Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #53

The Presidential Car Free Day

Ingatan bapak tentang segala tingkah laku Rayla sebagai anak perempuan bungsu satu-satunya masih tetap melekat jelas dan terus terekam dalam benaknya hingga Rayla genap menginjak usia 18 tahun pada 2018 ini. Walau pahit dibilang, namun itulah kenyataannya. Adalah insiden kecelakaan Pesawat JT-610 kemarin yang sontak membangkitkan ingatan bapak tentang kenangan masa kecil anak gadisnya itu. Memiliki anak yang sudah tumbuh besar membuat bapak bisa membandingkan responnya terhadap kasus kecelakaan pesawat sekaligus risiko kerjanya saat ia masih kecil dan saat sudah besar. Bapak ingat betul, saat Rayla masih kecil terutama ketika dirinya masih menduduki bangku Kelas 2 SD di usia 6,5 tahun pernah ada sebuah pesawat komersial yang juga dilaporkan hilang kontak dengan menara pengawas di sekitar laut Sulawesi. Beritanya juga tidak kalah heboh dengan Pesawat JT-610 kala itu. Mendengar kejadian itu seluruh anggota keluarganya cemas tak terkecuali Rayla yang tidak kenal henti menanyakan kapan bapak pulang.

Berbarengan dengan kejadian tersebut, waktu itu bapak tengah menghela penerbangan internasional antara Indonesia dengan Singapura dan Hong Kong selama hampir dua pekan. Saat berita kecelakaan pesawat di Sulawesi itu tersebar bapak masih dalam perjalanan pulang dari Hong Kong ke Bandung melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Dan beliau tahu ada kecelakaan pesawat di laut Sulawesi begitu mendarat di Cengkareng. Telepon seluler lawasnya berdering kencang, menunjukkan ada panggilan masuk dari nomor ponsel ibu di Bandung. Bapak pun segera mengangkatnya, namun suara yang menyahut dari balik ponsel justru suara seorang anak perempuan kecil. Ia pasti tahu itu suara Rayla kecil yang sudah merengek-rengek bertanya kapan bapak datang lagi ke Bandung dan bapak segera mengatakan saat ini sudah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, tinggal meneruskan perjalanan ke Bandung via jalur darat. Intonasi suara Rayla kecil pun berubah drastis hanya dalam sekejap. Ia mendadak girang saat tahu bapak sudah dekat.

Tiba di Bandung hingga selama beberapa hari setelahnya, sikap Rayla kecil sangat dinamis alias selalu berubah-ubah. Terkadang ia senang ayahnya lagi di rumah, tidak ada jadwal terbang. Namun terkadang ia juga sering cemas setiap kali melihat berita tentang insiden pesawat jatuh di perairan laut Sulawesi tadi. Saking cemasnya ia jadi sering sekali merengek bahkan menangis manja kepada bapak, meminta agar bapak tidak terbang dulu sampai situasinya aman. Awalnya bapak tak bergeming mendengar permintaan anak bungsunya ini. Namun hatinya terketuk lebih kencang begitu ia harus sabar menghadapi keengganan Rayla kecil pergi ke sekolah dasar kalau bapak tidak mengantarnya. Alhasil bapak memutuskan mengambil cuti selama sebulan penuh agar bisa mengantar Rayla kecil pergi dan pulang sekolah setiap hari. Rayla kecil pun girang bukan kepalang saat tahu ayahnya memutuskan cuti sehingga ia jadi bersemangat pergi ke sekolah setiap hari begitu juga saat pulang sekolah sore harinya. Lalu setelah sebulan, bapak kembali pergi bertugas menerbangkan pesawat namun kali ini hati Rayla sudah siap ditinggal.

“Bapak mau bertemu Superman dulu, habisnya dia sudah kangen bapak. Katanya sih Superman sudah siap memegangi sayap pesawat bapak saat lagi terbang.” Hibur bapak saat itu. Dan sikap Rayla kecil jelas berbanding terbalik dari kakaknya yang tetap bersemangat mengejar cita-citanya jadi pilot komersial, meneruskan jejak bapak walau badai tengah bergejolak di laut.

Pukul setengah delapan pagi.

Bapak yang kembali terhenyak dari ingatan masa lalunya lantas beranjak dari dipan, kali ini bergerak menuju kamar tidur Rayla di depan. Tidak seperti biasanya, hari ini Rayla kembali tidur lagi usai menunaikan ibadah shalat Subuh tadi. Entah apa penyebabnya. Mungkin dia letih sehabis menuntaskan semua perkuliahan sepanjang awal November 2018 ini atau mungkin saja dia masih mengantuk karena pola jam tidurnya yang sering berubah-ubah antara awal atau larut malam. Namun yang jelas bapak hanya ingin membangunkan Rayla supaya ia tidak kesiangan pergi ke kampus lantaran kemarin ia baru saja bilang, hari ini akan ada kuliah tamu dari Mr. Cliff Axelrod, salah seorang staf muda Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia di Jakarta yang membahas tentang peluang kerjasama Indonesia-Australia di lingkup organisasi internasional, mulainya jam 11.

Bapak mengoyak daun pintu kamar yang terbuat dari kayu jati zaman Belanda itu dan lalu mendapati Rayla masih mendengkur begitu keras. Bapak hanya bisa tersenyum melihat ekspresi tidur anak bungsunya. Dan ia pun sejatinya tidak tega membangunkan Rayla saat ini. Namun ia tahu waktu saat ini sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Kalau Rayla dibiarkan terus tidur, bisa-bisa nanti ia datang kesiangan ke acara kuliah tamu dari Mr. Cliff Axelrod tersebut. Maka bapak segera membangunkan Rayla dari tidurnya dan menyuruhnya membersihkan diri di kamar mandi. Serta tidak lupa bapak menyuruhnya agar mengudap makanan sarapan di meja dekat dapur. Pikiran bapak kembali buncah melihat Rayla sekeluarnya dari kamar mandi usai membersihkan diri. Tidak seperti biasanya handuk merah muda itu masih tergantung di pundaknya. Mungkin ia sengaja masih menggantungkannya untuk menutupi pundak sekaligus mencegah air menetes ke badan dari juntai rambut panjangnya yang masih basah usai mandi barusan.

