Kedua paha jenjang Rayla tiba-tiba jadi terasa sebesar sasak pasir saat ia hendak memakai celana hitam kesayangannya tersebut hanya beberapa saat menjelang keberangkatannya ke venue konferensi di Resorts World Sentosa Island pagi hari ini bersama ibu dan kakaknya, Christoff. Bagaimana tidak, saat Christoff masih berada di dalam kamar mandi guna mengenakan setelan busana terbaiknya hari ini untuk sesaat Rayla memilih ‘berpakaian minim’ terlebih dahulu. Usai mandi tadi, ia hanya tampil mengenakan pakaian dalam merah muda favoritnya di kamar yang terang saja mampu memperlihatkan sekujur lekuk tubuh termasuk kedua paha jenjangnya. Hari ini ia tak absen mengurut keduanya dari atas ke bawah serta sesekali kalau kedinginan karena AC kamar hotel ia menjepitkan sepasang telapak tangannya kepada dua pahanya itu tadi.
Lumayan ampuh dalam memberikan kehangatan. Christoff masih di kamar mandi, ia enggan menghabiskan waktunya sia-sia begitu saja. Bangkit dari dipan yang langsung menghadap keluar jendela kamar, tangannya seketika saja merogoh sepotong celana hitam yang tadi sempat ia letakkan di atas meja. Ia lalu mencoba memakainya lagi. Namun saat ia baru menarik celana panjang hitam itu sampai setengah ruas kakinya hingga lutut, lagi-lagi ia merasa bimbang dan gamang apakah sebaiknya tetap memakai celana ini di balik baju terusan batik selutut atau tidak perlu sekalian saja mengingat cuaca di Singapura yang sehari-hari panas. Belum apa-apa, baru juga keluar ruangan sekejap saja pori-pori keringat langsung terangsang parah dan mengeluarkan butir-butir keringat.
Namun di saat yang sama ia mendadak teringat pengalamannya ketika masih sering memakai rok di SMP dan SMA bertahun-tahun silam. Kedua kakinya selalu ia biarkan telanjang. Maksud Rayla berpenampilan seperti itu antara lain supaya ia tidak kepanasan. Tetapi kadang kala ia justru merasa kulitnya jadi lebih berkeringat apalagi kalau dia sampai tak sengaja menempelkannya. Dan perkara merangkap celana panjang tambahan hari ini atau tidak, tampak seperti menjadi sebuah pilihan sulit baginya. Beberapa menit mematung bimbang di bawah terpaan bias sinar matahari yang masuk menembus jendela serta langsung mengenainya, akhirnya Rayla mengambil keputusan bulat: Ia memilih pakai baju terusan batik selutut saja, tanpa didobel celana panjang hitam tadi. Maka hanya butuh waktu singkat baginya untuk kembali meletakkan celana hitam itu di koper miliknya.
Ia langsung saja memakai baju terusan batik yang barusan sudah ia ambil sendiri. Sebagai gantinya celana panjang hitam, ia lalu mengambil sepasang kaos kaki semata kaki untuk ia pakaikan kepada sepasang telapak lonjongnya. Tak lupa sepasang sepatu kets kelabu ia coba kenakan di depan cermin, dan hasilnya sangat memuaskan dirinya sendiri. Penampilan yang tergolong stylish dan catchy namun tetap anggun untuk anak muda seumurannya di acara sekaliber konferensi hari ini.
***
Usut punya usut, ternyata peserta yang hadir mengikuti acara Asia Pacific-Autism Conference (APAC) 2019 di Singapura hari ini muncul dalam jumlah yang sangat banyak. Terbukti dari lobby hotel yang telah diramaikan mereka pagi ini pukul setengah delapan tepat. Mereka datang dari berbagai negara termasuk Indonesia. Bahkan sosok pria paruh baya yang kemarin Rayla temui saat hendak check-in di sini ternyata juga ikut hadir sebagai delegasi APAC 2019. Namanya Soetarto, berusia 45 tahun atau enam tahun lebih muda dari ibu dan sudah menikah, punya tiga anak. Sosok anak perempuan yang kemarin ikut disini dengannya ternyata adalah anak bungsunya sendiri. Tetapi anak Pak Soetarto hari ini tidak ikut ke venue konferensi karena sudah langsung menyusul sang ibu ke Negeri Jiran Malaysia. Sehingga hanya Pak Soetarto sendirilah yang akan konferensi. “Betul ibu juga mas-mbak berdua, anak saya umurnya masih 12 tahun terus belum boleh ikut konferensi kita ini. Batas termudanya 18 tahun, jadi dia memilih ikut ibunya ke Malaysia,” Terang Pak Soetarto memperkenalkan dirinya di depan lobby hotel.
