“Mas Barry masuk rumah sakit,”
“Hah, apa siapa? Mas Herdi masuk rumah sakit?”
“Mas Barry Ray. Dia masuk rumah sakit lagi sejak tiga hari lalu. Biasalah sakit ginjalnya kumat lagi, terus hari ini dia juga baru cuci darah lagi.”
Percakapan singkat dengan ibu selepas pulang dari kampus kemarin sore membangkitkan lagi ingatan Rayla tentang kondisi kesehatan Mas Barry, salah seorang dosennya di program studi S1 Hubungan Internasional. Ia terakhir kali melihatnya datang ke kampus pada semester tiga lalu. Itupun sudah dalam kondisi sakit-sakitan yang sangat parah ditandai tubuhnya yang juga sudah ringkih sekaligus telah keriput kulitnya. Berjalan pun sudah harus menggunakan tongkat seperti para lansia, padahal usia Mas Barry sendiri tidak jauh berbeda dari bapak alias belum juga menginjak angka 60 tahun. Tetapi penyakit gagal ginjal yang telah menggerogoti tubuhnya sejak delapan tahun silam membuat kondisi kesehatan beliau jadi begitu.
Kemudian berdasarkan informasi dari Mas Setyo, salah seorang dosen HI lainnya, mengingat kondisi kesehatan yang terus memburuk dari hari ke hari akhirnya kampus memutuskan untuk membebastugaskan Mas Barry dari segala aktivitas akademik di kampus semester ini. Awalnya hanya tiga bulan, tetapi karena tanggung diperpanjang jadi satu semester penuh. Termasuk aktivitas bimbingan skripsi mahasiswa yang semula masih diladeni di rumahnya kini sudah benar-benar terhenti. Mahasiswa yang proses bimbingan skripsinya belum selesai barangkali terpaksa pindah dosen pembimbing yang masih satu topik dengan beliau. Kunjungan kerja entah keluar kota atau keluar negeri pun sama sekali tak pernah ia lakukan kini. Berbeda saat beliau masih sehat dulu. Dalam setahun, menurut cerita ibu dulu Mas Barry bisa terbang ke lebih dari lima kota di seluruh Indonesia atau lebih dari lima negara di seluruh dunia guna menguji sidang skripsi atau tesis mahasiswa dari kampus yang berdiri nun jauh di luar negeri sana.
Kecerdasan beliau memang telah lama mendapat pengakuan dari berbagai kampus di seluruh Indonesia juga negara lain. Maka tak ayal lagi jika banyak sekali kampus yang mempercayai Mas Barry untuk ikut serta dalam aneka program kerja mereka termasuk di antaranya penelitian. Puncaknya tercapai ketika Mas Barry tengah mengikuti program research fellowship atau beasiswa penelitian pada salah satu kampus di luar negeri 10 tahun silam ketika Rayla sendiri masih SD. Belum juga selesai program beasiswa penelitiannya, tiba-tiba saja kondisi kesehatan Mas Barry langsung memburuk begitu cepat dan Mas Garry secara otomatis didapuk mengurusi serta merawat beliau semasa pengobatan di luar negeri walau pada akhirnya tim dosen memutuskan Mas Barry pulang ke Indonesia lebih awal dari rencana semula. Dan sungguh tak dinyana itu adalah kali terakhir Mas Barry melakukan kunjungan kerja ke luar negeri.
“Begitu sampai di sini, pas beberapa tahun pertama Mas Barry masih sempat pergi-pergi keluar kota meskipun sudah harus cuci darah. Kalau agenda perjalanannya bentrok sama jadwal cuci darah, ya harus segera reservasi layanan cuci darah di rumah sakit setempat. Misalnya kunjungan ke Yogya terus ada jadwal cuci darah. Ya langsung ke rumah sakit yang ada di sana .” Imbuh ibu mengingat perkembangan kondisi kesehatan Mas Barry sepanjang dekade ini. Menurutnya Mas Barry jadi sakit-sakitan separah itu di usia yang relatif masih muda karena beliau sendiri kelelahan serta itu menimbulkan dampak psikis yang cukup signifikan. Alhasil jadilah ia jatuh sakit secara terus-menerus dalam rentang waktu yang cukup lama.
Hari ini persis di pekan ketiga bulan Ramadhan 2019, kabar terbaru yang sepasang ibu dan anak ini himpun dari grup percakapan Dosen Fisip menyebutkan jika Mas Barry masih dirawat di rumah sakit. Para koleganya baik sesama dosen maupun staf, pegawai, karyawan hingga tenaga pendidik Fisip beramai-ramai mengirimkan doa terbaik untuk Mas Barry. Akan tetapi satu hal yang cukup mengejutkan, Bang Freddy menuturkan ternyata pagi ini Mas Barry sudah masuk fase kritis. Info itu beliau dapatkan dari Mbak Tina, istri Mas Barry. Wanita paruh baya itu mengatakan sang suami kini sudah tak sadarkan diri. Alat pembaca detak jantung menunjukkan denyut yang semakin tidak stabil dari waktu ke waktu. Nafas beliau pun sudah semakin tak teratur serta kinerja sepasang ginjalnya pun sudah tak sebaik kemarin. Melihat kabar mengkhawatirkan ini ibu langsung menuliskan doa terbaik bagi Mas Barry untuk kesekian kalinya diikuti kawan-kawannya sesama Dosen Fisip.
