Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #74

Hujan dan Masa Lalu di Orchard Road

Hawa panas di luar mendadak tergantikan oleh hawa dingin yang membekap seisi restoran hotel malam ini, mengalir dan menjalar cukup deras dari AC yang disetel petugas sampai sedingin mungkin. Sesaat usai tiba di hotel Ibis Novena, malam ini Rayla terlebih dahulu membersihkan dirinya di kamar mandi lalu shalat Maghrib dan Isya di luar secara munfarid saja. Usai itu ia lalu turun ke hotel restoran di lantai paling bawah, persis di seberang meja tempat resepsionis biasa menjamu para tamunya. Dan di restoran hotel inilah Rayla lalu memesan sepiring Mie Goreng hangat dari kertas menu yang dibagikan pelayan. Restoran hotel tempatnya singgah selama di Singapura ini terbilang sangat unik karena beroperasi selama 24 jam penuh mengikuti jadwal operasional sang hotel karena biasanya restoran hotel hanya buka dan melayani tamu saat jam sarapan pagi. Namun restoran Hotel Ibis Novena ini juga terus buka di siang dan malam hari.

Maka atas dasar itulah Rayla tidak memilih satupun menu makanan di Foodcourt Vivo City Pulau Sentosa. Kebetulan sekali tidak ada yang menarik perhatiannya, entah mengapa padahal ini kesempatan yang sangat langka baginya. Tidak menemukan makanan yang cocok dengan seleranya, malam ini ia langsung saja memesan Mie Goreng Singapura tadi. Hanya butuh kurang lebih setengah jam, menu pesanannya itu mendarat di mejanya. Kini tepat di hadapannya telah tersaji sepiring Mie Goreng Singapura yang akan dia santap malam ini bersama kakak dan ibunya. Kemudian sambil mengudap sesendok demi sesendok sajian berbentuk panjang dan lebat itu, sesekali Rayla mengarahkan pandangannya keluar jendela restoran. Lalu lintas jalanan malam masih ramai oleh lalu lalang kendaraan berbagai jenis. Namun yang paling mendominasi di sini adalah mobil pribadi dan bus kota. Hampir tidak ada sepeda motor seperti yang sering ia lihat di Bandung.

Mengudap lagi Mie Goreng Singapura pesanannya tadi, ia memfokuskan pandangan matanya kepada bus-bus kota yang melintas nyaris tiap menit. Rasanya semua bus kota bernama SBS Transit di sini tidak pernah mengenal kata ‘kosong’ karena semua yang lewat selalu mengangkut banyak sekali penumpang tak jarang sampai penuh. Dan cuaca hujan yang mengguyur sanggup menciptakan tetesan demi tetesan embun di kaca jendelanya. Masih sembari mengudap mie goreng, Rayla terus saja memperhatikan lalu lalang bus baik yang satu maupun dua lantai tersebut. Pemandangan demikian di matanya malam ini bukan sekadar bus kota lalu lantang penuh penumpang. Melainkan ada memori yang terselip di dalamnya yakni cerita saat datang ke tempat ini bersama Stevie dan Tiffany persis satu tahun silam. Kala itu, pergi kemana-mana hanya banyak mengandalkan jasa bus kota karena taksi terlalu mahal untuk kantong pelancong muda sepertinya. Sedangkan mau naik MRT, Stevie masih belum bisa menghafal jalur-jalurnya. Berbeda dengan jalur bus kota yang bisa ia hafal di luar kepala hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Ia mendadak rindu dengan semua itu. Ia ingin agar semua memori tadi dikembalikan padanya untuk dapat diputar ulang atau dijalani sesuka hatinya. Sadar itu semua hanya angan-angan belaka, untuk kedua kalinya dalam hati ia menegaskan sekaligus meneguhkan secarik kesimpulan besar yang mungkin saja dapat ia lakukan di lain waktu: Pindah dan tinggal untuk bekerja di Singapura usai lulus kuliah kelak. Bahkan kalau perlu sekalian saja mengajak Stevie dan Tiffany. Toh pada tahun ajaran mendatang Tiffany sendiri sudah menduduki bangku kelas 12 SMA yang artinya hanya butuh waktu selama satu tahun ke depan untuk dia memulai kuliahnya. Serta satu hal yang belum ia tahu pasti, yakni soal pilihan tempat kuliah sepupu dekat sahabatnya itu. Memang sih tempo hari dia pernah bilang mau kuliah di program studi Hubungan Internasional seperti Rayla, Stevie dan Christoff. Namun ia sama sekali belum tahu mau kuliah di kampus mana. Maka dalam hatinya, Rayla hanya bisa berjanji akan menanyakan tertarikkah Tiffany kuliah di Singapura/tidak.

