Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #66

Dosen Hubungan Internasional Sehari

Dia menghirup nafas dalam-dalam usai menjejakkan kakinya pada permukaan jalan setapak milik sebuah desa yang konon ia tuju pada salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Usai menghirup ia menghembuskannya lagi dan lalu melihat pemandangan sekitarnya. Suasana pedesaan yang asri dengan udara sejuk, sawah terhampar bagai permadani di kaki langit, gunung menjulang berpayung arak-arakan gemawan dan sungai yang terus tetap setia mengalirkan gemericik air jernih nan beningnya, dingin. Seberkas senyum pun terbit di wajah bulat telurnya pertanda ia bahagia melihat pemandangan begini. Enggan berlama-lama di gerbang masuk pedesaan tersebut, gadis berusia hampir 19 tahun itu segera menggulung lengan baju flanel kotak-kotaknya dan lalu melangkah masuk. Ketika ia memasuki desa itu ia mulai menemui banyak orang yang tak lain tak bukan adalah penduduk setempat. Mereka menyambutnya ramah walau sama sekali belum kenal.

Dari wajah para penduduk tadi, Rayla mengenali beragamnya usia mereka. Mulai dari penduduk lansia, dewasa, para pemuda-pemudi tanggung hingga anak-anak kecil. Mereka kedapatan tengah menjalani aktivitas hariannya masing-masing baik itu mencuci di sungai, memasak, menjemur pakaian basah atau sekadar bermain air di setiap leliukan lembah sungai. Rayla tersenyum saja melihat pemandangan begini karena di kota sukar sekali didapatkan termasuk di Bandung. Saking terpikatnya ia sampai tidak sadar telah berjalan sedemikian jauh menyusuri bantaran sungai nan jernih tersebut. Hingga langkahnya terhenti di depan sebuah rumah besar atau lebih tepatnya padepokan menurut istilah warga setempat. Ketika ia tiba, kebetulan hari itu padepokan sedang ramai oleh tetabuhan gamelan dan sorakan orang-orang yang tampaknya pria. Di antara para penabuh gamelan itu terdapat seorang gadis belia tengah berlenggak-lenggok mengenakan pakaian tradisional khas Provinsi Jawa Tengah dan usianya masih muda yakni 11 tahun.

Tanpa dinyana seorang pria paruh baya menghampiri Rayla. Belum sempat Rayla bertanya, pria paruh baya tadi langsung menjelaskan apa yang sedang berlangsung di padepokan kepadanya.

“Iki jenenge tarian Ronggeng mbak, maksude Ronggeng Dukuh Paruk soale saiki sampean ono nang Dukuh Paruk. Kito sedoyo wis suwe ora nyawangi Ronggeng Dukuh Paruk, soale dhisik wis tahu ono kejadian akeh wong sedukuh iki podho keracunan tempe bongkrek termasuk penari ronggeng sing dhisik ugo. Durung kekeringan, pokoke kuwi pancen ndrito tenan mbak. Nembe saiki iso koyo ngene neh. Ini namanya tarian Ronggeng mbak, maksudnya Ronggeng Dukuh Paruk karena sekarang kamu ada di Dukuh Paruk. Kita semua sudah lama enggak menonton Ronggeng Dukuh Paruk, karena dulu pernah ada kejadian banyak orang sedukuh ini pada keracunan tempe bongkrek termasuk penari ronggeng yang dulu juga. Belum lagi kekeringan, itu memang menderita banget mbak. Baru sekarang bisa begini lagi. Papar si pria paruh baya memakai Bahasa Jawa yang dapat Rayla pahami artinya.

Terus iki lagi latihan nggih pak? Terus ini lagi latihan ya pakRayla ikut menyahut.

“Nggih, saiki lagi podho latihan nggo pentas mengko wengi. Iya, sekarang lagi pada latihan buat pentas nanti malam.” Ujar si bapak-bapak juga masih memakai bahasa Jawa.

Puas melihat si penari ronggeng latihan berlenggak-lenggok diiringi tabuhan gamelan khas Jawa, Rayla memutuskan pergi meninggalkan padepokan. Selanjutnya ia memilih pergi menyusuri sudut lain desa yang belum sempat matanya jamah. Namun belum terlalu jauh ia pergi menjauhi padepokan, sekonyong-konyong ia merasa seperti masuk lorong waktu. Kali ini ia merasa dirinya benar-benar ada di Dukuh Paruk pada masa lalu ketika konflik bersenjata entah antara Indonesia melawan pasukan penjajah Belanda, Jepang atau gejolak politik melawan Partai Komunis Indonesia alias PKI pada 1965. Ia melihat banyak sekali pertumpahan darah di sini. Belum lagi saat muncul malapetaka yang timbul dari kebiasaan warga setempat mengkonsumsi tempe bongkrek. Menurut pengakuan mereka kepada Rayla saat ia bertanya, sebenarnya rasa tempe bongkrek itu lezat namun sekaligus mengandung racun sejenis merkuri atau bahan kimia. Orang yang nekat mengkonsumsinya akan merasa keracunan dalam tempo belasan jam. Dan benar saja, belum jauh berjalan mata kepala Rayla langsung bisa melihat pemandangan mengenaskan di depannya.

