Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #57

(Puisi) Moskow ke Sarajevo

Libur semester yang berlangsung lebih singkat pada akhir tahun ini mau tidak mau, suka tidak suka memaksa Rayla untuk kembali mempersiapkan aktivitas kuliahnya pada semester mendatang. Per awal Januari 2019 ini semua nilai mata kuliahnya sudah nyaris terbit semua, kecuali nilai mata kuliah Organisasi Internasional yang mungkin masih diproses. Sesuai jadwal yang tercantum dalam kalender akademik, awal bulan ini menjadi waktu bagi Rayla untuk menghadiri perwalian dengan Mas Herdi, dosen walinya selama kuliah. Berbekal daftar nilai yang sudah terbit di student portal, hari ini Rayla menghubungi beliau lewat Whatsapp. Dan dosen senior itu merespon positif. Beliau malah sampai menyuruh Rayla datang ke kampus pagi hari Rabu mengingat siang hingga sorenya beliau harus menghadiri rapat.

Sehingga Rayla menyibak selimutnya dengan penuh semangat. Namun belum juga melangkah keluar kamar, ia mendadak tersadar sesuatu. Bunyi notifikasi pesan singkat Line dari komputer tabletnya yang berbunyi cukup keras sampai menggetarkannya di atas meja. Ia pun lantas berbalik ke meja belajarnya yang langsung menghadap jendela dan halaman demi mengambil komputer tabletnya itu. Lagi-lagi Stevie mengiriminya pesan singkat Line pagi hari ini. Pasti mau menanyakan perwalian bersama dosen walinya masing-masing di kampus.

“Iya Stev, pagi ini aku ke kampus perwalian. Kamu?” Dugaan Rayla benar.

“Hari ini juga ke Mbak Riana. Janjinya jam setengah sembilan, tapi si Tiffany mendadak ingin ikut ke kampus. Kalau begini, enaknya pergi bareng apa masing-masing saja ya?”

“Mending masing-masing saja deh, habisnya ibuku ini mau ke kampus juga.”

“Oke, sampai ketemu di kampus ya nanti. Usahakan ada salah satu yang bergantian menemani Tiffany, habisnya enggak enak kalau dia keluyuran sendiri di kampus.”

Sip! Libur panjang kali ini tak hanya menjadikan Tiffany bermalas-malasan atau sekadar basa-basi mampir ke tempat rekreasi. Melainkan ini sekaligus membuatnya semakin memantapkan diri untuk segera menentukan pilihan tempat kuliahnya apalagi dengan melihat Rayla, Stevie serta Christoff yang sudah menjalani kuliah selama 1,5 tahun belakangan ini. Dia yang asalnya tidak tahu mau menentukan ingin masuk jurusan apa kini jadi terpikirkan masuk jurusan Hubungan Internasional yang sama seperti mereka. Agar mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang dunia perkuliahan, maka hari ini ia meminta ikut Stevie ke kampus dan Stevie yang tahu Tiffany ingin dapat gambaran kuliah hanya bisa menyetujuinya karena tak lagi punya pilihan lain.

Tiba di Fisip pukul delapan pagi, Rayla belum melihat Stevie dan Tiffany menampakkan batang hidungnya. Baru ada petugas kebersihan serta keamanan yang telah sibuk mondar-mandir atau lalu-lalang merapikan kampus. Mas Herdi juga terlihat baru masuk ruangannya dan lalu ia jadi asyik mengobrol dengan ibu. Selang beberapa menit, keduanya keluar lagi dan langsung memanggil Rayla pakai isyarat kibasan tangannya. Rayla pun menurut saja sebelum menduduki kursi di dalam ruang kerja berukuran sedang ini. Tidak terlalu besar namun tidak terlalu kecil juga untuk ukuran seorang dosen bekerja sendiri. Kemudian tanpa perlu berlama-lama lagi, dosen yang usianya dua tahun lebih muda dari ibunya ini lantas mengawali percakapan.

“Rayla, jadi total indeks prestasi kamu semester kemarin berapa?”

“Belum ada, masih ada nilai yang belum keluar. Tinggal satu lagi, Organisasi Internasional.”

“Kelasku bukan?”

