Rayla menerka-nerka sendiri tentang hal apa saja yang menyebabkan Stevie jadi lebih sering merasa sedih, murung hingga menangis selama kuliah akhir-akhir ini. Padahal sejak awal masuk HI, setiap hari semasa kuliah mereka selalu bersama-sama alias tak pernah terpencar jauh. Persahabatan yang telah mereka jalin, mereka bina sejak awal masuk SMA pun sejatinya kini terasa lebih erat lagi. Namun mengapa Stevie justru jadi lebih sering murung di kampus? Apakah karena dia salah pilih jurusan karena minat sebenarnya adalah Desain Komunikasi Visual tetapi dulu tidak diterima masuk kesana di kampus manapun? Ataukah karena dia terlanjur jadi budak cinta alias bucin-nya Fariq sampai ulu hatinya hanya bisa mengingat dia? Kemarin saat minggu pertama kuliah pasca-UTS dimulai kembali, Rayla sempat mencoba menyelidikinya lewat cara bertanya langsung ke Stevie. Tetapi Stevie hanya menjawab sekenanya, terkesan asal-asalan. Dia lebih cenderung ingin menghindari pertanyaan tersebut, namun tak menghindari sosok Rayla.
Rabu pagi ini pun Rayla sempat mencoba bertanya lagi. Dan lagi-lagi upayanya itu kandas begitu saja, tak ada jawaban berarti. Terlebih sekarang di depan mereka telah terpampang sepotong poster berukuran besar yang tingginya tak jauh berbeda dari badan mereka. Poster itu dihiasi logo kampanye sebuah negara di paling ujung utara benua Amerika untuk pencalonannya sebagai anggota Dewan Keamanan PBB pada periode mendatang dan logo itu menggunakan sehelai daun maple yang sudah pasti menjadi ikon dari sebuah negara terkemuka dunia: Kanada. Tepat di bawahnya tercetak tulisan panjang nan tebal berbunyi “Guest College from the Ambassador of Canada to Indonesia and East Timor in Parahyangan Catholic University, H.E. Mr. Carter MacGregor.” Terpampang pula tanggal yang jatuh pada hari Rabu ini, bertepatan dengan minggu terakhir Maret.
Artinya hari ini Rayla dan Stevie hendak mengikuti kuliah tamu dari Duta Besar Kanada untuk Indonesia merangkap Timor Leste Carter MacGregor. Informasi ini sudah pernah disampaikan Mbak Sita pada kuliah terakhir Diplomasi sebelum UTS tempo hari. Ini juga yang memacu semangat Rayla dan Stevie mengejar kuliah tamu dari sang Duta Besar apalagi mengingat Stevie juga akan berangkat ke Kanada dalam waktu dekat. Sudah barang tentu ia wajib menghadiri acara kuliah tamu ini agar ia mendapat lebih banyak pengetahuan tentang negara impiannya tersebut yang akan segera ia kunjungi setelah bertahun-tahun mengidamkannya. Alhasil seketika saja kesedihan yang selama ini menggelayuti raut wajah Stevie sirna hanya dalam sekejap.
Sebelum acara kuliah tamu dimulai, beres kelas Diplomasi yang tetap berlangsung pagi harinya kedua sahabat sejati ini melangkah pasti ke arah Warung Pak Awan di seberang rektorat untuk jajan gorengan yang terkenal murah meriah dan lezat itu. Dan ketika mereka baru saja sampai di depan lobby rektorat, mata mereka menangkap sebuah mobil SUV hitam datang merapat ke pintu untuk menurunkan seorang tamu yang hari ini datang mengunjungi kampus. Tamu itu pun tampaknya bukan kaleng-kaleng, melainkan tamu penting alias VIP. Pakaiannya saja sangat rapi, yakni setelan jas abu-abu, kemeja biru langit dan dasi biru dongker ditambah sepatu coklat. Lebih-lebih lagi dia adalah seorang pria bule tinggi, rambut nyaris semuanya putih dan wajah ovalnya dibekap kacamata berlensa mungil. Mungkin dia dosen tamu mereka kini.
“Ray, kayaknya bapak-bapak bule tadi itu Mr. Carter MacGregor deh Duta Besar Kanada yang hari ini bakalan isi kuliah tamu kita.” Tunjuk Stevie memakai lirikan bola matanya.
“Kamu lihat enggak tadi dia keluar mobil terus naik tangga?” Sergahnya lagi.
“Iya, aku lihat. Kayaknya betul tadi Duta Besar Kanada Carter MacGregor.” Rayla mengiyakan saja dugaan Stevie yang sekaligus berarti analisisnya selama ini benar. Carter MacGregor memang Duta Besar Kanada yang hari ini menerima undangan mengisi kuliah tamu di hadapan ratusan Mahasiswa HI Angkatan 2017. Ia semakin tak sabar menyaksikannya tampil.