Orang-orang tidak pandang bulu usia bergeletakan jatuh pingsan. Wajahnya sudah pucat pasi, mulutnya mengeluarkan cairan berbuih pertanda mereka keracunan dan baunya tak sedap. Sebagian sudah dilarikan ke pusat layanan kesehatan atau rumah sakit setempat untuk mendapat pertolongan pertama dan konon berhasil selamat menurut laporan perangkat desa setempat. Tetapi sebagian lagi tak sempat tertolong mengingat banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Tak kuat mencium baunya, Rayla buru-buru pergi mengambil arah putar balik ke padepokan tadi. Suasananya mendadak berubah jadi lebih cerah dan tanpa terasa waktu telah menunjukkan malam hari. Penari ronggeng tadi kini sudah siap pentas di depan tetangganya sekampung. Belakangan Rayla tahu, penari ronggeng itu bernama Srintil dan punya lelaki tambatan hati namanya Rasus. Lalu sekejap saja, Srintil langsung berlenggak-lenggok memperagakan tari ronggengnya.

Warga yang berduyun-duyun datang pun berdecak kagum. Banyak dari mereka yang bersorak-sorai terutama pemuda dan pemudi tanggung. Yang ibu-ibu dan anak-anak hanya sebatas menepuki setiap gerakan Srintil. Maka dengan kembalinya Srintil sang Ronggeng Dukuh Paruk suasana dukuh yang dahulu suram kini berubah cerah seperti saat Rayla datang. Dukuh yang telah lama menderita kini berubah jadi lebih cerah dan indah di mata setiap orang yang beruntung mendatanginya termasuk Rayla sendiri hari ini. Kalau sudah begini ia jadi enggan balik ke Bandung.

*** 

Pagi ini Rayla tersentak dari lelap tidurnya semalam karena suara pria paruh baya itu menyapanya dari barisan jok paling depan, persis di belakang kemudi. Si pria paruh baya masih berbicara memakai Bahasa Jawa seperti yang Rayla temui di padepokan Dukuh Paruk tadi. Namun bedanya yang paling menghentak jiwa gadis pemakai kupluk abu-abu itu adalah lengkingan klakson yang muncul usai ditekan telapak tangan hitamnya. Ia tersentak begitu saja dan merayap pelan ke punggung pria pemencet klakson tadi. Matanya mengerjap-ngerjap berusaha menangkap pemandangan sekitarnya dengan cepat. Dan ternyata pagi ini dia ada di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten untuk kesekian kali sepanjang hidupnya. Ia kaget sekaligus tak percaya. Perasaan tadi dia pergi jalan-jalan ke Dukuh Paruk di Jawa Tengah, melihat keindahan suasana pedesaan, si ronggeng latihan menari, peristiwa keracunan tempe bongkrek sampai si ronggeng pentas mengobati kerinduan warga terhadap keindahan desanya setelah sekian lama.

Tahu-tahu kini dia ada di Bandara Soekarno-Hatta, dekat dengan hiruk-pikuk metropolitanisme ibukota Jakarta bersama desingan suara mesin pesawat yang silih berganti hinggap dan tinggal landas dari pintu masuk terbesar Indonesia ini. Matanya bisa menangkap pandangan sekitar secara lebih jelas, Rayla lalu mencoba berpikir-pikir mengapa sekarang dirinya ada di Bandara Soetta padahal tadi ada di Dukuh Paruk, Jawa Tengah. Asal saja ia melihat ke permukaan paha jenjangnya. Ternyata di atas paha kanan saat itu masih tetap tertutup rok selutut ada sebongkah buku novel yang tertelungkup. Posisinya terbalik dengan sampul di atas menjurus ke wajah dan lembaran demi lembaran halamannya menempel ke permukaan paha kanan semua. Warna sampul jingganya paling mencolok, sanggup membuat Rayla tersadarkan akan sesuatu.

Ternyata perjalannya ke Dukuh Paruk tadi hanya mimpi. Ia merasakan kombinasi mimpi indah dan buruknya itu ketika tidur dalam perjalanannya dari Bandung ke Bandara Soekarno-Hatta hari Sabtu pagi ini. Lebih spesifiknya ia bertolak dari rumah di Bandung pagi buta tadi. Ia yang masih mengantuk tahu-tahu begitu saja terlelap sembari membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk hasil gubahan Sastrawan ulung Ahmad Tohari ketika Pak Warsono, sang supir memacu mobil di sepanjang jalan tol. Lancarnya keadaan lalu-lintas efektif mempercepat perjalanan Rayla ke Cengkareng hari ini untuk menjemput Stevie dalam kepulangannya dari Kanada. Dan saking mengantuk juga asyiknya membaca buku terbitan tahun 1982 tersebut, ia tertidur di dalam mobil. Tahu-tahu perjalanannya sudah menemukan muara lagi di Bandara Soekarno-Hatta kini.

Lihat selengkapnya