Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #78

Keputusan Tepat di Akhir Cerita

Satu hal lagi yang tampaknya belum pernah Rayla pikirkan dalam hidupnya selama ini. Yakni dimanakah tempat dirinya meniti karier kelak. Pilihan profesinya sudah pasti menjadi guru untuk anak-anak remaja sebagaimana cita-citanya sejak masih ABG dulu. Namun mengikuti apa yang sudah pernah ia tulis pada paragraf-paragraf terdahulu, seumur-umur baru kali ini dia terpikirkan apa bedanya sekolah nasional dan internasional dari berbagai aspek, khususnya durasi libur. Memang agak aneh kalau memikirkan soal durasi libur dan berapa lama waktu kerjanya, sebab rata-rata orang hanya memikirkan apa kemampuan mereka serta paling jauh imbalan gajinya. Namun barangkali Rayla adalah sosok yang idealis dalam hatinya.

Dia yang sangat menyukai kebebasan waktu sejak masuk kuliah, perlahan-lahan jadi mulai berpikir ingin mencari apa jenis pekerjaan yang memungkinkan kesukaannya itu tapi tetap menjamin penghasilan secara teratur. Berputar-putar mencari pilihan, kerja kantoran di perusahaan atau bank tak masuk dalam jangkauan radarnya karena alasan waktu kendati kemapanan gaji sangat terjamin. Menjadi guru atau dosen barangkali adalah pilihan terbaik untuknya sebab dengan begini, fleksibilitas waktu masih jauh lebih terjamin ketimbang perusahaan walau kerja part-time. Toh guru-guru sekolahnya dulu juga ada yang bekerja menggunakan sistem seperti ini. Namun lagi-lagi, ia punya satu syarat bagi tempat kerjanya kelak. Harus bernuansa multikultural seperti di Unpar saat ini, juga memiliki durasi libur yang panjangnya melebihi institusi lain di Indonesia.

Maka sekolah internasional kini tampil sebagai pilihan paling tepat baginya. Beres menyigi informasi tentang sistem teknis pendidikan di sekolah internasional memakai komputer tabletnya di rumah, Rayla lalu menimbang-nimbang angan tersebut. Tampaknya itu tidak kalah menggiurkan dibanding impian kerja di sekolah biasa atau dosen perguruan tinggi. Apalagi kalau memikirkan durasi libur baik siswa maupun gurunya yang lebih panjang ketimbang sekolah atau institusi nasional lainnya. Ia wajib menyamakan durasi liburnya kelak dengan Tiffany yang bakal menjalani kuliah berbarengan dengan ia bekerja entah di mana. Sebab kalau durasi liburnya berbeda, bagi dia juga Stevie dan Christoff itu akan sangat mengganggu ketenangan diri sendiri. Biarlah mereka dicap aneh oleh orang lain. Tapi setidaknya mereka punya satu bentuk idealisme tersendiri kini.

Rampung memikirkan apa saja rencana hidup dia ke depannya, ia lalu meladeni sebuah bunyi "ping" dari komputer tabletnya. Bunyi notifikasi singkat namun bermakna penting itu berasal dari akun resmi Gramedia Pustaka Utama yang ia ikuti di Line-nya. Ketika membuka isi notifikasi itu, sorot sepasang kelopak mata Rayla menangkap rentetan informasi dalam iklan "Gramedia Writers-Readers Festival (GWRF) 2019" yang rencananya bakal dihelat di Perpustakaan Nasional Jakarta awal Agustus mendatang. Dia lalu membacanya, dan dia tahu ternyata ini bukan festival biasa. Ini sekaligus menjadi ajang pembelajaran bagi pembaca serta para calon penulis generasi mendatang sebab GWRF 2019 akan menyelenggarakan coaching clinic dan aneka ragam kelas-kelas diskusi atau seminar bersama sederet penulis ternama tanah air.