Sempat mengejar sang duta besar guna mencocokkan dan memastikan wajahnya benar sekaligus sesuai hasil browsing-nya beberapa hari terakhir ini, namun ia tak keburu lantaran Duta Besar Carter MacGregor langsung menghilang di ujung tangga. Pasti beliau akan terlebih dahulu menemui Rektor juga Kepala Kantor Kerjasama Internasional sebelum datang ke Fisip kelak. Gagal mengejar Pak Dubes Carter, Rayla dan Stevie memutuskan untuk meneruskan langkah ke warung Pak Awan. Turun tangga pintu tengah, sepasang sahabat ini hanya perlu menyeberang Jalan Ciumbuleuit kemudian sampai. Di warung kecil berukuran 3 x 4 meter ini, Rayla dan Stevie memilih makanan gorengan berupa tahu isi, bala-bala dan tempe goreng masing-masing tiga. Pak Awan mematok harga Rp. 1.000,00 per satu butir. Kalau mereka membeli sembilan butir, berarti harga semuanya jatuh jadi Rp. 9.000,00 saking murah dan banyaknya.
“Tambah satu lagi atuh biar jadi 10.000 sekalian,” Tawar Pak Awan di dalam warung. Rayla mematung sejenak, membiarkan bola matanya menerawang seisi etalase gorengan. Tergoda tawaran Pak Awan tadi, Rayla memutuskan menambah satu butir lagi yakni Pisang Goreng. Jadilah total harga yang harus ia bayarkan hari ini adalah 10 ribu rupiah. Uangnya pas, tidak perlu ada kembalian.
“Aku mau pisang gorengnya, boleh ya?” Belum apa-apa, Stevie sudah langsung meminta.
“Boleh dong, sok ambil saja.” Rayla juga segera mencomot sebutir bala-bala dari kantong.
Keduanya lalu mengayunkan langkah ke tujuan berikutnya, yakni ruang teater di lantai satu. Dari Gedung Rektorat, sepasang sobat karib ini harus terlebih dahulu menyusuri area Gedung Fakultas Teknik, Taman Fisip, selasar baru kemudian turun tangga dua kali. Sampai di lantai satu paling bawah, mereka mendapati suasananya masih sepi. Baru ada beberapa orang mahasiswa yang hadir di sana, menunggu acara kuliah tamu dimulai. Segelintir di antaranya adalah para mahasiswa bule asal Australia yang kebetulan sedang mengikuti pertukaran AICES alias Australia-Indonesia College and Exchange Studies di HI semester ini. Namun walau ikut pertukaran di Indonesia, mereka justru mengambil kelas mata kuliah HI yang dibuka versi Bahasa Inggrisnya. Bukan Bahasa Indonesia, mungkin karena mereka tak sempat belajar.
Dan Rayla mendapati Christoff menunjukkan mana ruang teater kepada tiga orang mahasiswa bule tadi. “From which class are you, Chris?” Seorang mahasiswa lelaki bule, bertopi terbalik menanyakan Christoff mengambil kelas apa. “Diplomacy with Mrs. Sita. My class was on Indonesian. And you?” Cowok hampir 20 tahun ini menanyai balik. “Foreign Policy Analysis with Mr. Guntur.” Rayla sekonyong-konyong merasa iri dengan Christoff. Abangnya yang dianugerahi wajah mirip orang bule seolah-olah membuatnya gampang bergaul dengan orang bule. Ngobrol pakai Bahasa Inggris seperti tinggal cas-cis-cus saja bisa langsung dikira anak bule. Hal begitu pun sudah sering ia alami sejak masih sekolah dulu. Saat pertama kali bertemu, banyak kawannya yang mengira dia anak bule atau blasteran termasuk si Bunga pujaan hatinya yang dulu pernah jadi siswi sekolah internasional. Menurut Bunga, wajah Christoff ini mirip teman lamanya yang blasteran Eropa.
Pantas saja mungkin si Bunga pernah terpikat ketampanan Christoff di SMA dulu. Boleh jadi sudah ada chemistry yang terjalin di antara mereka berdua secara tidak sadar. Kala kuliah pun hal tadi terulang lagi. Beberapa teman seangkatannya juga kakak-kakak tingkat mengaku pernah terkecoh lantaran mengira Christoff anak blasteran atau bule yang tersesat masuk kampus Unpar. Namun setelah tahu bahwa Rayla adalah adiknya, mereka baru percaya Christoff sama sekali tidak punya darah keturunan bule yang mengalir di sekujur tubuhnya.