Rayla

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #4

Minal Aidzin Wal Fa'idzin...

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar... Laa Ilaha Ilallah Huwallahu Akbar, Allahu Akbar Wakhira Ilham...

Tiada lagi bunyi alarm pertanda bangkit dari tidur untuk sahur sebelum fajar terbit melainkan kini sudah berganti dengan gema takbir yang berkumandang di segala penjuru. Setelah berpuasa selama satu bulan, hari ini umat muslim di seluruh dunia merayakan kemenangan di Hari Idul Fitri. Pagi-pagi, Rayla telah bersiap-siap dengan mengenakan sebuah blues putih berlengan 3/4 dan bawahan setengah paha. Tak lupa pula ia mengenakan celana jeans berwarna biru dan membawa sajadah beserta mukena. Sedangkan bapak pergi mengenakan baju dinas pilot secara lengkap dan Christoff hanya mengenakan baju koko dan celana panjang.

Lha enggak pakai baju muslim saja pak?” Tanya Rayla ketika melihat bapak memasangkan topi pilot di kepalanya. “Ya enggak apa-apa nak, shalat enggak harus pakai baju muslim tapi intinya tetap harus berpakaian sopan.” Kemudian Rayla berangkat bersama bapak menggunakan mobil menuju ke tempat masjid.

Gema takbir melantun sedemikian syahdu di prolog langit fajar 1 Syawal hari ini. Tidak sahur apalagi waktu Imsak sebagai pertanda makan dan minum hukumnya sudah haram bagi yang berpuasa. Demikian prinsip yang berlaku jua bagi Rayla, bapak, ibu dan Mas Chris. Kini mereka sudah lebih bebas makan dan minum setiap saat. Pagi-pagi sekali sekira pukul 05.30 WIB, Rayla telah membersihkan diri tuk setelahnya mengenakan baju muslim demi mengikuti ibadah Shalat Ied tidak jauh dari rumah. Rayla mengisi barisan shaf jama’ah perempuan di belakang sedang bapak dan Christoff mengisi barisan shaf laki-laki di depan.

 Sesosok pria berkopiah putih bersih maju ke mimar khatib shalat lalu ia bicara melalui pengeras suara.

 “Hadirin dan hadirat yang dirahmati Allah SWT, sebelum nanti mengawali shalat Ied berjamaah, mohon izinkan saya untuk memaparkan hasil pengadaan kegiatan masjid selama Bulan Ramadhan 2014 kemarin. Alhamdulillah kita dapat menyelenggarakan Shalat Tarawih dengan konsisten selama satu bulan penuh, ditambah adanya sumbangan zakat-infaq-sedekah dari bapak dan ibu sekalian serta adanya perbaikan sejumlah fasilitas masjid. Pemasukkan biaya hendak ditampung dalam kas masjid dan saldo akan kami sumbangkan pada yang membutuhkan.” Ibadah shalat Ied dimulai kurang dari lima menit usai sambutan singkat diberikan tadi. Diawali tujuh kali gerakan takbiratul ihram, jama’ah dihanyutkan dalam merdunya bacaan imam shalat dari awal hingga akhir. Lalu tatkala shalat Ied menemui ekornya sudah, sang imam segera menunaikan tugasnya menyampaikan khotbah tentang makna sekaligus hakikat Idul Fitri teruntuk semua jama’ah. Alhamdulillah, isi khotbah mampu menjadi penyejuk bathin di hari nan fitri ini.”

“Pak, nanti ibu enggak akan ikut keliling-kelilig Karena kandung kemih sakit. Jadi nanti setelah selesai di rumah eyang langsung antar ibu ke sini.” Beberapa hari terakhir ini ibu memang mengeluh dirinya sedang kurang sehat sehingga beliau lebih banyak berdiam di rumah. Jama’ah shalat Ied hari ini sangat banyak. Bapak duduk di shaf depan bersama Christoff sedangkan Rayla dan ibu duduk di shaf belakang. Tata cara pelaksaannya mirip dengan Shalat Jumat yang jumlah rakaat hanya dua dan khutbah. Namun perbedaanya, khutbah baru dilaksanakan setelah shalat.

vvv

“Lha itu yang shalat di terminal kok belum selesai?” Bapak yang sejak empat hari lalu mengambil alih kemudi mobil menggantikan Pak Warsono yang tengah mudik ke kampung halamannya bertanya sambil mengerem laju mobil secara bersamaan. Derum mesin diesel bak menemani keheningan seisi mobil.