Rayla mendadak tertarik karena tahu dia punya naskah novel tentang pengalamannya sendiri yang telah ia tulis bersama Christoff dua tahun terakhir ini namun sama sekali belum pernah terbit lantaran kesibukan mereka menjalani kuliah. Enggan membiarkan draft naskahnya mengendap terlalu lama, ia segera memberitahu kakaknya perihal ini juga bapak dan ibu. Kedua bersaudara ini sudah menyatakan setuju dan mau hadir di acara tersebut, bapak dan ibu meminta mereka bersabar karena butuh waktu untuk mempelajari seluk-beluk acaranya karena terdengar asing di daun telinga beliau berdua. Usai mempelajari detail acara tahunan itu, barulah bapak dan ibu setuju. Namun kalau Rayla dan Christoff jadi pergi, mereka hanya akan didampingi bapak karena ibu sudah kadung ada acara lain pada tanggal yang sama.

Maka jadilah sejak hari itu dalam rentang waktu 10 hari terakhir sepanjang bulan Juli 2019 ini Rayla dan Christoff jadi lebih sibuk mengurusi persiapan mereka ke Jakarta beserta apa saja kebutuhannya dalam perjalanan ke ibukota kelak. Termasuk draft naskah mereka yang selama dua tahun terakhir ini hanya dilihat secara virtual di komputer, pada akhir bulan ini baru untuk pertama kalinya mereka lihat secara cetak. Ini menandakan mereka akan ikut coaching clinic untuk mengkonsultasikan format-konsep naskah ke perwakilan penerbit yang diundang Gramedia ke Gedung Perpusnas selain mendengarkan penjelasan di kelasnya para penulis. Pilihan mereka jatuh pada sesi "Love is Universal" bersama Valerie Patkar dan "Faith That Leads" bersama Ahmad Fuadi.

Penulis kedua adalah yang paling mereka mafhum namanya karena pernah membaca sekaligus memiliki buku "Trilogi Negeri 5 Menara" hasil gubahan penulis asal Sumatera Barat tersebut. Walau bukan sesama orang Minang, namun berkat novel itu mereka jadi bisa mengenal sedikit seluk-beluk kehidupan budaya Minang juga kehidupan pesantren setali tiga uang cerita kuliah di kampus negeri tanah air dan gaya hidup ala orang luar negeri. Kesempatan bertemu penggagasnya secara langsung ini sama sekali tak boleh mereka sia-siakan begitu saja. Maka sebelum kehabisan celah, mereka langsung mendaftar ikut sesi ini di hari kedua usai coaching di hari pertama. Di samping itu, bersama bapak keduanya tak lupa turut serta memesan tiket kereta api Bandung-Jakarta pp mengingat jalan tol yang masih macet akibat pembangunan flyover dua arah belakangan ini. Mereka sepakat berangkat subuh dan pulang malam.

                  ***

Hari yang ditunggu pun tiba. Belum juga Adzan Subuh berkumandang, Rayla, Christoff dan bapak sudah tersaruk-saruk mempersiapkan dirinya berangkat ke ibukota Jakarta. Bapak membangunkan dua anaknya itu tepat pukul setengah empat pagi, menyuruh mereka segera membersihkan diri dan sarapan lalu diantar Pak Warsono ke Stasiun Kebon Kawung tanpa ibu.

"Shalat Subuhnya nanti di stasiun saja." Imbuh bapak membaca keinginan mereka agar selalu menunaikan shalat tepat waktu. Rampung mandi dan sarapan, mereka bertiga pergi meninggalkan rumahnya tepat pukul 04.15 WIB. Sengaja berangkat agak mepet karena lalu-lintas subuh begini masih sepi. Namun walau jalanan masih lengang, situasi berbeda mereka temui di stasiun. Ternyata antrian penumpang kereta api tujuan Jakarta sudah mengular panjang. Enggan ketinggalan kereta, sambil bapak check-in Rayla dan Christoff pergi shalat Subuh di mushola stasiun.

Lihat selengkapnya