“Bukan mas, aku kelas Organisasi Internasional-nya Mbak Riffany.”

“Oh belum keluar ya? Iya deng, habisnya dia juga belum setor semuanya kesini. Sabar ya, aku coba hubungi beliau sekarang.”

Mas Herdi menyambungkan koneksi Whatsapp dengan komputer, menghubungi dosen muda tersebut. Hasilnya beliau diminta sabar menunggu karena datanya sendiri masih diproses. “Ya nanti bisa dilihat di student portal saja. Tunggu, sabar.” Tutur beliau seraya mengalihkan topik percakapan ke pilihan mata kuliah untuk semester empat ini. “Sejauh ini, tanpa ada nilai mata kuliah Organisasi Internasional pun aku sudah bisa menduga indeks prestasi kamu bakal ada di kisaran angka tiga. Mungkin tiga ke atas. Artinya kamu punya jatah mengambil 24 SKS semester ini.” Rayla berbinar mendengar secercah harapan dari dosen walinya ini. Belum sempat bicara apa-apa, ia sudah kepalang melanjutkan ucapannya.

“Buka alur mata kuliah kurikulumnya di buku juklak[1] akademik tahun ajaran ini. Silahkan tandai mata kuliah Logika…” Untung mata Rayla jeli. Ruas jari-jemarinya nyaris saja mencontreng deretan mata kuliah yang ada di semester dua, bukan semester empat. “Aku semester empat mas, geser ke sebelah kanan.” Rayla memotong ucapan dosen walinya ini. “Oh kamu semester empat ya? Berarti kamu angkatan… 2017?” Semburnya tercekat. “Ya 2017.” “Wah maaf aku lupa, habisnya aku kira kamu angkatan 2018 kemarin…” Mereka terpaksa mengulangi deretan mata kuliahnya. Didapatnya alur mata kuliah semester empat, ia lalu menggesek jari telunjuknya ke bawah guna memastikan daftar mata kuliah apa saja yang hendak diambil kini. “Jangan lupa mengambil KBI ya.” Ia memastikan, Rayla merunut daftar apa saja mata kuliah yang ada untuk ia bubuhi tanda centang hitam semuanya.

Ada mata kuliah Analisis Kebijakan Luar Negeri, Pilihan kawasan, Diplomasi, Pilihan KBI, mata kuliah umum (MKU) Etika Dasar dan Ornop-Ormas[2]-Pemberdayaan. Pilihan kawasannya, di semester ini kurikulum menawarkan mata kuliah Hubungan Internasional di Eropa, Amerika Serikat dan Afrika. Pilihan KBI 3, ada mata kuliah Kepemimpinan Global dan Perencanaan Strategis Organisasi Internasional. Melihat semua pilihan itu, Rayla lantas membubuhkan tanda centang pada semua nomenklaturnya yang tertera di alur kurikulum. Rata-rata mata kuliah tadi memuat bobot tiga SKS kecuali mata kuliah Etika Dasar yang hanya memuat bobot dua SKS. Kalau dihitung, total seluruhnya jumlah SKS Rayla semester ini berkisar 21, masih sama dengan semester kemarin. Dirinya sengaja tidak mengambil 24 SKS karena khawatir bebannya akan terasa lebih berat.

*** 

Tangan milik perempuan yang bakal merayakan ulang tahun ke-19-nya beberapa hari mendatang tersebut nampak sedang asyik meraba-raba selembar kertas putih di pangkuannya. Berulang kali ia menghitung-hitung sendiri jumlah SKS dan mata kuliah yang ingin ia ambil semester ini dan tidak lupa komputer tablet Samsung nan tipis itu setia menemaninya di samping. Ia mencocokkan semua data yang terlampir di sepasang benda mati itu. Dan di sampingnya telah duduk seorang gadis remaja 16 tahun yang agaknya begitu menikmati suasana kampus sepupunya ini. “Kak Stevie, kayaknya enak ya kuliah di sini. Setiap hari bisa menikmati hembusan angin, tambah pohon rimbun setiap kali lagi duduk. Kayaknya aku mau masuk sini saja deh.” Tutur Tiffany berpanjang angan saat Rayla mendekat. “Kamu sudah perwalian Stev?” Ujarnya mengagetkan kedua anak perempuan tadi. “Sudah Ray. Ini baru selesai. Kamu?” “Sudah dong. Tadi aku baru kelar. Total aku mengambil 21 SKS semester ini. Kamu berapa?” “Sama, 21 SKS juga meskipun aku berhak mengambil 24 SKS karena IP-ku 3,15. Aku sengaja mengambil 21 SKS saja habisnya takut bebannya terlalu banyak nanti.” Tutur Stevie menyodorkan pilihan mata kuliahnya. Rata-rata hampir sama seperti Rayla, kecuali pilihan kawasan dan KBI.