“Kemungkinan mereka masih lama pak. Makanya tunggu saja atau kalau mau lebih cepat sedikit, aku ke rumah eyang duluan bareng ibu sama Mas Chris. Jalan kaki sudah enggak jauh.” Tutur Rayla dari jok belakang. Ia menanti reaksi bapak dengan memperbaiki posisi kupluk kelabu si busana anyar belakangan ini. Ceramah urung diakhiri pembawanya jua.

Ibu yang tampak mulai jenuh menarik keputusan untuk berjalan kaki ke rumah eyang meneruskan sisa perjalanan dari Dago ke Antapani. Rayla mengekori langkah ibu dibuntuti Christoff melewati bagian pinggir shaf-shaf jama’ah di Terminal Antapani.

“Kenapa mereka enggak shalat di depan ruko Puri Dago saja? Padahal luas. Terus kalau shalat di jalan raya sampai menghalangi kan sama dengan mengganggu kepentingan pengguna jalan.” Imbuh ibu di jalan ke rumah eyang. Bapak masih menanti jama’ah membubarkan diri.     

Christoff mengatupkan dua telapak tangan demi bersungkeman dengan eyang, begitu juga Rayla. “Selamat lebaran eyang, mohon maaf lahir bathin ya.” Lalu sepasang kakak beradik ini saling memeluk badan renta eyang. Usianya menjelang 78 tahun sudah. Beliau acap mengeluh sakit di lutut pabila didera kelelahan kendati perjalanan jauh masih acap beliau ikuti kadang-kadang. Sejurus berselang bapak baru saja memarkirkan mobil di halaman rumah eyang lalu bersilaturahmilah bapak bersama eyang. Pasti tak sekadar mampir ke rumah eyang setiap tiba hari lebaran. Usai beres menunaikan silaturahmi di rumah eyang, bapak telah meniti rencana bersafari ke rumah Paklik[1]Hardjo di daerah Cimahi serta rumah Bulik Darsini seperti kemarin. Lalu jika masih mengantongi sedikit kesempatan, makam eyang kakung[2]serta makam oma hendak diziarahi. Tiada terlupa bapak menawarkan eyang pula kedua bibi Rayla dari ibu untuk ikut bersafari. Namun mereka menolak ikut lantaran ingin menjamu tamu yang mungkin nanti mampir.

Mesin diesel meraung ganas di jalan menuju rumah Paklik Hardjo, paman bapak. Perjalanan hari itu tergolong cepat ditempuh pasalnya jika terlebih dahulu bersilaturahmi ke rumah Bulik Darsinilepas menziarahi makam eyang kakung, kemacetan lalu lintas adalah jaminan yang tidak terbantahkan. Rayla sanggup mengulum senyum tipis begitu menyadari omongan bapak benar. Usai menziarahi pusara sang kakek yang dipanggil menghadap Ilahi penghujung tahun 1998 silam, bapak tidak tanggung-tanggung menancap gas dari taman pemakaman ke rumah Paklik Hardjo di wilayah Cimahi, persis dekat segarnya pemandangan bentang alam di sepanjang jalan ke arah rumah Paklik Hardjo. Senandung Ariel Noah pada lagu “Kisah Cintaku” mendorong Rayla senyum-senyum sendiri bukan karena ia teringat kisah cintanya, melainkan ia merasa lagu tersebut kurang cocok diputar kala suasana lebaran masih terasa sangat kental. Padahal lagu religi rajin diputar selama Bulan Ramadhan. Ah, sudahlah tak mengapa radio memutar lagu Kisah Cintaku.

 Hangatnya sambutan terlontarkan lisan Paklik Hardjo untuk bapak di halaman rumah. “Selamat lebaran mas, Minal Aidzin. Ayo masuk.” Rayla menyalami Paklik Hardjo dan tanpa rasa sungkan memasuki rumah sederhana. Keluarga Paklik Hardjo sebagian menanti di dalam mengajak bapak mengobrol terutama seputar dunia penerbangan.

“Kemarin gimana, sudah terbang lagi?” Celetuk Paklik Hardjo. “Iya paklik, kemarin aku terbang ke Bali terus tinggal di sana lima hari. Nanti terbang lagi habis lebaran.”

vvv

 Rentetan pesan singkat membombardir ponsel bapak di tengah perjalanan pulang dari rumah Paklik Hardjo. Ponsel yang ditaruh di saku kanan celana bapak membuat pria 53 tahun tersebut kesulitan membuka sehingga demi mengetahui dari siapa rentetan pesan singkat tadi masuk, bapak terpaksa menepi di tepian jalan terlebih dahulu.

 “Nak, tolong bacakan pesan Whatsapp-nya.” Segera tangan Rayla menerima ponsel dari bapak lalu membacakan rentetan pesan singkat dalam aplikasi Whatsapp tersebut.

Lihat selengkapnya