Suasana berkabung pasca kepergian Mas Moel sepekan lalu masih terasa begitu kental di tiap-tiap sudut gedung Fisip sampai hari ini. Gugusan karangan bunga duka cita masih bertebaran di sekitar area Fisip sampai hari Selasa pagi ini sebagai pemberian dari berbagai angkatan yang pernah mengenyam bangku perkuliahan di HI baik angkatan 1990an, 2000an sampai 2010-an termasuk angkatan Rayla sendiri yang memajang karangan bunga duka di Rumah Duka Borromeus minggu lalu. Tidak lama usai Rayla melayat, jenazah beliau sempat diberi upacara penghormatan terakhir di gedung Fisip dan juga rumahnya sendiri sebelum akhirnya dimakamkan. Dan kini, suasananya telah mengalami perubahan sepenuhnya usai ditinggal beliau pergi selama-lamanya.
Bahkan saat UTS MIHI saja pada hari Jumat pekan kemarin, ternyata Rayla baru tahu kalau Mas Moel sama sekali belum sempat menyetorkan lembar soal ujian ke Prodi HI juga tata usaha fakultas. Hanya sempat merilis bocoran soal ujiannya yang lalu didiktekan para dosen pengawas di masing-masing ruang ujian dan ditulis sendiri oleh para mahasiswa. Alhasil kepergian mendadak beliau ini turut membawa perubahan dalam kehidupan kuliah setiap Mahasiswa HI. Untuk pertemuan-pertemuan selepas UTS di sisa separuh semester ini beliau sudah pasti akan digantikan dosen baru lainnya. “Perkara siapa saja yang akan mengajar mata kuliah MIHI, kami akan segera rapat untuk memutuskannya. Nanti kalian lihat saja di kelas, toh kalian juga akan tahu sendiri.” Imbuh Mbak Riana di ruang ujian tempo hari.
Dan Rayla sendiri masih harus bersabar menunggu jawaban atas teka-teki itu hari Selasa pagi ini, 16 Oktober 2018. Sambil menanti, seperti kebiasaannya kala menunggu kuliah bermula pagi ini sebelum dosen baru masuk kelas ia memilih pergi ke depan kampus terlebih dahulu. Tujuannya hanya satu, yaitu membeli cemilan pagi berikut minuman yang dijual pedagang sekitar kampus. Pilihan kudapannya kali ini jatuh kepada paket gorengan berupa bala-bala dan pisang goreng buatan warung Pak Awan serta sekotak susu Ultra rasa cokelat dari kulkas setempat. Ia membayarkan uang enam ribu rupiah, baru setelahnya pergi berlalu meninggalkan pedagang sepuh itu kembali ke kelasnya. Setiba kembali di kelasnya pada lantai lima Fisip, ia mendapati suasana kelasnya sudah lebih riuh ketimbang tadi. Kalau tadi ia hanya duduk seorang diri, sekarang ada Irgi yang menemaninya bersama Stevie, Velove dan Clarissa. Tinggal Christoff yang masih belum muncul entah lagi kemana, padahal tadi berangkat bareng Rayla dari rumah.
Anyway, keempat sosok mahasiswa HI yang kini telah berkumpul bersama Rayla adalah para penganut darah Tionghoa asli dalam tubuh mereka terbukti dari tipe wajahnya kecuali Velove yang latar belakang keturunannya Rayla sangsikan menurut perbedaan tipe wajahnya. Melihat Stevie akrab dengan teman-teman kuliahnya Rayla pun segera melebur dalam obrolan bersama mereka.
“Kelas MIHI tuh adanya tiap hari apa saja ya?” Celetuknya mengalihkan topik obrolan.
“Kemarin, hari ini sama lusa. Malahan yang kelasnya kemarin diajar Mas Martin.” Velove meladeni Rayla.
“Oh iya? Ya aku tahu, Mas Martin orangnya masih muda?” Ujar Rayla menyahut.
“Ya betul itu.” Cherry membenarkan sahutan Rayla tadi sebelum gadis cantik ini mengalihkan pandangannya ke arah Stevie. Sahabat cantiknya ini sudah tak lagi semurung minggu lalu. Gadis pemakai kaos merah bergambar logo band Noah ini sudah bisa tersenyum lebar. Sesekali ia melepaskan tawa kecil seiring ia menyumpal telinganya dengan earphone usai tadi melepasnya sejenak. Ia tampak ingin larut dalam dunianya sendiri sebelum mulai kuliah.
Pukul setengah delapan, seorang pria berkulit putih pucat serta mengenakan kacamata melintas di depan pintu kelas. Langkahnya terlebih dahulu mengarah ke meja petugas jaga lantai untuk menandatangani daftar hadir dosen sekaligus mengambil kertas absensi baru setelahnya masuk kelas. Sebuah senyum khas terkembang lebar-lebar memenuhi wajah melingkarnya dan melihat mahasiswa yang langsung menyambutnya membuat pria itu merasa enggan memperkenalkan diri. Lagian Rayla sendiri sudah tahu namanya. Beliau adalah Mas Guntur. Rupanya beliaulah yang menerima amanah dari Program Studi HI untuk menggantikan Mas Moel di setengah semester ganjil ini. Enggan membuang-buang waktu lagi, beliau segera mengawali perkuliahan.
“Pagi dik, apa kabar semuanya? Sehat?” Pertanyaan ini sudah terlalu klasik untuk mengawali percakapan di segala tempat, namun sekaligus bisa mengusir kecanggungan.
“Sehat mas,” Rayla menjawab kompak dengan teman-temannya bagai koor paduan suara.
“Oke, syukurlah kalau semuanya sehat. Baik, hari ini kayaknya kita cuma sebatas perkenalan materi untuk setengah semester ini terus sisanya kita ngobrol-ngobrol saja ya, terutama tentang Mas Moel. Jujur, saya saja masih terus terbayang-bayang sosok beliau sampai hari ini.” Bukanya di awal.
“Saya pertama kali kenal Mas Moel ya tentu saja saat kuliah di sini juga, ya kurang lebihnya waktu saya seumuran kalian begini. Dulu…, saya mendapat kuliah Filsafat juga Teori HI dari beliau dan begitu saya lulus kuliah, saya langsung saja melamar kerja jadi dosen di sini dan sejak saat itulah kami berdua jadi sangat dekat.” Lanjutnya mengenang pertemuan pertama bareng Mas Moel.
“Nah saking dekatnya ini saya jadi sering jahil ke beliau, jahilnya itu dulu saya ini paling hobi meminjam pensil atau pulpen ke Mas Moel tapi enggak pernah saya kembalikan termasuk sampai beliau meninggal minggu kemarin. Eh ngomong-ngomong kalian tahu ‘kan beliau sempat dirawat di RS Borromeus? Ya pasti tahulah ya. Malahan sebelumnya sempat di Rumah Sakit Hasan Sadikin terus saya sempat nengok di UGD-nya. Di situ saya melihat beliau sudah setengah sadar tapi masih bisa mengenali orang termasuk saya. Setelah itu baru beliau dipindahkan ke ICU Borromeus dan hanya beberapa jam dokter langsung konfirmasi beliau sudah wafat.”