Kian dekatnya hari pemungutan suara baik untuk Pemilihan Presiden maupun Legislatif 2019 nyatanya menyumbangkan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan kuliah Rayla di HI Unpar pertengahan April 2019 ini. Siang hari ini di kelas HI Eropa bersama kawan-kawannya ia menyimak secara seksama pembahasan mengenai referendum Inggris dari keanggotaannya di Uni Eropa yang tengah menjadi buah bibir dewasa ini. Peristiwa referendum tersebut populer dengan tajuk “British Exit” atau kerap dijadikan singkatan Brexit. Tidak tanggung-tanggung walau belum juga mendekati ujian akhir semester, sudah ada bocoran kalau isu Brexit ini termasuk yang akan tampil di soal UAS kelak. Dan seperti biasa beliau meminta para mahasiswanya agar segera bersiap-siap menjalani UAS nanti.
Balik lagi ke topik mengenai isu Brexit tadi. Akronimnya yang acap kali dipakai masyarakat Indonesia guna menyebut nama Gerbang Tol Brebes Timur usai viral belum lama ini berbarengan bersama referendum Inggris ini mendapat perhatian penuh dari Mas Herdi, terutama saat dosen pakar regionalisme Eropa ini menyangkutpautkannya dengan Pemilihan Umum di Indonesia tahun 2019 ini. Juga kepada Pemilihan Presiden Amerika Serikat terbaru pada akhir 2016 silam.
“Pelajaran dari kasus Brexit dan Pilpres AS 2016 ini sangat penting untuk kalian tahu, juga kalian aplikasikan saat nyoblos lusa. Hasil survei bisa saja beda dari hasil pemungutan suara nanti. Terbukti, sebelum hari pemungutan suara sebenarnya kubu anti-referendum sudah unggul. Berarti kemungkinan besarnya Inggris tetap jadi anggota Uni Eropa sampai seterusnya. Tapi ternyata mereka terlalu optimis. Jadi waktu hari H voting mereka golput karena sudah merasa yakin menang dan ujungnya malah kubu pro-referendum yang menang padahal sebelumnya kalah.” Tandasnya.
“Di Amerika Serikat juga setali tiga uang, sama saja. Pasti kalian masih ingat ya, hasil survei sebelumnya sudah mengasumsikan Hillary Clinton akan menang. Tapi pendukung beliau malah terlalu optimis dan memilih golput saat hari H pemilihan karena sudah yakin akan menang sebelum akhirnya Donald Trump terpilih jadi Presiden Amerika Serikat sekarang secara mengejutkan.” Tambahnya panjang lebar, membuat ekspresi Rayla berubah-ubah antara terperangah atau mengernyitkan dahi. Seumur-umur menyaksikan beberapa kali perhelatan Pilpres AS juga Indonesia negaranya sendiri, baru kali ini dia tahu ternyata Donald Trump menjadi The Unpredicted President karena faktor dampak golput yang tahunya sangat besar. Hilangnya suara dari salah satu pasangan calon berarti sama saja dengan menyumbangkannya kepada pasangan calon lain.
“Ealah ternyata itu ya penyebab Trump menang secara mengejutkan. Dulu tanteku bilang, waktu zaman kampanye Pilpres AS 2016 Trump pernah janji mensejahterakan kalangan pekerja kerah biru karena selama ini cuma kalangan pekerja kerah putih yang dapat perhatian makanya menang. Tapi kok ndelalah justru karena tingginya angka golput nggih?” Gaya bicara Rayla yang menonjolkan sedikit dialek Jawa medok menarik perhatian Stevie di sebelahnya. Tergelitik mendengar kemedokan sahabat baiknya yang asli orang Jawa ini ia segera saja merespon gumaman Rayla tadi. “Sama, aku juga baru tahu waktu Mas Herdi ngomong barusan. Makanya dulu kaget banget begitu tahu Trump jadi Presiden Amerika. Tiffany saja sampai enggak jadi ikut pertukaran pelajar ke Amerika karena khawatir terdampak kebijakan anti-imigrannya Donald Trump.”