Beres mandi, masih mengenakan celana legging selutut berwarna kelabu ia kini duduk di ruang televisi. Tangannya membawa sepiring nasi mawut[1] yang dimasak bapak tadi pagi. Ia mengudapnya dengan lahap persis saat bapak menyalakan televisi LED 30 Inchi di hadapannya itu. Dan seperti biasa update informasi tentang progres evakuasi Pesawat Lion Air JT-610 masih mendominasi pemberitaan pagi hari ini. Kali ini kamera awak televisi menyorot apa saja yang tampak di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Benda-benda berupa belasan hingga puluhan kantong jenazah, puing-puing badan pesawat hingga temuan barang-barang bawaan milik penumpang disatukan di pelabuhan utama ibukota Indonesia tersebut dan semua benda itu sudah ditinjau Presiden Joko Widodo persis di hari kecelakaan kemarin. Ekspresi ayah dan anak perempuan ini sama-sama tertegun melihat bongkahan badan pesawat di pelabuhan. Benak mereka jelas bisa membayangkan betapa ngerinya kecelakaan pesawat JT-610.

Namun secara diam-diam perhatian bapak tertuju pada ekspresi Rayla di sebelah kanannya. Dalam hati, pilot 56 tahun ini mengatakan bahwa anak perempuan cantiknya memang benar-benar sudah tumbuh besar, sudah seutuhnya tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Reaksinya kala mendengar kabar kecelakaan pesawat saat ini berbanding terbalik 180 derajat dari reaksinya semasa kecil sekaligus ini menjadi pengalaman pertamanya menyaksikan sendiri peristiwa kecelakaan pesawat terbang komersial saat sudah jadi mahasiswi. Terakhir kali ia menyaksikan peristiwa seperti ini saat masih SMA empat tahun silam dan reaksinya ketika itu sama dengan sekarang. Dan bapak pun tidak lupa memanjatkan rasa syukur dalam lubuk hatinya saat melihat Rayla sudah bisa tenang sekaligus tak pernah lagi menunjukkan sikap manja setiap kali ayahnya akan pergi terbang.

Lalu untuk pertama kalinya sejak beberapa hari terakhir ini, ada seberkas rasa yang sekonyong-konyong terselip di hati bapak. Ia menatap lagi wajah Rayla selekat mungkin, begitu juga sekujur permukaan raganya. Belum ada perangkat gawai yang menempel di sana. Pastinya belum ada pesanan entah ojek maupun taksi online yang putri bungsunya terima pagi ini. Dan masih dalam lubuk hatinya, setelah sekian lama muncul keinginan untuk pergi mengantar Rayla ke kampusnya sebagai bentuk kedekatan hati di tengah prahara langit seperti ini.

***

Perawakannya tergolong sangat kecil untuk orang bule seukuran dia. Penampilan busananya pun memang terbilang sangat sederhana, hanya berupa sepotong kemeja batik hijau tua dan celana katun serta sepasang sepatu formal kasual. Mata Rayla menangkap sosok pria bule itu dalam gerak-geriknya di lantai empat persis depan ruang dosen, termasuk ibunya sendiri yang juga seorang dosen di kampus ini. Ia sengaja menunggu di sini berhubung kuliah tamu dari pria bule itu baru akan diawali satu jam lagi. Dan sebelum ke ruang audio visual, tadi ibunya sudah mengingatkan agar Rayla terlebih dahulu datang ke ruang kelas tempat ibu mengajar untuk menyerahkan kunci ruang kerja dosen supaya ibu bisa masuk nanti. Acara kuliah tamu dari perwakilan Kedubes Australia ini akan dimulai pukul 11 siang, bukan pukul 10 pagi atau 1 siang seperti kebanyakan kuliah lainnya. Sehingga mahasiswa lelaki seperti Christoff harus rela mengorbankan kesempatan shalat Jumatnya kalau begini. Entah apa alasan dosen memulai acara pukul 11 siang.

Beres menyerahkan kunci ruangan dosen ke ibu, Rayla segera bergegas masuk ruang audio visual. Di belakangnya Stevie tergopoh-gopoh menyusul masuk usai mengisi daftar hadir dan ketika masuk, mendadak ia terhenyak begitu Mr. Cliff Axelrod menyapanya. “Halo selamat siang, silahkan duduk ya semuanya.” Ternyata Mr. Cliff sudah fasih berbicara Bahasa Indonesia. Rayla dan Stevie yang kaget barusan nyaris menyapa beliau memakai Bahasa Inggris. “Selamat siang juga, iya terima kasih.” Rampung menaruh tas di atas kursi, sepasang sahabat ini lalu keluar ruang audio visual lagi mencari Christoff yang belum tampak batang hidungnya. Di luar inilah lalu mereka banyak berbincang dengan Mr. Cliff Axelrod memakai Bahasa Indonesia.

“Kalian kuliah semester berapa?” Tanyanya memulai percakapan.

“Semester tiga, Pak Cliff.” Rayla menjawab kompak bersama Stevie.

“Wah berarti kalian baru sekarang ya dapat kuliah Organisasi Internasional?” Tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya