arlojinya di pergelangan kiri. Sudah pukul enam petang.
“Mungkin petugasnya lagi pada shalat dulu capt.” Imbuhnya singkat, tidak ingin mengganggu bapak. Menara Palu gagal dihubungi, bapak lalu meminta pindah frekuensi menara.
“Yang tersedia tinggal Samarinda, Balikpapan sama Makassar sekalian. Mau kontak yang mana kapten?” Bapak memilih Makassar.
Sebelum asistennya yang asli orang Sunda itu berhasil menghubungi pengawas udara Makassar, bapak mencoba menoleh keluar jendela kokpit. Level 35 ribu kaki seperti ini jelas sangat tinggi, membuatnya tak bisa melihat sampai jauh ke bawah sana kecuali hamparan awan putih yang tampak indah akibat siraman sinar matahari senja. Merasa semuanya baik-baik saja, bapak memotret pemandangan kokpit sore ini menggunakan kamera sakunya agar dapat ditunjukkan ke keluarganya setiba di Bandung nanti malam.
“Garuda 893 tetaplah bertahan di jalur ke arah Makassar, sekarang anda sudah masuk frekuensi kami. Radius beberapa puluh kilometer ke depan anda boleh turun ketinggian…” Petugas menara Makassar mengeluarkan instruksi menggunakan Bahasa Indonesia.
Di Bandung, pintu ruang praktek dokter Tedja dikuak Mbak Aci. Pasien pertama yang tadi baru selesai periksa kini sudah keluar dan Mbak Aci mempersilahkan Rayla masuk. Begitu tiba di dalam ia segera menduduki kursi periksa dan seperti biasa, gigi serta kawatnya menjadi sasaran dokter Tedja berikut alat-alat prakteknya sore hari ini.
“Bapak enggak ikut?” Mas Gio si perawat pria mencecar kedua bersaudara ini dan ibunya soal keberadaan kepala keluarga mereka.
“Enggak mas, hari ini bapak baru pulang terbang dari Korea Selatan via Bali. Kayaknya tengah malam ini baru mendarat lagi di Jakarta terus lanjut jalur darat ke sini.” Papar Christoff sekaligus menimbulkan rasa yang mengganjal hati Rayla. Bibirnya ingin segera bicara, namun sekarang dokter Tedja masih memasukkan alat pembersih kuman ke sekujur rongganya.
“Wah enggak tahu juga tuh bapak ke sini malam ini atau besok sekalian. Habisnya kan bapak naik kereta, orang tolnya macet lagi dibangun.” Rayla hanya bisa bergumam dalam hatinya.
Untuk mengusir bosan selama diperiksa, tiap beberapa menit sekali Rayla mengecek komputer tabletnya yang sejak tadi ia sampirkan di atas permukaan paha kanannya sehingga tiap kali ia mengambil itu ia pasti akan sekalian seraya mengurut pahanya sendiri walau tak pegal. Dilihatnya situs daring Flightradar24 yang tak sempat ia tutup tadi. Tahu-tahu pesawat tunggangan bapak sudah bergeser posisi ke langit Makassar, Sulawesi Selatan. Barangkali hanya butuh waktu kurang dari tiga jam lagi untuk sampai di Denpasar, orang tinggal menarik garis lurus saja dari Makassar. Ketinggiannya pun sudah bapak kurangi, dari asalnya 35 ribu kaki sekarang 31 ribu kaki. Sebentar lagi pasti akan terus dikurangi seiring semakin dekatnya pendaratan di Denpasar.
“Wah itu aplikasinya Mbak Rayla canggih banget ya bisa nonton pesawat lagi terbang.” Dokter Tedja berdecak kagum melihat apa yang tampil di layar komputer tablet Rayla.
“Iya dok, zaman sekarang mah sudah canggih. Pesawat lagi terbang saja bisa ditonton live.” Imbuhnya sudah bisa bicara kini. Berikutnya dokter Tionghoa merangkap ibu dua anak ini mengoprek kawat gigi Rayla untuk kesekian kalinya dalam beberapa tahun terakhir ini. Ada bagian yang ia putar untuk melonggarkan kawat itu agar nyaman digunakan Rayla saat tidur setiap malam.
Hanya beberapa menit, Rayla selesai diperiksa sehingga tibalah giliran Christoff.