Rayla tercekat mendengar pengakuan Stevie ini. Lidahnya nyaris saja menyinggung kandasnya keinginan Tiffany akibat rasa khawatir terhadap kebijakan anti-imigran ala Presiden Donald Trump. Namun dia merasa topik itu lebih tepat disinggung di kelas HI Amerika atau Politik Global Amerika Serikat alias Polgas. Rasanya aneh sekali kalau menyinggung isu Amerika Serikat di kelas HI Eropa. Alhasil ia memutuskan menahan dirinya dari godaan membahas hal barusan. Tak banyak merespon ucapan Stevie, kini dia kembali mengalihkan perhatiannya ke materi. Beres mewanti-wanti mahasiswanya agar tidak golput saat Pilpres supaya kasus Brexit dan Trump tidak terulang lagi, kali ini beliau mengajak mahasiswanya berkelana ke negara Eropa Timur lebih tepatnya yakni Armenia dan Azerbaijan yang langsung berbatasan darat dengan Rusia.
Bahasannya kali ini meliputi perang di kawasan Nagorno-Karabakh yang selama ini telah membuat kedua negara bertetangga itu jadi saling bertikai menggunakan kekuatan senjata militer selama ini. Lebih tepatnya adalah sengketa Nagorno-Karabakh. “Sebenarnya ini memang perebutan wilayah dalam saling klaim antara Armenia dan Azerbaijan. Tapi karena saking lamanya bertempur, lambat laun konflik Nagorno-Karabakh ini berubah jadi konflik etnis. Militer kedua negara berbekal pertolongan dari negara-negara sekutu termasuk Rusia jadi saling membunuh warganya sendiri di wilayah masing-masing. Kurang lebih ini mirip Perang Bosnia-Herzegovina. Ada yang tahu kapan Perang Bosnia-Herzegovina terjadi?” Beliau lalu loncat ke Bosnia.
“Tahun 1992 sampai 1995, totalnya selama tiga tahun. Awalnya karena Yugoslavia pecah bareng Uni Soviet tahun 1991, di situ jadi enggak ada pemimpin yang cakap makanya perang jadi ikut pecah juga.” Christoff menjawab cukup panjang lebar sekaligus menyampaikan gambaran Perang Bosnia yang juga cukup menyita perhatian internasional ketika itu. “Betul sekali Chris, terjadi di tahun-tahun itu. Waktu Perang Bosnia pertama kali pecah saya baru lulus kuliah, masih tahun pertama mengajar di sini dan selama empat tahun berkecamuk dulu saya sering banget mendiskusikan Perang Bosnia bareng dosen-dosen sini bahkan sampai ikut seminarnya juga di Jakarta.” Kenangnya mengaitkan timeline Perang Bosnia dengan masa karier akademiknya.
“Awalnya itu cuma sebatas konflik geopolitik meskipun tim internasional sudah mulai bersiaga waktu itu. Tapi karena situasi di Bosnia-Herzegovina semakin tidak menentu, ketegangan militer terasa semakin meninggi ujung-ujungnya jadi merembet ke konflik etnis. Yang paling getol bertempur itu (maaf) warga Muslim Bosnia melawan warga Serbia-Kroasia. Korban yang berjatuhannya banyak banget sehingga ini mendapat perhatian negara-negara Muslim. Dan perang ini selesai setelah ketiga negara yakni Bosnia, Serbia dan Kroasia menyepakati Perjanjian Dayton akhir tahun 1995 difasilitasi Amerika Serikat saat itu masih di bawah Presiden Bill Clinton.” Tandasnya lengkap sekaligus menjelma jadi dosen Sejarah Internasional dadakan.
