Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #60

Benturan Dua Dimensi

Ibu hanya tertegun sendiri saat membaca isi surat elektronik hasil korespondensinya dengan panitia Asia Pacific Autism Conference (APAC) 2019 di Singapura siang hari ini saat matahari sudah nyaris tumbang ke kaki barat lewat pukul dua siang ini. Isi e-mail itu tidak muluk-muluk alias sederhana saja, yakni hanya meminta konfirmasi kepadanya tentang isi topik sekaligus substansi abstrak yang akan beliau jadikan bahan presentasi bersama Rayla dan Christoff di Negeri Singa bulan Juni 2019 mendatang. “Dear sir/madam, we would like to confirm that are you sure do you want to present your experience in education for autism? Everything that you feel/think, please confirm it by reply to this e-mail down below.” Kurang lebih seperti itulah bunyi e-mail yang ditujukan kepadanya kini. Wanita paruh baya itu tidak langsung menjawabnya, melainkan ia terlebih dahulu melirik jam dinding di ruang kerjanya. Sudah pukul 14.20 WIB, hampir setengah tiga. Tadinya ia ingin menghubungi kedua anaknya itu, namun mendadak ia tersadar mereka belum selesai mengikuti kuliah Hubungan Internasional di Eropa.

Alhasil ia kembali memelototi isi body e-mail itu di layar komputer desktop-nya. Hasil korespondensi kali ini tampak bagai sebuah ‘cambuk kecil’ yang menampar dirinya sendiri. Menjatuhkan pilihan tema presentasi pada topik presentasi “Lifelong education with autism” ibarat pilihan yang salah diambil mengingat situasi psikologis Rayla dan Christoff sendiri berbeda cukup jauh. Rayla adalah seorang anak reguler yang sama sekali tak pernah memerlukan perlakuan khusus semasa sekolahnya. Namun Christoff sudah menghabiskan 16 tahun terakhir ini untuk hidup dengan diagnosa autisme yang diterimanya sejak masih kecil di Australia. Kalau membawa tema itu ke gelanggang konferensi bulan Juni 2019 nanti, rasanya itu sama saja memberikan keseluruhan porsi kepada Christoff untuk menceritakan dirinya sendiri ke banyak orang. Sedangkan Rayla hanya akan presentasi sedikit, atau bahkan cenderung jadi penonton saja.

 Hal itu tak pernah terpikirkan olehnya sejak jauh-jauh hari. Mau mengubah topik sama sekali sudah tak bisa, karena sudah kepalang menyetorkan abstrak sejak Desember 2018 lalu. Pilihan yang tersisa hanya tinggal merealisasikan pilihan kemarin. Dalam kesendiriannya di ruang kerja yang lengang, ibu lalu mencoba mencari cara agar putri bungsunya itu tetap bisa mendapat jatah presentasi. Hingga idenya sendiri begitu saja pecah telur dari kepala sedetik kemudian. Tema “Lifelong education with autism” sanggup ia benturkan dengan sudut pandang autisme dari seorang saudara kandung berikut arti penting pendidikan bagi autisme dari sudut pandang anak reguler. ‘Ide gila’ itu pecah telur dari kepalanya, ibu lalu mencoba membuat kajian kecil-kecilan tentang gambaran presentasi bersama anak-anaknya tadi. Dan hasil yang ditemukan ternyata penggabungan kedua topik tadi sangat efektif membagi jatah presentasi. Tidak hanya berdua, melainkan bertiga pun bisa. Jadilah ia bisa membenturkan dua dimensi tadi dalam satu ruang.

Pukul 15.45 WIB, sepasang lengan kuning langsat mengetuk pintu ruang kerja yang terbuat dari kaca itu. Dari dalam, penghuninya menyahut kencang, menyuruh si pengetuk agar menunggu sebentar dan hanya sepersekian detik gagangnya langsung ditekan dari dalam. Daun pintu terkuak lebar, Rayla dan Christoff lantas masuk ke ruang kerja ibu.

“Kuliahnya sudah selesai?” Tanya ibu menyambut keduanya di dalam ruangan.

