Bandung, pertengahan Desember 2014.
Hujan lebat kini masuk pada fase agresif. Kucuran air hujan sedang kencang-kencangnya ‘menghajar’ seisi Bandung dari singkapan tudung langitnya begitu waktu melangkah maju ke pertengahan bulan Desember 2014 yang artinya Rayla sudah menapaki masa SMA selama lima bulan terhitung efektif sejak Juli kemarin. Bila ada menanyainya apakah lebih seru masa SMA atau SMP, secara gambling Rayla melempar jawaban ‘masa SMP masih tetap lebih seru ketimbang SMA’ walau apa yang ia jalani sekarang pun sejatinya tak kalah menarik juga. Alasan ia masih rindu dengan bangku SMP adalah karena persahabatannya dengan Khansa, walau hubungan persahabatannya dengan Stevie kini turut menyenangkan pula.
Seperti itulah isi pikirannya menjelang siang di kala matanya menerawang jauh keluar jendela kelas. Hujan lebat masih tetap mengguyur, belum sudi menyingkap tirainya dan pikiran Rayla tetap belum beranjak dari ingatan masa SMP-nya. Kini ia memikirkan Khansa yang telah enam bulan menjadi penduduk Belanda pula. Bulan Desember seperti ini lazimnya diisi hujan salju di Belanda sana dan Rayla tahu, pasti Khansa lagi senang-senangnya bermain salju. Berbeda dengannya yang hanya bisa senang menatap hujan. Libur akhir tahun di negeri kincir angin tersebut bakal berlangsung lama, sedangkan di sekolah Rayla di Bandung cukup dua pekan saja belum dipotong minggu pendek. Pastilah Rayla mengeluhkan kebijakan sekolahnya ini.
Tadi Pak Erlangga baru saja mengumumkan duduk perkaranya mengenai minggu pendek bagi siswa-siswi sekolahnya ini yang masih punya kekuarangan nilai rapor. Mereka wajib ‘mengorbankan’ waktu liburnya untuk memperbaiki nilai rapornya sedikit dan malangnya, Rayla termasuk dalam golongan ini. Nilai rapor pelajaran Matematika serta Bahasa Inggrisnya masih kurang dari standard minimal, sehingga ia mesti datang ke sekolah pada minggu pertama liburnya.
“Ini aneh banget. Orang sebenarnya enggak darurat alias bukan keperluan urgent, sejatinya enggak perlulah mengadakan minggu pendek macam ini. Di minggu setelah UAS atau nanti semester dua sekalian ‘kan bisa.” Keluh Rayla lewat kalimat yang acap ia ungkapkan berulang-ulang. Di hari H minggu pendek ia mendapat tugas berupa lembar kerja masing-masing pelajaran untuk dijawab di sekolah. Setelah itu guru langsung menilai dan otomatis nilai rapornya berubah, barulah ia menjalani hari liburnya.
Dan masih sama seperti libur lebaran dulu, ia tak pergi jauh-jauh. Pekan pertama libur usai minggu pendek, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Paling jauh ia menyempatkan diri mampir ke rumah kerabatnya dari keluarga besar ibu di daerah Kopo dan baru melancong saat menjelang tahun baru. Hingga sebuah berita menghebohkan publik.
vvv
Kurang sepekan menjelang pergantian tahun dari 2014 ke 2015 sebuah pesawat komersil dilaporkan hilang kontak dengan pengawas udara dalam perjalanannya dari kota Surabaya, Jawa Timur menuju ke negara tetangga Singapura. Pesawat itu disebut-sebut bertolak dari kota pahlawan pada hari Minggu pagi dan menghilang dari radar ketika masih dalam perjalanan. Sontak kabar itu langsung menyebar ke seluruh pelosok berikut proses evakuasi yang langsung dijalankan. Bahkan setelah hilang lebih dari 24 jam, sampai saat ini belum ada kabar terbaru mengenai Pesawat Air Asia QZ 8501 yang dilaporkan hilang kontak dan diduga jatuh di Perairan Selat Karimata, diantara Kepulauan Bangka Belitung dan Provinsi Kalimantan Barat.
