Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #59

Menunggu Pagi di Februari

Nyatanya Rayla masih bisa mengenali suara itu walau sudah lima tahun tak pernah menjumpai pemiliknya. Adalah perangkat telepon selulernya yang memutarkan rekaman suara itu, walau sejatinya itu bukan semata-mata rekaman suara biasa. Melainkan itu juga sekaligus rekaman video yang diunggah sang pemilik suara di fitur Instagram Stories-nya untuk mengabarkan apa saja yang terjadi di Negeri Kincir Angin Belanda saat ini. Dan Rayla yang kebetulan sedang melihat konten akun Instagramnya kali ini sontak penasaran dan segera memutarnya. Ternyata itu jelas-jelas suara Khansa, sahabat karibnya semasa SMP per 2019 ini sudah genap lima tahun tinggal di Belanda atau sejak awal masa jabatan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla sejak 2014 silam. Seiring waktu berjalan pula, Khansa yang awalnya hanya menjadi pengguna akun media sosial Facebook kini ikut-ikutan beralih menggunakan Instagram seperti Rayla. Sehingga keduanya bisa saling mengetahui aktivitas keseharian masing-masing lewat itu.

Satu lagi, rekaman suara tadi sejatinya mengabarkan Rayla bahwa Khansa telah berbaik hati menitipkan seperangkat buah tangan khas Negeri Kincir Angin untuknya melalui bapak yang kebetulan mendapat jadwal terbang ke Amsterdam, Belanda setelah sekian lama. Dan kebetulan sekali pada kesempatan terbang kali ini bapak bisa sekaligus mengunjungi Khansa sekeluarga di rumahnya. Maka tak heran lagi gadis asli keturunan Jawa itu jadi bisa langsung menitipkan oleh-oleh untuk Rayla melalui bapak, membuat dirinya tidak sabar ingin segera menerima buah tangan tersebut. Namun dalam hatinya ada rasa rindu yang sekonyong-konyong membekap. Kerinduan inilah yang memberinya kesadaran penuh bahwa ternyata ia sudah genap lima tahun berpisah dengan Khansa. Perjalanan berlibur di Yogya dan perpisahan ke Pantai Anyer, Banten pun sudah terjadi lima tahun lalu. Kini Khansa juga sudah melewati masa SMA-nya dan masih menjalani perkuliahan pada perguruan tinggi idamannya di Belanda sana.

Tiba-tiba sebuah suara muncul dari halaman depan. Pemiliknya tentu saja Rayla kenali dan sosoknya yang tinggi besar masih belum menanggalkan baju seragam pilotnya sedangkan di tangan beliau sudah ada sebuah tas kain tebal yang muatannya banyak. Tanpa perlu bertanya-tanya lagi Rayla sudah pasti tahu itu bapak yang baru saja tiba di Bandung usai mendaratkan pesawatnya dari Amsterdam tadi pagi di Bandara Soekarno-Hatta. Maka usai mengintip dari jendela kamar ia segera beringsut membuka pintu depan dan mempersilahkan bapak masuk. Begitu tiba di ruang tamu, setelan jas hitam langsung ditanggalkan bersama dasi hanya menyisakan kemeja putih berbaur tanda pangkat pilot dan celana hitam. Tanpa berlama-lama bapak segera menjelaskan apa saja isi tas koper yang ia bawa selama bertugas menerbangkan pesawat ke Eropa kemarin.

“Nak, kamu sudah tahu ya ini oleh-oleh titipan dari Khansa buat kamu. Ada cokelat, juga souvenir-souvenir lainnya dari Belanda. Kamu lihat saja sendiri ada apa saja selebihnya. Terus itu kopernya bapak coba tolong dibuka. Baju yang masih bersih taruh saja di kamar bapak, yang kotor nanti biar bapak saja yang bawa ke belakang.” Rayla menuruti saja instruksi bapak. Oleh-oleh dari Khansa dijinjingnya ke kamar dan ia taruh di meja belajarnya sendiri. Baju yang belum sempat bapak pakai saat di Amsterdam ia taruh lagi di tempat asalnya, yakni sebuah lemari kuno bermotif ukiran kayu jati di kamar bapak. Sisanya sudah tak ada lagi yang perlu ia lakukan, orang saat ia keluar saja tahu-tahu bapak sudah melangkah jauh ke halaman belakang. Tumpukan baju kotor telah beliau benamkan ke mesin cuci yang kini suaranya tengah meraung-raung kencang. Sedangkan Rayla kini asyik membongkar tas oleh-oleh dari Belanda tadi. Hatinya girang bukan main saat ia melihat ada cokelat dan aneka ornamen hiasan dari sahabat karib lamanya itu.

*** 

Apa yang terjadi dengan hatiku?

Ku masih di sini menunggu pagi

Seakan letih tak menggangguku

Ku masih terjaga menunggu pagi

 

(Entah kapan malam ‘kan berhenti?)

(Teman, aku di sini masih menunggu pagi)

 

Malam tetap begini, pagi tetap begini

Entah mengapa pagi enggan kembali

 

-       Peterpan, Menunggu Pagi -

Lihat selengkapnya