Kalau Rayla sudah yakin betul akan mengambil mata kuliah HI Eropa dan KBI 3, maka semester ini Stevie akan mengambil mata kuliah HI Amerika dan KBI 4. Ketertarikannya pada topik penelitian mengenai lagu Peterpan-Noah sebagai calon bahan skripsi kelak telah mengarahkannya mengambil KBI 4. Sedangkan pilihan kawasannya jatuh pada HI Amerika dilatari keinginan kuatnya untuk pergi terbang ke Kanada yang telah terpatri dalam dirinya sejak lama. Air muka Rayla terpekur melihat perbedaan mata kuliah pilihannya dengan Stevie. Rasanya ia tak menyangka akan berpisah dengan sahabat dekatnya ini dalam menentukan arah peminatan kuliah di HI. “Ray, minatku memang di situ. Atau kalau kamu mau, sebenarnya sekarang kamu bisa mengubah mata kuliah pilihan kamu. Menurutku kamu juga masih cocok di KBI 1 atau 4, terus kawasannya kamu juga masih cocok mengambil HI Amerika.” Rayla diam saja, ada air yang mengambang di matanya.

“Cuma beda pilihan KBI, masak kamu menangis? Ayolah, jangan begitu dong Ray. Bukannya jadi sahabat itu enggak harus selalu bareng-bareng? Sekali-kali boleh ‘kan beda pilihan?” Stevie menukar posisi duduknya dengan Tiffany yang lalu menggeser badannya ke sebelah kiri demi menenangkan hati Rayla yang sedih walau hanya berpisah tidak jauh dari Stevie.

***

Byur! Takut-takut berani, Rayla membiarkan tubuh langsingnya menghantam permukaan air di kolam renang Abadi Jalan Setiabudi Bandung sore hari ini. Cuaca mendung yang lambat laun mulai menggelayuti tudung langit kota kembang siang menjelang sore ini sama sekali tak menghalangi semangatnya berenang rutin terang saja karena tempatnya sendiri dirancang sebagai kolam renang indoor atau tertutup. Sebidang atap besar nan melengkung menaungi tepat di atas kepalanya sendiri sehingga ia dapat bebas berenang kesana-kemari sekalipun cuaca sedang hujan. Dan hari ini, seperti biasa ia kembali mengulang gaya katak seperti yang sudah ia latih secara keras belakangan ini. Arah renangnya kadang melebar kadang memanjang mengikuti diameter kolam. Awalnya ia sempat berenang melebar kolam. Tetapi lamat-lamat saran ibunya lebih merekomendasikan arah memanjang. Sehingga baru beberapa kali melebar, kini ia mengubahnya jadi memanjang dengan jarak yang tentu lebih jauh dari ujung yang satu ke ujung lainnya.

Saat mengubah arah renangnya, semula ia sempat mencobanya dengan tetap berenang dari ujung ke ujung kolam. Namun sorot matanya menangkap lalu-lintas perenang lain sedang ramai di kolam ketika itu. Alhasil ia memutuskan berhenti renang tak sampai setengah kolam. Ia lalu berjalan menapaki dasar kolam sebelum bolak-balik ia berenang memakai gaya katak dari ujung ke ujung kolam selama kurang lebih 15 menit. Total sudah ada 15 kali putaran yang ia torehkan hari ini dengan target ingin mencapai 30 kali putaran. Namun saat ia baru mengakhiri putaran ke-18, tiba-tiba tangannya ditahan ibu. Wanita paruh baya 50 tahun itu menyuruhnya agar tidak berenang terlalu banyak mengingat arah renang yang telah putri bungsunya itu tempuh sejak tadi.

