Klik. Rayla mengatupkan dan menutup lagi ujung pulpen digitalnya yang biasa ia gunakan untuk menulis atau sekadar mencorat-coret layar komputer tabletnya yang memiliki fungsi demikian sore hari ini, menjelang malam usai menghabiskan santapan Yong Tau Fu-nya di pusat perbelanjaan Orchard Gate tadi. Bersama ibu dan kakaknya, kini ia memutuskan kembali ke Hotel Ibis Novena menggunakan sebuah taksi yang ia cegat dari mall Orchard Gate. Sepanjang perjalanan, hari terakhirnya mengunjungi Singapura kali ini tak kenal absen ditemani guyuran rintik-rintik hujan yang ternyata masih belum berhenti sejak tadi. Wiper pada kaca depan taksi terus-terusan bergerak naik-turun dari kanan ke kiri. Namun supirnya tidak doyan membunyikan klakson untuk menghalau kendaraan di depannya agar segera maju atau jalan lebih cepat, berbanding terbalik dengan supir taksi di Bandung karena lalu-lintas di Singapura jauh lebih lancar. Sama sekali tidak mengenal kata kemacetan, sebab paling banter hanya sebatas antrian di lampu merah.
Kondisi demikianlah yang menjadi primadona Rayla selama menyambangi negara tetangganya beberapa hari terakhir ini. Sehingga atas dasar itulah sepanjang perjalanan pulangnya ke hotel dia banyak sekali membuat corat-coret di layar komputer tabletnya tentang impian sekaligus hal dan langkah apa saja yang ingin ia tempuh ke depannya. Hingga sekarang, dia terhitung sudah dua tahun menjalani perkuliahan di HI bersama Christoff dan Stevie. Artinya dia juga kakak dan teman baiknya itu masih punya waktu paling tidak selama 1,5 hingga 2 tahun mendatang untuk menuntaskan kuliahnya mengikuti standar kelulusan 3,5 atau 4 tahun. Usai itu, sudah waktunya bagi mereka untuk menentukan sendiri apa keinginan mereka selanjutnya baik itu langsung kerja maupun mengambil kuliah S2 terlebih dahulu. Pengalaman menghadiri konferensi di sini lima hari belakangan ini telah berhasil membukakan pintu hatinya yang telah lama tak mengetahui seluk-beluk kehidupan di luar negeri dibandingkan di Indonesia.
Sekaligus memberinya kesadaran penuh tentang prospek tidak ada salahnya kuliah serta bekerja di luar negeri. Masih dalam perjalanan pulang, sambil memperhatikan lalu-lalang bus kota berlantai satu atau dua serta empat atau enam roda, Rayla mencoba membaca semua corat-coret kasar jemarinya itu di layar komputer tablet. Berawal dari konferensi autisme kemarin-kemarin, hingga tiba kembali di hotel untuk terakhir kalinya sebelum terbang kembali ke Bandung esok siang Rayla telah mendapatkan banyak sekali rincian tentang semua cita-citanya selama ini. Lulus kuliah dua tahun mendatang terhitung sejak pertengahan 2019 ini, menyesuaikan impian besarnya sejak lama ia berencana akan langsung bekerja sebagai seorang guru entah di sekolah mana. Namun yang jelas dirinya tidak akan mengajar di sekolah negeri. Alternatifnya adalah kuliah S2 mungkin di HI lagi sebagai tempat nyaman yang sudah ia kenali sejak dua tahun silam. Dengan mengambil kuliah S2, dirinya bisa ‘naik pangkat’ menjadi dosen perguruan tinggi.
Itu baru corat-coret tentang lokasi ia menggapai mimpinya di Indonesia atau lebih spesifiknya di kota kembang Bandung. Di sampingnya, satu lagi ia turut menaruh Negeri Singa sebagai tempat menggapai mimpinya. Langsung kerja jadi guru dan/atau mengambil kuliah pascasarjana sebelum jadi dosen bisa ia lakukan di sini apalagi mengingat rencana Tiffany mengambil kuliah S1 di tempat ini pada tahun mendatang. Belum lagi Stevie. Pasangan sepupu dekat ini sulit sekali dipisahkan jauh dan berlama-lama. Terpisah jarak antara Bandung dan Bogor saja sudah bagus selama ini. Namun terpisah jarak antara Bandung dan Singapura rasanya lebih berat walau masih tergolong bertetangga satu sama lain dengan Indonesia. Merasa sudah haqul yakin alias yakin betul akan pindah ke Singapura usai lulus kuliah nanti, masih di dalam taksi ia langsung saja men-save catatan tangannya tadi di memori note sang komputer tablet. Taksi terus melaju mengantarkan dia sampai tujuan akhirnya yakni Hotel Ibis Novena Singapura.
***
Dua potong roti sandwich yang ia beli saat mendarat di sini lima hari lalu dicomotnya dari dalam kulkas hotel yang terletak persis di bawah televisi. Sandwich berisi telur ceplok, daging salami serta sayur-mayur berupa salada dan tomat itu ia taruh di atas meja tulis kamar hotel dan sesaat saja ruas jemari langsingnya langsung merobek bungkusan plastik sandwich. Ia melahapnya sepotong dan memberi sepotong sisanya kepada Christoff. “Sok mending dimakan sekarang saja mas, daripada besok lupa terus tahu-tahu kadaluarsa dan keburu balik ke Bandung.” Ujarnya mempersilahkan sang kayak melahap roti sandwich yang satunya lagi. Empat kata terakhir persis di ujung kalimatnya membuat Rayla tercekat. Buru-buru ia melipat permukaan kakinya agar bisa meletakkan komputer tablet di atas itu dan lalu ia langsung saja memeriksa catatan tadi untuk kesekian kalinya. Merangkum impian untuk dia gapai sendiri di Singapura beberapa tahun mendatang. Pandangan matanya lalu kabur ke luar jendela kamar hotel, memastikan negara mungil ini indah dipandang.