Dan lewat pukul enam pagi usai fajar pecah begitu melewati waktu imsak, sepenggal pesan penuh duka berhimpun dari satu huruf bersama satu per satu huruf lainnya menjadi penggalan kalimat-kalimat yang menjadikan fajar nan cerah ini terasa lebih sendu: Mas Barry telah wafat pada penghujung Mei 2019 ini tepat pukul enam pagi ini karena penyakit yang ia derita sendiri. Kepergian Mas Barry yang masih terbilang mendadak ini mengagetkan sekaligus membuat banyak dosen tak percaya. Mereka beramai-ramai mengkonfirmasi, mengungkapkan perasaan terguncangnya itu. Termasuk Rayla yang sejak satu menit lalu hanya bisa melongo kaget, tak percaya Mas Barry akan pergi secepat itu usai menjalani perawatan di rumah sakit untuk terakhir kalinya.
***
Rayla mendadak familiar sekali dengan Ruang 3 di Rumah Duka Borromeus ketika ia hadir untuk melayat Mas Barry ditemani ibu dan kakaknya, Christoff. Mendadak ia baru sadar kalau ternyata ruangan ini juga pernah dipakai untuk menyemayamkan jenazah almarhum Mas Moel ketika beliau baru saja wafat pada awal Oktober 2018 lalu. Dan masih terbayang jelas dalam relung ingatannya kala ia hadir melayat Mas Moel tempo hari. Ia datang lebih awal ke rumah duka bersama ibu, Christoff dan Stevie sedangkan Mas Barry baru datang menjelang Rayla berpamitan dari rumah duka. Waktu itu pun ia masih sempat menyalami beliau sebelum masuk ruang persemayaman. Sungguh tak pernah terpikirkan sekalipun dalam benaknya hari ini Mas Barry mengalami nasib serupa seperti Mas Moel. Begitu wafat langsung disemayamkan di ruangan yang sama.
Tiba di Rumah Duka Borromeus, sekonyong-konyong Rayla merasa ada sesuatu yang janggal. Kurang dari dirinya. Nyatanya ia datang ke tempat di belakang Rumah Sakit Borromeus itu tanpa didampingi Stevie, hanya ibu dan Christoff padahal rumah mereka dekat. Rampung mengisi buku tamu di pintu masuk dan langsung menemui beberapa dosen Fisip Unpar, Rayla langsung saja menduduki salah satu kursi yang disediakan dan langsung menghubungi kontak Line Stevie lewat perangkat komputer tabletnya. Menunggu sedetik-dua detik, barulah kemudian Stevie menjawab.
“Ya halo Stev, kamu sudah baca grup angkatan HI 2017 belum?” Sapa Rayla.
“Oh sudah dong Ray, iya aku sudah tahu Mas Barry baru meninggal di RS Borromeus pagi ini. Ngomong-ngomong dia disemayamkan di mana?” Sembur Stevie balik menyapa Rayla.
“Rumah Duka Borromeus Ruang 3. Sama kayak tempat persemayamannya Mas Moel dulu. Kamu kapan mau melayat? Nih sini aku tunggu deh.” Ajak Rayla.
“Hari ini Ray, aku langsung berangkat sekarang juga. Tunggu disitu ya.”
Berselang singkat saja tahu-tahu Stevie sudah muncul di hadapan muka Rayla dengan mengenakan baju kotak-kotak long dress selutut kombinasi warna merah dan biru dongker. Kepalanya dibekap sepotong kupluk abu-abu yang bahannya terbuat dari kain wol serta kedua kakinya dipakaikan sepasang sepatu kets hitam merek DC khas dengan tali putihnya. Melihat Stevie telah datang ke rumah duka mendahului mahasiswa lainnya, tanpa ba-bi-bu lagi Rayla langsung mengajak dia, ibu dan Christoff masuk ke ruang persemayaman. Di ruang kecil ini sekarang mereka bisa melihat sebuah peti jenazah berbahan kayu jati asli telah diletakkan serta bagian dalamnya kini telah memuat sesosok tubuh yang telah berbaring kaku sejak beberapa jam lalu. Itu adalah Mas Barry sendiri, atau yang akrab disapa “Mas Prof” dari rekan-rekan sejawatnya. Sesuai tradisi persemayaman, pemakaman atau kremasi ala orang Kristen-Katolik, hari ini jenazah Mas Barry disemayamkan memakai setelan baju rapi berupa jas, dasi, kemeja, celana kain katun dan sepatu.
Namun dua hal yang menarik perhatian Rayla kini adalah bagian kaki Mas Barry. Berbeda dibanding Mas Moel, ternyata kaki beliau kini ditutupi selembar selimut putih polos dan di sampingnya telah berdiri dua botol berisi cairan minyak pewangi. Dan sepasang ruas telapak-jemari tangan Mas Barry rupanya kini ditutupi sarung tangan sewarna selimutnya. Entah kenapa Mas Barry mendapat tambahan atribut seperti ini sedangkan Mas Moel tidak. Hanya memakai setelan jas-dasi, kemeja lengan panjang, celana katun hitam dan sepatu sewarna. Beres mengamati penampilan jenazah Mas Barry, bersama ibu, Christoff dan Stevie ia lalu memanjatkan doa secara agama Islam lewat panjatan-bacaan Surah Al-Fatihah. Seumur-umur, baru kali ini dia melayat orang beda agama. Doa selesai, keempatnya langsung saja keluar ruang persemayaman mempersilahkan pelayat lain masuk guna memanjatkan doa sesuai agama masing-masing bergantian dengan mereka.
Di luar ruang persemayaman, Rayla langsung saja memilih mengobrol dengan Stevie.