“Kalau memanjang enggak perlu banyak-banyak. Tinggal dikali dua saja, ‘kan panjang kolam ini dua kali lebarnya. Jadi kalau kamu sudah 15 kali bolak-balik sejak tadi, artinya kamu sudah 30 kali bolak-balik. Biasanya paling banyak berapa?” Tanya ibu.

“50 kali bu.” Imbuhnya pendek.

“Oke. Targetkan hari ini 25 kali bolak-balik memanjang. Dikali dua, totalnya sudah 50 kali. Sama kayak biasanya, cuma bedanya sekarang kamu memanjang.” Rayla menuruti instruksi ibu barusan. Ia menambah sebanyak tujuh kali putaran lagi selanjutnya.

Hingga ada rasa yang sulit Rayla tahan lagi begitu masuk putaran ke 23. Tetapi awalnya ia memilih menahan rasa itu karena sudah tanggung untuk mencapai putaran ke-25. Usai menggenapi semuanya, terburu-buru ia meloncat naik ke tepi kolam lalu berlari.

***

Christoff mendadak punya rasa yang sama dengan Rayla. Hanya saja baru kali ini ia saling bertukar cerita dengan adiknya tentang rasa itu, tepat seusai merampungkan agenda renang rutin di Kolam Renang Abadi. Sepanjang perjalanan pulang menggunakan mobil Grab, kepada adik bungsu satu-satunya ini ia mengutarakan semua isi hatinya yang juga sama-sama kehilangan sosok sang pujaan hati. Usut punya usut saat reuni bersama teman-temannya di sebuah kafe di Bandung pada akhir Desember 2018 silam, Christoff sempat iseng menanyakan apakah si Gadis Bunga pujaan hatinya akan ikut datang ke reuni atau tidak. Namun temannya yang lain menjawab si Gadis Bunga kini sedang di Jepang, entah ngapain. Mungkin pergi berlibur dengan keluarganya, mungkin juga untuk keperluan yang lainnya.

Doi enggak bilang ngapain di Jepang. Aber Ich vermisse sie sehr jetzt. Ich liebe dich noch sehr[3], Bunga.” Papar Christoff dengan raut memelas. Mukanya sering sekali ditekuk sendiri setiap kali membicarakan si Gadis Bunga. Ruas jarinya hanya ditekuk tidak jelas sebelum bergerak-gerak tidak tentu arah tanpa maksud yang jelas kini.

Rayla tahu isyarat gestur seperti ini. Persis kebiasaan sejak kecil, lelaki kelahiran Juni 1999 ini acap kali menekuk jari atau menggerak-gerakkannya secara tidak jelas tiap kali ia merasa kurang nyaman dengan lingkungan sekitar. Jika belum puas bergestur seperti ini, ia bisa menggerak-gerakkan sekujur tubuhnya juga tanpa arah yang jelas. Bahasa tubuh seperti ini tentu saja menandakan Christoff seorang penyandang autisme tingkat sedang atau bahasa kerennya, medium spectrum autism. Dirinya mendapat diagnosis ini saat usianya menginjak angka empat tahun di Australia pada 2003 silam berdasarkan laporan guru TK-nya yang mengatakan Christoff kecil sering sekali bergerak tak tentu arah di kelasnya saat jam sekolah. Dan sejak saat itu ia menjalani hari-harinya sebagai seorang anak berkebutuhan khusus juga dengan perlakuan khusus di sekolah.

Kendati demikian, di satu sisi sejatinya autisme Christoff tidaklah parah. Komunikasi anak laki-laki pemilik wajah seperti orang bule ini tetap berjalan lancar seperti kebanyakan anak lain. Bahkan banyak orang yang tak tahu dirinya penyandang autisme dan yang lebih membanggakan lagi, pencapaian pendidikannya bisa sampai setinggi ini lebih-lebih dirinya bisa survive di kampus tanpa memakai perlakuan khusus seperti saat masih sekolah dulu. Atas dasar itulah ia mendaftarkan dirinya ikut konferensi tentang autisme di Singapura bulan Juni 2019 kelak. Namanya Asia Pacific Autism Conference yang kelak akan berlangsung di Pulau Sentosa dengan dirinya yang mengangkat topik “Long-life Learning as an Autism Individual People” menurut pengalaman belajarnya selama ini.