Usai itu pria asal kota Medan, Sumatera Utara ini memperkenalkan dirinya lebih jauh lagi kepada Rayla, Christoff dan ibu. “Saya datang ke APAC tahun ini mewakili sekolah alam luar biasa atau SLB yang saya dirikan di Medan kurang lebih sejak 15 tahun lalu. Ini namanya, silahkan kartu nama saya dibawa saja kalau sewaktu-waktu perlu.” Ujarnya rendah hati. Rayla tak menyangka bahwa pria paruh baya di depannya ini adalah seorang pendiri sekolah khusus bagi anak-anak spesial. Rampung membaca isi kartu nama itu, ia lalu menyerahkannya kepada ibu. Membandingkan dengan pengalaman sekolah kakaknya dulu, ternyata sekolah milik Pak Soetarto di Medan ini bersifat jauh lebih inklusif dimana semua siswanya adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Sedangkan sekolah kakaknya, walau mengusung konsep inklusif masih lebih banyak menampung anak-anak reguler dalam satu kelas yang sama dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Dan sekolah Rayla sendiri, seumur-umur dari SD hingga SMA bersifat reguler alias umum.
Lalu seorang pria Tionghoa asli Singapura menyapa mereka dari arah pintu masuk lobby.
“Hello everybody, where are you from?” Sapa pria yang tampaknya sudah tua itu.
“Hello, morning sir. We are from Indonesia. And now we are also heading to the conference,” Sahut Rayla melemparkan sepotong jawaban tentang dari negara mana dia berasal.
“Wow nice, it was so lucky for you to come from a beautiful big country. You have a lot of things there. I’m originally from Singapore and in here we have nothing, only a line of buildings.” Pria oriental yang belakangan Rayla ketahui bernama Chen itu memuji Indonesia habis-habisan. Ibu yang berdiri di samping Rayla dan Christoff spontan meneguhkan pujian Mr. Chen barusan.
“Tuh, kita beruntung jadi orang Indonesia. Makanya harus bangga dong,” Rayla tersenyum simpul mendengar peneguhan ibunya ini. Mengambil tempo kurang dari setengah jam berselang, panitia langsung memanggil para delegasi di hotel Ibis Novena untuk segera naik ke kendaraan shuttle yang akan pergi mengantar mereka ke venue konferensi di Resorts World Sentosa Island. Mendengar titah itu Rayla langsung mengajak keluarganya naik ke mobil shuttle yang pagi ini berangkat menggunakan armada Mobil Toyota Hiace. Wajahnya hanya mengulum senyum simpul untuk kedua kalinya melihat mobil yang sama seperti miliknya di Bandung. Mumpung berjalan paling depan, tanpa basa-basi lebih panjang lagi mereka langsung memilih duduk di baris jok kedua karena paling dekat dengan pintu. Seperti biasa Rayla memilih dekat jendela kanan persis di belakang punggung supir, ibu di tengah-tengah dan Christoff dekat pintu. Tangannya yang panjang memungkinkan dia disuruh membuka-tutup pintu saat berangkat dan tiba di tujuan akhir bagai kondektur shuttle delegasi APAC 2019 di Pulau Sentosa hari ini.
Semua delegasi masuk, pengemudi shuttle berwajah India ini menekan tuas rem tangan, menggerakan setir dan menginjak pedal gas membelah jalanan Singapura. Begitu kendaraan berjalan, Rayla langsung saja mengalihkan pandangannya kepada suasana jalan Negeri Singa. Lalu-lintas yang ramai namun tidak macet seperti Bandung atau Jakarta, tata kota yang rapi dan bersih serta angkutan umum yang jauh lebih memadai ketimbang Bandung atau Jakarta menjadi primadona Rayla hari ini. Matanya tak bisa lepas menatap semua keindahan di negara kecil tetangga sebelah Indonesia ini. Lagi-lagi ia berandai kota Bandung bisa serapi Singapura kelak. “Asalnya Bandung itu bukan metropolitan, tapi kota singgah di mata Pemerintahan Kolonial Belanda. Kelihatan dari kawasan Jalan Riau, Merdeka, Asia-Afrika dan Braga. Itu kawasan elit dan strategis. Terus daerah utara, selain jadi perkebunan sekaligus jadi tempat rehat juga. Tapi dari waktu ke waktu sampai sekarang tata ruang jadi semakin rumit. Perubahan-pembangunan semakin enggak terkendali.” Imbuh ibu saat Rayla curhat tentang perbandingan Bandung dan Singapura itu.
“Cara menatanya gimana ya? Harus mulai dari mana lagi?” Christoff mencoba mencari tahu cara merapikan Bandung agar tampak jadi seperti Singapura.