“Kata ‘runway’ itu sebenarnya jadi asal mula namamu itu nak, karena bapak ingin kamu cepat tumbuh besar dan menggapai mimpi secepat pesawat di landasan juga setinggi saat ia terbang di langit. Dulu bapak dan ibu sempat bingung mau kasih nama apa buat kamu. Kalau pakai nama ‘Rayhan’ malah jadi kayak anak cowok, sementara nama ‘Raisa’ kayaknya sudah agak mainstream padahal itu nama anak cewek. Ya sudah terus ibu usul namamu ‘Rayla’ saja, biar 100% kelihatan anak cewek.”
“Terus coba perhatikan kakakmu, Christoff. Dia kurang lebih sama kayak kamu, suka politik sejak dia melihat dinamika politik Indonesia dua tahun terakhir ini. Warna baru membuatnya jatuh cinta.”
Penggalan kalimat penuh makna itu berhasil membuyarkan Rayla dari mimpi sekaligus tidur lelapnya semalam. Kini gadis remaja 14 tahun itu termenung, seperti menyadari ia benar-benar terjaga. Rasanya sudah lama sekali ia mendengar cerita itu dari ayahnya dan entah mengapa itu muncul melalui mimpinya. Mungkin saja Tuhan berbaik hati mengingatkan Rayla agar terus semangat berjuang menggapai semua mimpinya.
Sejak melihat dinamika tersebut dua tahun belakangan ini, sang kakak memang ingin terlibat di dalamnya dengan menduduki banyak jabatan apalagi jika melihat serunya perkembangan lewat layar kaca televise.
Lantas bagaimana dengan Rayla? Dia juga ingin mematok navigasi impian ke orientasi yang sama, hanya saja ia masih belum yakin. Sampai bangun tidur hari ini saja, malahan ia masih ingin bekerja sebagai seorang arsitek sesuai impian lamanya sedari kecil dahulu. Terakhir, ia berbicara soal urusan ‘jadi arsitek’ dengan orang tuanya sekitar hampir dua bulan lalu selepas beres Ujian Nasional SMP. Ia ingat, syarat utama menjadi arsitek adalah mengambil jurusan IPA di SMA dan tentu saja berkuliah di program studi arsitek kelak. Hanya di samping itu, Rayla mengalami kesulitan matematika yang mungkin saja akan sangat menghalanginya jadi arsitek sehingga kini ia mendadak bingung sendiri. Jurusan IPS lebih ‘toleran’ terhadap kesulitan matematikanya walau itu sekaligus menghalangi jalannya menjadi arsitek, namun juga memungkinkan dirinya berkembang lebih pesat sesuai potensi yang sejatinya ia punya. Dan aspek politik akan lebih sekaligus paling banyak mengambil porsi di sana. Seseorang datang, menekan gagang pintu.
“Nak, ayo bangun..,” Belum sempat bicara panjang lebar tahu-tahu bapak sudah mendapati Rayla terjaga dari tidurnya. “Eh sudah bangun. Yuk langsung sahur terus siap-siap ya, hari ini kamu sudah masuk sekolah lagi.” Bapak mengajak Rayla sahur usai terjaga. “Lho sudah sahur lagi pak. Cepat banget ya, enggak terasa.” Ia tak banyak bicara selain menuruti ajakan bapak barusan.
Meskipun masih dibelenggu oleh rasa kantuk namun tangan Rayla langsung saja menyiduk nasi di dalam rice cooker dan menambahkan lauk-pauk di sekeliling nasi itu. “Gimana, kamu sudah siap jadi anak SMA belum?” Baru menelan satu sendok, bapak menceletuk mengenai kesiapan putri bungsunya ini memulai masa SMA setelah lulus SMP beberapa pekan silam. “Iya pak, aku sudah siap jadi anak SMA meskipun SMP masih terngiang-ngiang di pikiran.” Ujarnya.
“Ray, ayo makan makan dulu. Ujar Christoff, kakak laki-laki Rayla.
“Enggak apa-apa, namanya juga beradaptasi sama lingkungan baru. Memori kamu tentang lingkungan lama ya wajar saja masih terngiang-ngiang. Nanti lama-lama kamu juga bisa beradaptasi sama dunia SMA.” Kemudian bapak menyeruput segelas kopi. Ayah Rayla adalah seorang pilot yang hari ini akan pergi bertugas menerbangkan pesawat ke Bandara Ngurah Rai-Denpasar, Bali. Kemudian Rayla mengencangkan ikatan rambut panjangnya sebelum melahap kembali makanan. Usai sirine pertanda waktu imsak berkumandang, Rayla mengambil air wudhu sambil menunggu Adzan Subuh berkumandang diikuti oleh bapak dengan pakaian seragam dinas kapten pilot secara rapi dan Pak Warsono, supir yang telah bekerja dengan keluarganya selama tujuh tahun terhitung sejak Rayla duduk di bangku kelas 2 SD.
“Saiki Rayla kelas telu SMP yo nek ora salah?[1] “ Sebelum bapak yang berpangkat kapten pilot berdiri di depan, Pak Warsono menanyakan sesuatu pada Rayla.
“Dudu Pak Warsono, saiki aku arep mlebu kelas siji SMA. ” Rayla menjawab sopan pertanyaan Pak Warsono
“Walah, nyuwun sewu… Pak Warsono mau lali. Kelingane isih SMP. Lha tiwase saiki wis gede lan Pak Warsono ngerti kowe iki wiwit cilik…[2]”
Tak sampai lima menit bapak datang dan menyuruh Pak Warsono mengumandangkan iqomat pertanda shalat akan segera dimulai.
vvv
Pukul 06.30 WIB, Rayla telah siap berangkat ke sekolah guna mengikuti masa perkenalan yang akan berlangsung beberapa hari ke depan. Maklum, berhubung ia berlum punya seragam SMA wajar saja hari ini ia masih mengenakan seragam SMA selama masa perkenalan. “Ya sudah, nanti kamu kenalan ya sama teman-teman baru. HP & dompet sudah dibawa?” Bapak yang akan berangkat ke bandara mencoba memastikan kesiapan Rayla satu kali lagi. “HP sama dompet sudah dibawa. Ya nanti kenalan sama teman-teman baru. Aku berangkat duluan ya pak.” Kemudian Rayla mencium tangan bapak dan tak lupa ibu yang masih berada di dapur.
Sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah, kenangan-kenangan indah sepanjang Masa SMP masih beterbangan di dalam benak gadis berambut panjang ini khususnya momen saat dimana ia masih dan sedang bersama Khansa, sahabatnya yang kini telah pindah ke Belanda untuk tinggal di sana. Setelah tiga minggu berpisah, rasa rindu kerap kali masih membelenggu dirinya dan untuk melepaskan itu, Rayla berkomunikasi dengan Khansa melalui aplikasi Whatsapp.
Di persimpangan, Pak Warsono bertanya sesuatu pada Rayla “Nanti masa perkenalannya kayak apa?” “Enggak tahu pak, tapi yang kayak ospek sih jangan Karena nanti orang tua juga protes seandainya itu terjadi.” Tangan Rayla merogoh ponsel yang ditaruh di dalam tas sebelum Pak Warsono kembali menjawab. “Dulu waktu Pak Warsono masuk SMK, pengalaman yang paling menyebalkan itu ospek di hari pertama. Belum apa-apa sudah dibentak sama senior yang enggak tahu tujuan & malu, sampai akhirnya enggak kuat terus berhenti ikut ospek.”