“Iya, sudah selesai bu. Tadi shalat Ashar dulu di Musholla Fakultas Teknik.” Jawab Rayla.

“Oh jadi sudah pada shalat ya? Oke kalau begitu ibu shalat dulu ya. Nanti setelah ibu beres shalat, tunggu dulu di sini ya jangan langsung pesan Grab.” Imbuh ibu mengganti sepatu ke sandal.

“Ya. Memangnya ada apa gitu?” Naluri penasaran Christoff tersulut.

“Ada yang mau ibu bicarakan bareng kalian tentang topik presentasi di Singapura nanti. Sudah, pokoknya tunggu saja. Ibu mau wudhu terus shalat dulu.” Takut kehabisan waktu shalat, ibu lalu pergi meninggalkan putra-putrinya ke kamar mandi. Selang beberapa menit ia kembali lagi, langsung memakai mukena dan lalu shalat Ashar sendiri. Usai shalat barulah ibu menyeret Rayla dan Christoff duduk di depan komputer desktop ruang kerjanya menunjukkan e-mail tadi.

“Tadi ibu baru dapat surat elektronik tadi Panitia APAC di Singapura. Isinya cuma mengkonfirmasi jadi enggak nih kita membicarakan topik Lifelong Education with Autism nanti. Nah terus barusan ibu baru saja ingat, topik ini ‘kan sebenarnya buat dibicarakan Christoff juga ibu dari sudut pandang orang tua-anak tapi ternyata kamu juga mau ikut ‘kan Rayla. Makanya sekarang ibu mau tanya, kira-kira kalau topiknya dilebur/dicampur bareng sudut pandang dari anak reguler gimana, pada mau enggak? Yang ini biar kamu yang ngomong, Ray.” Terangnya panjang lebar. Rayla dan Christoff saling pandang dulu, baru kemudian menyatakan persetujuannya tanpa banyak ba-bi-bu lagi. “Iya boleh deh bu. Ngomong-ngomong abstraknya kemarin gimana ya? Lupa lagi.” Gayung bersambut, Rayla langsung saja menyatakan menerima ajakan itu.

“Baru sebatas menuliskan pengalaman Christoff selama belajar sebagai anak berkebutuhan khusus selama hampir 15 tahun terakhir ini. Tapi jangan khawatir, nanti di slide powerpoint kita masih bisa memasukkan sudut pandang kamu. Terus kamunya sendiri gimana, mau ikut terus presentasi, menonton saja atau enggak perlu ikut sekalian?” Ibu membuka celah negosiasi. “Kayaknya harus ikut deh bu.” Rayla memilih ikut hadir secara langsung di Singapura nanti. Ibu tak banyak bergeming lagi, hanya bisa merelakan putri bungsu satu-satunya itu ikut ke Singapura nanti. Sehingga usai ini ia langsung saja mengarahkannya untuk membuat coretan kasar tentang draft slide powerpoint bersama abangnya. “Nanti bikinnya di rumah saja. Sekarang pesan Grab dulu.” Dia disuruh ibunya memesan Grab mengingat waktu yang semakin beranjak sore.

*** 

Berulang kali ia menghubungi teman-teman kelompoknya lewat grup kelompok tugas kelas Ornop Ormas Pemberdayaan tentang janji menonton film Slumdog Millionaire yang juga ditugaskan selain membaca Buku Ronggeng Dukuh Paruk. Bedanya, tugas menonton film harus dikerjakan secara berkelompok sedangkan membaca buku itu baru dikerjakan sendiri. Dan usahanya menghubungi teman-teman sekelompoknya kali ini kandas karena ternyata banyak dari mereka berhalangan hadir. Avrillia mengaku merasakan pusing di kepala yang menyebabkan dia harus beristirahat di tempat kos. Radit seperti biasa sering bangun siang kalau jadwal lagi kosong. Hanya ada Rayla sendiri, Christoff, Stevie dan Freddy yang berkumpul di depan ruang teater Fisip. Pertemuan ini keempatnya manfaatkan untuk membicarakan teknis menonton film secara berkelompok walau pada akhirnya mereka memilih nonton sendiri-sendiri.

Lihat selengkapnya