Ujungnya ia memutuskan untuk menerima tawaran itu juga sebelum mahasiswa lainnya pada bludrek semua. Rabu ini merupakan hari ketiga Rayla menjalani perkuliahan di semester empat usai menjalani dua hari pertamanya kemarin dengan menghadiri kelas Analisis Kebijakan Luar Negeri, Hubungan Internasional di Eropa, Etika Dasar (mata kuliah umum) dan Perencanaan Strategis Organisasi Internasional (PSOI). Hari ini jadwal kuliah yang Rayla jalani adalah kelas Diplomasi dan Kepemimpinan Global nanti siang. Lalu pada kelas Diplomasi pagi ini, persis sebelum mulai menyampaikan materi Mbak Sita sempat terlibat diskusi panjang-lebar dengan mahasiswanya karena harus memilih ketua kelas. “Rayla, kamu saja deh yang jadi ketua kelas…” Awalnya teman-teman Rayla menjagokannya jadi ketua kelas mengingat betapa aktifnya Rayla mem-forward aneka informasi perkuliahan di grup angkatan.
Dan Rayla awalnya juga enggan dicalonkan sebagai ketua kelas. Namun menyadari dirinya kini menyandang status calon tunggal alias tidak ada lagi mahasiswa lain yang bersedia mencalonkan diri sebagai ketua kelas, akhirnya Rayla memutuskan sendiri agar dirinya menerima mandat sebagai ketua kelas yang kelak bertugas mendampingi Mbak Sita sebagai validator berita acara perkuliahan sekaligus menjadi penyambung lidah apabila ada informasi-informasi penting terkait aktivitas perkuliahan semisal tugas, ujian, kuliah tamu, dan lain sebagainya. Barulah setelah itu beliau menyampaikan materi kuliah Diplomasi kepada semua mahasiswanya seisi kelas.
“Kalian pasti sudah tahu ya diplomasi itu artinya seni praktik bernegosiasi antar-negara dengan melibatkan seorang negosiator yang pastinya kita sebut “Diplomat.” Jenisnya itu beragam, ada diplomasi publik, budaya, preventif, ekonomi dan lain sebagainya. Ini definisinya ada di slide powerpoint, tulisannya cukup terbaca ‘kan?” Mahasiswa mengangguk-angguk saja.
“Sebenarnya yang ingin saya highlight di sini bukan cuma pengertian diplomasinya semata, tapi lebih menjurus ke profesi diplomat itu sendiri. Ayo mengaku deh, siapa yang masuk prodi HI karena tertarik jadi diplomat?” Beliau memancing para mahasiswanya agar kelas jadi lebih hidup. Sebagian mahasiswa, baik yang duduk di baris depan maupun belakang mengacungkan tangannya secara tidak meyakinkan. Termasuk Rayla yang duduk persis di depan meja, sengaja ikut mengacungkan tangan kanannya karena pernah ikut-ikutan Christoff ingin jadi diplomat saat masih duduk di bangku kelas 6 SD tak sampai 10 tahun silam tanpa mengesampingkan mimpinya jadi arsitek sebelum banting setir lebih jauh lagi menjadi seorang guru. “Hahaha, biasa terutama di awal masuk kuliah banyak banget mahasiswa HI yang ingin jadi diplomat. Tapi praktiknya hanya sebagian yang tetap bertahan jadi diplomat, apalagi kita juga pakai sistem memilih KBI. Oh iya ngomong-ngomong kalian sudah mengambil KBI belum?” Ujarnya seraya terkekeh.
“Sudah mbak,” Baru para mahasiswa kini menjawab lantang.
“Coba acungkan tangan siapa yang KBI 1? 2, 3 dan 4 siapa saja?” Giliran dia bertanya lagi.
“Wah ternyata di kelas ini banyak juga ya yang mengambil KBI 4. Berarti yang KBI 4 juga akan ketemu saya lagi kalau begitu. So just welcome to the class yeah.”
