Bandung, beberapa hari menjelang kedatangan Dubes Carter MacGregor.
Kebetulan hari itu jatuh pada Minggu malam. Saat itu sekitar pukul setengah delapan malam selepas shalat Isya, Rayla masih mengenakan rok bawahan mukena lantas berlari ke kamar tidur di depan. Di dalam kamar berukuran besar ini, refleks saja ia langsung merebahkan diri di atas tempat tidur dan lalu asyik memainkan komputer tabletnya selama setengah jam. Ia malah asyik saja men-scroll layar perangkat gawai yang ukurannya jelas lebih besar ketimbang telepon seluler. Hingga salah seorang kerabatnya dari keluarga besar mengirim pesan singkat instan lewat pukul delapan. Awalnya Rayla tidak mengerti sehingga dia hanya bisa mengurut paha kanannya. Tapi bola matanya mendadak nyalang ketika pesan singkat instan tersebut memunculkan kelanjutannya.
Walau singkat, namun itu sungguh menghentaknya.
Paklik[1] Hardjo baru saja meninggal dunia secara mendadak malam itu. Adalah Om Soni, putra sulung almarhum Paklik Hardjo dan Bulik[2] Hartini yang mengabarkan berita kematian sang ayah tersebut. Rayla yang kaget dan sulit sekali mempercayai kebenaran berita obituari tersebut pun lantas meloncat dari tempat tidurnya. Sambil mengangkat rok mukenanya, Rayla berlari kecil ke arah bapak yang kala itu sedang duduk di pojok kiri ruang TV sedangkan ibu duduk persis di depan layar televisi. Masih memasang raut penuh kekagetan, Rayla segera mencoba mencari tahu kebenaran informasi ini kepada bapak.
“Bapak… Ini Paklik Hardjo kenapa? Tiba-tiba saja Om Soni posting kayak begini di grup.” Bapak hanya dibuat bingung oleh tingkah putri bungsunya yang mendadak panik malam ini. Agar huruf-huruf di layar komputer tablet Rayla bisa terbaca jelas beliau terlebih dahulu mengambil kacamata baca. Wajahnya terbekap kacamata baca sederhana, bola matanya lamat-lamat membaca puluhan huruf yang berhimpun jadi satu kalimat penuh duka tersebut. “Ealah ini Paklik Hadjo kenapa nggih?” Bapak berseru tidak percaya dengan kabar yang disampaikan putri bungsunya ini. Ingin mengonfirmasi langsung, di tengah-tengah persiapannya menempuh penerbangan ke Jepang hari Senin besok bapak langsung mengambil komputer tablet miliknya sendiri dan langsung menyampaikan ucapan duka cita untuk mendiang pamannya tersebut sambil menanyakan apakah penyebab kematian mendadak sang paman gerangan.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un… Soni, bapak kenapa meninggalnya mendadak? Sakit jantung bukan?” Tanya bapak disusul kerabat lainnya yang ikut menyerbu ruang percakapan. Ibu yang awalnya bingung pun kini ikut merasa tidak percaya atas kepergian mendadak Paklik Hardjo tersebut. Bersama Rayla dan Christoff wanita 5o tahun tersebut langsung menyampaikan ucapan duka citanya untuk Paklik Hardjo. Bapak, sesaat usai menyampaikan simpatinya untuk mendiang sang paman langsung sibuk men-japri[3] Tante Laksmi dan Tante Hanty terkait teknis melayat sekaligus mengantarkan Paklik Hardjo ke pemakaman besok. “Bapak take off ke Jepang jam berapa besok?” Rayla menyelidiki seluk-beluk rencana perjalanan bapak esok hari. “Siang nak, habisnya ini penerbangannya enggak langsung ke Jepang tapi ke Bali dulu. Dari Bali, baru bapak langsung terbang ke Jepang.” Imbuh bapak dengan raut yang datar-datar saja. “Jepangnya ke kota mana pak?” Rayla bertanya lagi, penasaran apa kota tujuan bapak di Jepang secara spesifiknya. “Osaka nak, rasanya bapak sudah lama banget enggak mendarat di sana orang selama ini selalu ke Tokyo terus.”