***
Malam sebelum hari pemungutan suara Pilpres 2019, hingga jarum jam menunjukkan pukul 23.30 WIB rupanya Rayla masih belum terlelap. Kelopak mata di bawah bulu lentiknya sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda lelah atau mengantuk berhubung hingga kini dirinya masih harus begadang untuk mengerjakan tugas mata kuliah Perencanaan Strategis Organisasi Internasional. Tugasnya berkelompok, sudah dimulai sejak awal semester ini. Batas pengumpulannya jatuh pada hari H ujian akhir semester di bulan Mei 2019 mendatang. Rampung mengerjakan bagiannya, Rayla lalu merebahkan tubuh kurus dan kaki jenjangnya di atas karpet kamar yang tergelar persis di samping kasur. Teksturnya sangat empuk dan lembut untuk digunakan tidur. Menikmati empuknya karpet tersebut, malam itu Rayla berbaring lurus-lurus menengadahkan pandangan wajahnya ke langit-langit kamar yang sudah temaram karena hanya diterangi lampu meja. Sontak saja ada sesuatu yang melintasi sekujur ruang benaknya.
Ternyata tanpa terasa waktu lima tahun begitu cepat berlalu. Rasanya masih seperti baru kemarin dirinya melangkah masuk sekolah bukan lagi sebagai siswi sekolah dasar maupun menengah pertama, melainkan sudah jadi anak sekolah menengah atas alias SMA. Rasanya baru seperti kemarin juga dia mengenal Stevie untuk pertama kalinya. Rasanya seperti baru kemarin dia menyaksikan sendiri Jokowi memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 bersama JK, mengalahkan Prabowo-Hatta sang lawan dengan begitu mengagumkan. Dan rasanya masih seperti baru kemarin juga Jokowi-JK dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2014-2019. Tahu-tahu sekarang sudah 2019 lagi. Jokowi-JK sudah hampir menggenapi lima tahun masa jabatannya. Sebagai presiden yang baru menjabat satu periode, Jokowi tentu masih berhak meneruskan masa jabatan keduanya. Sedangkan JK sudah tak bisa maju lagi berhubung beliau sudah dua periode menjadi wakil presiden sejak era SBY.
Dan entah apakah Jokowi masih bisa benar-benar terpilih atau tidak. Itu semua tergantung hasil pemilihan yang akan keluar paling tidak esok siang atau sore dan Pemilu 2019 kali ini sekaligus menjadi kesempatan pertama untuk Rayla, Christoff dan Stevie mencoblos. Ia tentu bahagia sang tokoh idola masih mendapat kesempatan untuk maju sekali lagi sebagai calon presiden dan dirinya sudah pasti akan mencoblos pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin saat pilpres esok. Kembali melihat langit-langit kamar, dirinya kini mencoba mengingat lagi apa saja peristiwa yang pernah terjadi dalam hidupnya selama lima tahun terakhir ini. Tangan kirinya lalu tidak sengaja menyenggol sebuah buku harian cokelat usang yang terletak di laci bawah meja. Merasa penasaran, ia langsung saja mengambil dan membaca keseluruhan isinya sampai selesai. Ternyata itu adalah buku hariannya selama tiga tahun masa SMA dari mulai masuk tahun 2014 hingga lulus tahun 2017.
Bibirnya tersenyum terang begitu membuka lembaran-lembaran pertama sang buku harian yang semuanya menceritakan hari-hari pertamanya menjadi siswi SMA. Perasaan tak menentu antara kangen teman-teman SMP termasuk Khansa yang ternyata juga sudah lima tahun tinggal di Belanda, gugup dan kaget menyaksikan perbedaan antara SMP dan SMA, terpikat kecantikan merangkap kebaikan sikap Stevie saat pertama kali mengenalnya, tegang menanti pengumuman hasil Pilpres 2014 hingga senang mengetahui dan menyambut Jokowi sebagai Presiden RI terpilih untuk periode 2014-2019 berpadu di buku itu. Apa yang ia alami saat itu hampir sama dengan hari ini. Hanya ketegangan menanti pengumuman hasil Pilpres yang bisa ia rasakan kini. Kerinduan terhadap teman-teman SMP seolah telah lenyap bak ditelan bumi. Perkenalan di minggu-minggu pertama SMA telah melebur jadi kenangan. Stevie pun telah menjadi sahabat baiknya hingga kini.