Kembali ke mobil Grab. Kemungkinan besar supirnya kini tidak hafal jalan menuju rumah Rayla, padahal tadi sudah diarahkan menurut petunjuk yang Rayla berikan secara lisan. Harusnya dari arah Monumen Perjuangan Jalan Dipatiukur tinggal langsung belok kanan ke Jalan Sultan Hasanuddin lalu naik lagi sampai ke area sekitar halaman belakang Rumah Sakit Borromeus. Namun apa boleh buat sang supir malah membawa mobilnya memutar ke arah Jalan Singaperbangsa dan menuruni Jalan Japati di seberang gedung Telkom. Dan saat melewati Jalan Japati inilah Christoff tercekat. Dari jok paling depan, persis sebelah supir ia melihat sebuah mobil jenis MPV[4] perak terparkir di pinggir jalan. Ia mengenali plat nomornya, sekaligus ia melihat wajah pemiliknya yang juga tidak asing bagi dia: Si Gadis Bunga. Tanpa pernah tahu tujuan si Gadis Bunga pergi ke Jepang tempo hari, hati Christoff akhirnya bisa bernafas lega saat ia melihat gadis pujaan hatinya itu hari ini sekaligus sebagai pertanda si Bunga sudah pulang dari Jepang.

Dari dalam mobil yang terus melaju, ia bisa melihat wajah si Gadis Bunga yang tak banyak berubah dari setahun lalu. Rambut pendek menggumpal tebal, bentuk tulang wajah lonjong dibekap kacamata bergagang hitam, kulit putih dan tubuh tinggi menjulang menyamai Christoff. Pakaian yang Bunga kenakan hari itu tergolong sangat kasual dan tetap memikat Christoff dengan kecantikan parasnya. Rayla yang juga ikut melihat si Bunga pun tersenyum, antara ikut terpikat pesonanya atau bahagia finally abangnya bisa mengobati rindu terhadap sang tambatan hati. “Ich sehe dir wieder am heute, Bunga.[5] Ujar Christoff seraya terus memandangi si Bunga yang terus menghilang dari tatapan matanya seiring mobil terus melaju, memutar lagi ke daerah Dipatiukur atas.

***

Kehilangan si Gadis Bunga tempo hari, sekaligus kembali bisa melihatnya lagi kemarin menggugah hati Christoff dan Rayla untuk kembali menggubah puisi di Instagram bagi kesekian kalinya sejak awal pertama kali masuk kuliah 1,5 tahun silam. Berbeda dari puisi-puisi yang mereka gubah di akun Instagram sepanjang tahun 2018 silam, sekarang pada puisi pertama mereka di tahun 2019 ini mereka mengambil kota Moskow, Rusia dan Sarajevo, Bosnia-Herzegovina sebagai latar tempatnya. Isi puisi tersebut antara lain paling banyak menceritakan suasana hati kedua bersaudara ini pasca kehilangan ditinggal pujaan hatinya yang sama-sama pergi ke Jepang. Walau Jepang, Rusia dan Bosnia sama-sama terpaut jauh, itu tak mengurangi semangat hati mereka untuk bersama-sama membayangkan diri sedang berada di tengah kota Sarajevo usai menempuh perjalanan panjang menggunakan kereta api dari Moskow, Rusia. Instrumen lagu Resah dari band Payung Teduh turut serta menemani keduanya menggubah puisi sore ini.

“Mau pakai tablet siapa?” Imbuh Christoff sebelum mulai menulis puisi.

“Aku saja. Eh kita menulisnya pakai Google Docs saja ya, biar gampang berdua.” Rayla bisa membuat abangnya menyetujui ide ini tanpa basa-basi lebih panjang lagi.

Maka segera mulailah mereka berdua menulis puisi kehilangan diiringi lagu “Resah.”

Dan mereka akhiri puisinya dengan bunyi kurang-lebih seperti ini:

Moskow ke Sarajevo


Di atas laju roda kuterbangun sendiri

Mendapati kesenyapan lembayung malam

Telah menaruh rasa menyatakan cintanya

Lihat selengkapnya