Tersadar dari lamunannya, ia lalu segera menghabiskan kudapan malamnya di atas meja.

***

Di dalam kamar hotel, mumpung kapasitas matanya masih belum mencapai angka lima watt alias masih nyalang Rayla memutuskan untuk ber-video call dengan Stevie dan Tiffany di Bandung usai semula ingin video call dengan bapak di Hong Kong, namun gagal saat panggilannya tidak kunjung mendapat jawaban dari beliau. “Mungkin bapak sudah tidur,” Gumamnya memencet tombol silang merah di bawah nama kontak sang ayah. Enggan merecoki jam istirahat ayahnya, Rayla kini memilih menghubungi Stevie dan Tiffany karena ia pasti tahu mereka belum tidur. Maklum saja karena mereka masih muda, seumuran dengan Rayla dan Christoff. Lebih banyaknya waktu kosong baik saat kuliah maupun saat libur membuat keempatnya lebih leluasa saling berkontak lewat fitur panggilan video di media sosial di malam hari. Nada tunggu tersambung, hanya butuh beberapa detik wajah oriental Stevie muncul di layar komputer tablet Rayla.

Wajahnya yang diwarnai kulit putih secara keseluruhan terlihat begitu segar malam ini, entah karena memang benar-benar belum mengantuk atau efek video belaka. Melihat Rayla sudah bisa menyapanya di depan kamera, Stevie langsung saja mengawali percakapan dengan sahabatnya itu. “Tiffany sudah tidur Ray, enggak tahu kenapa dia cepat capek akhir-akhir ini padahal biasanya dia sering begadang paling enggak sampai jam 11.” Imbuh Stevie saat Rayla menanyai Tiffany ada dimana. Hati Rayla mendadak kecewa mengetahui Tiffany sudah terlelap lebih cepat dari biasanya. Dia lalu melirik jam digital pada bagian kanan atas layar komputer tabletnya, sekarang pukul sembilan malam waktu Singapura. Lebih awal satu jam, artinya sekarang jam 10 malam di Bandung. “Terus kamu belum mengantuk Stev? Apa enggak berisik ngobrol di sebelah Tiffany yang sudah tidur?” Rayla balik menanyai Stevie secara terpisah jarak antara Singapura dan Bandung.

“Belum nih Ray, enggak kok enggak berisik orang dia enggak dengar. Nih tidurnya pulas banget.” Ujar Stevie menunjukkan sosok sepupu dekatnya itu telah terlelap di samping kanannya. Rayla tertawa saja melihat ekspresi wajah Tiffany kala ia terlelap di tempat tidur.

“Memang ada apa gitu sampai menanyakan Tiffany segala?” Celetuk Stevie nyaring.

“Aslinya aku justru mau bertanya ke dia. Nanti mau kuliah dimana, orang tahun ajaran baru nanti dia ‘kan sudah kelas 12. Ya artinya tinggal setahun lagi dong sampai dia masuk kuliah. Siapa tahu dia tertarik kuliah Hubungan Internasional di Singapura selain Indonesia. Kalau dia memang benar mau kuliah HI di sini, nanti setelah lulus kuliah kita bisa menyusul dia tinggal di sini terus kerja jadi guru mungkin sekolah internasional sini Stev.” Pungkas Rayla menjelaskan maksudnya.

Bukannya redup mengantuk, mata Stevie malah berbinar-binar mendengar ucapan teman baiknya itu. Telinga putihnya sontak saja berdiri tegak, nyalang karena tidak percaya dengan mimpi gila Rayla barusan. Sampai-sampai ia menginvestigasi maksudnya secara lebih dalam lagi.

Lihat selengkapnya