Beres memaparkan pengertian diplomasi sebagai seni praktik bernegosiasi, beliau lalu mengalihkan topik pada definisi pekerjaan diplomat itu sendiri. Selain sebagai negosiator, diplomat rupanya juga digunakan untuk menyebut siapa saja yang bekerja di kantor-kantor perwakilan asing dengan berbagai jenjangnya juga. “Biasanya, kalian pasti merasa paling familiar ke istilah kedutaan besar atau dalam konteks Indonesia, Kedutaan Besar Republik Indonesia yang biasa disingkat KBRI. Selain kedutaan besar ada juga istilah nomenklatur High Commission, ini sih sama saja kedutaan besar tapi biasanya dipakai oleh kantor perwakilan negara commonwealth. Persemakmuran. Misalnya The High Commission of Malaysia in Australia, Kedutaan Besar Malaysia untuk Australia. Terus di bawahnya ada lagi kantor konsulat jenderal, konsulat kehormatan atau perwakilan dagang. Eh kira-kira ini ada yang tahu enggak apa bedanya kedutaan besar dibanding konsulat jenderal?”
“Sejenis kantor cabangnya mbak,” Rayla iseng saja menyahut keras dari bangku terdepan.
“Iya, betul banget. Kurang lebih sejenis itu. Bedanya yang lain, kedutaan besar itu letaknya di ibukota negara sedangkan konsulat jenderal itu ada di kota-kota besar selain ibukota negara. Misalkan di Indonesia deh. Kedutaan besar asing ada di Jakarta semua, sedangkan konsulat jenderal itu setahu saya adanya di Surabaya, Denpasar, Makassar terus Medan.”
“Bandung? Enggak ada, habisnya mungkin menurut para negara asing jarak Bandung itu terlalu dekat ke Jakarta. Rasanya kagok kalau membuka kantor konsulat jenderal di sini, lebih baik langsung menumpang ke kedutaan besar di Jakarta saja. Terus yang di luar negeri, kita mengambil contoh di Australia dan Amerika deh. Yang Australia, Kedubes Indonesia ada di Canberra. Konsulat Jenderalnya ada di Sydney, Melbourne, Perth & Darwin. Yang Amerika, Kedubes Indonesia ada di Washington DC. Konsulat Jenderalnya ada di New York, Chicago, Los Angeles & satu lagi di San Francisco.” Ujarnya melengkapi eksplanasi tentang bedanya kedubes dan konsulat.
“Sekarang kita identifikasi jenis-jenis status diplomat yuk.” Ia membuka chapter selanjutnya pada slide powerpoint di depan kelas. Mata Rayla terbelalak melihat perbedaan jenis diplomat di situ.
“Diplomat itu terbagi jadi dua jenis. Pertama, ada diplomat profesional/karier kedua diplomat non-profesional/karier. Bedanya, diplomat profesional/karier itu mereka yang meniti karier diplomatiknya dari nol di Kementerian Luar Negeri, mulai dari staf junior sampai duta besar bahkan Menteri Luar Negeri buat yang beruntung. Dan ini butuh waktu lama, jadi misalnya kita masuk Kemenlu itu setelah lulus kuliah di umur 25 tahun yang berarti kita baru bisa jadi duta besar antara umur 40 atau 50 tahun. Butuh waktu 15-20 tahun sendiri untuk jadi duta besar.”
“Sementara yang non-profesional/karier, itu biasanya mereka yang punya keterkaitan latar-belakang dengan negara penerimanya. Mereka bisa saja purnawirawan TNI-Polri, politisi anggota partai, pengusaha, atlet, artis sampai akademisi. Mereka ditunjuk bisa karena berbagai faktor, misalnya akademisi yang alumni taruhlah S2 atau S3 di luar negeri seperti Inggris, Australia atau Amerika Serikat.” Kini Rayla jadi tahu, rupanya diplomat itu tidak semata-mata merujuk pada jabatan duta besar melainkan itu memiliki banyak definisi lagi. Pengetahuan tentang diplomat yang dulu pernah ia terima dari kakaknya kini berkembang lebih luas lagi.