Raut bapak segera berpaling ke coret-coretan tangan mengenai agenda besok. Rencana semula, bapak akan bertolak menggunakan kereta api dari Bandung jam 11 dan tinggal landas ke Bali jam dua siang. Di Bali, pilot senior berusia 50 tahun lebih ini hanya akan singgah sejenak selama dua jam sebelum meneruskan penerbangan ke kota Osaka menjelang sore. Dengan alur seperti ini artinya bapak mengantongi waktu lowong selama enam jam dari pagi. Maka besar kemungkinan bapak harus terlebih dahulu berpamitan dengan keluarga besarnya dari acara pemakaman Paklik Hardjo. “Ray, besok kamu kuliah jam berapa?” Bapak lalu menanyai putri bungsunya. “Jam 10 & Jam 1 pak, sehari langsung dua sekaligus.” Jawaban Rayla ini sekaligus menandai dirinya tak bisa ikut melayat Paklik Hardjo dan mengantar bapak ke stasiun kereta api besok.
“Ibu?” Kini bapak menyambar istrinya yang tanpa terasa sudah 20 tahun dinikahinya itu.
“Sama pak, besok ibu juga mengajar full dua kali.” Fix berarti bapak harus pergi sendiri esok.
Bapak lalu mengecek lagi jadwal kegiatannya. Tidak berubah yang sekaligus berarti jadwal beliau esok akan langsung sangat padat lantaran harus mengejar kereta api dan pesawat. “Ya sudah, kalau begitu besok bapak mau langsung menunggu di tempat pemakaman atau ke rumah Paklik Hardjo dulu?” Tanya ibu. “Ya ke rumah Paklik Hardjo dulu bu, habisnya ini belum tahu juga beliau mau dimakamkan dimana.” Imbuh bapak. “Mungkin di sekitar situ pak, atau kalau enggak di Sirnaraga dekat oma.” Duga ibu sekenanya saja. Bapak menaruh lagi komputer tabletnya, dan segera merapikan lagi barang-barang bawaannya untuk perbekalan ke Jepang esok.
***
Beberapa hari setelahnya.
Karena sulit mencari waktu mengingat kesibukan di kampus, ibu, Rayla dan Christoff akhirnya sepakat memutuskan datang ke rumah Paklik Hardjo hari Sabtu ini selepas menghadiri undangan juga dari kerabat sekeluarga besarnya sendiri. Lebih-lebih kunjungan ke rumah Paklik Hardjo kali ini juga turut serta mengajak eyang, Tante Tri dan Tante Yani guna menyampaikan ucapan duka cita dari mereka-mereka yang belum sempat melayat tempo hari. Dan suasana begitu masih mereka dapatkan setiba di rumah almarhum Paklik Hardjo Sabtu siang ini. Bendera kuning masih bertengger sekaligus berkibar-kibar kencang persis di belokan jalan masuk rumah diirngi jejeran bunga ucapan duka cita dari berbagai pihak yang masih terpampang disana. Bahkan tenda yang kemarin digunakan untuk menampung para pelayat pun masih terpasang. “Ini buat tahlilan ba’da Maghrib setiap malam mas, rencananya sampai tujuh hari pertama setelah enggak ada paklik.” Imbuh Om Soni menjelaskan mengapa tendanya masih ada di halaman rumah sampai sekarang.
“Tujuh hari berarti sampai kapan Son?” Tanya bapak mengonfirmasi.
“Minggu malam, itu terakhir. Setelahnya langsung 40 hari dan seterusnya, tergantung kondisi. Mas kapan terbang lagi?” Om Soni menanyakan jadwal terbang bapak.
“Masih minggu depan. Kemarin habis dari Jepang yang setelah ke pemakaman paklik itu.”
Kemudian Bulik Harsini yang masih begitu jelas memancarkan raut letih segera menceritakan kronologi kematian sang suaminya yang sangat mendadak tempo hari.