Hari ini Rayla akan pergi berlibur ke Dusun Bambu yang terletak di Kaki Gunung Burangrang dan sepanjang perjalanan radio mobil gencar memberitakan peristiwa hilangnya Pesawat Air Asia QZ 8501. Sementara bapak sibuk membaca berbagai macam kiriman pada aplikasi whatsapp. “Iki lho, mau ono sing takon nang bapak wingi kepriben penerbangan nang Amsterdam, bapak ngomong lancar-lancar wae terus nek ono guncangan ugo mung turbulensi cilik thok[1].”
Mata bapak tak henti-hentinya memelototi isi layar telepon seluler sepanjang perjalanan ke Dusun Bambu. Grup Whatsapp berisikan para rekan sesama pilot senior terus-terusan mengirim informasi terbaru seputar nasib pesawat AirAsia QZ8501. Ada yang bertanya soal keamanan, keselamatan sekaligus keberadaan keluarga koleganya, ada juga pilot lain yang sekadar melaporkan perkembangan cuaca pada jalur penerbangannya. Hal demikian terang saja acap membuat Rayla cemas walau ayahnya kini sedang tidak bertugas menerbangkan pesawat. Peristiwa yang sedang ramai dibahas ini juga mengingatkan bapak pada salah satu pengalaman terbangnya ke Eropa puluhan tahun lalu saat dirinya masih menjalani awal-awal masa bekerja sebagai pilot. Ketika itu di penghujung Tahun 1991, bapak pernah ditugaskan untuk menerbangkan pesawat ke Jerman di saat musim dingin tengah berlangsung dan karena angin yang begitu kencang maka pesawat menjadi berguncang-guncang di udara dan saat itu juga bapak tengah berada di dalam awan tebal. “Kuwi awan cumulonimbus opo dudu, pak?[2] ” Tanya Rayla. “ Koyone..[3]. ”
Perjalanan berlanjut ke Dusun Bambu.
Baru juga belok ke jalan akses Dusun Bambu seketika Christoff langsung mampu mengenali lingkungan sekitar. Rasa-rasanya dia sudah pernah dating ke desa ini sekitar dua tahun silam pada masa SMP. Lambat laun semakin ke atas Christoff semakin familiar dan memang benar dulu ia pernah ke sini.
Ini desa tempat Ramadan Camp-ku waktu SMP dulu, yang menginap di rumah penduduk itu. Tempat aku ada di atas, persis di gang di tengah percabangan jalan itu.” Imbuhnya mengenang masa SMP. Rayla seketika saja tidak percaya desa tempat Dusun Bambu terletak pernah dikunjungi kakaknya dulu
“Terus Dusun Bambu dulunya apa mas?” Tanya Rayla sebelum masuk gerbang. “Ini dulunya masih lahan kosong. Aku pernah main game bareng teman-teman di sini terus waktu itu katanya lahan kosong ini mau jadi wahana permainan.” Christoff nampak sangat pangling dengan kondisi saat ini. Dulu kondisi jalannya masih berlubang, kini sudah diaspal dan Desa Cijanggel akan ramai. Ketika turun dirinya disambut oleh udara segar dan angin sejuk. Kemudian ia memasuki area Dusun Bambu sambil menikmati pemandangan yang juga indah. Tidak hanya Rayla, ternyata bapak dan ibu juga tak kalah senang dengan suasana Dusun Bambu.
Dusun Bambu sendiri sejatinya merupakan kombinasi antara tempat santai, makan sekaligus foto-foto. Malahan cenderung lebih banyak dipakai berfoto-foto dan tak banyak wahana permainan. Orang yang berdatanganpun lebih banyak menjadikan foto-foto sebagai kegiatannya di Dusun Bambu mencakup Rayla sendiri. Dia kini banyak mengarahkan kamera selfie ponsel ke wajahnya dan satu yang paling menarik perhatian ialah deretan bangunan cottage di pinggir telaga. Ia memotret diri dengan mengambil latar belakang itu dan lalu berpindah ke depan pohon natal di pinggir danau. Berikutnya ia meneruskan lagi ke cafe dimana bapak telah lebih dulu mampir serta memesan Tahu Sumedang. Amboi, lezat nian disantap kala udara dingin begini.
Dan tujuan berikutnya adalah restoran Kampung Daun, masih belum jauh dari Dusun Bambu juga. Restoran ini dikenal dengan konsep tradisional ala Sunda yang menawarkan aneka menu khas Sunda pula. Menariknya para pengunjung akan mengonsumsi santapan pesanannya di dalam saung. Kampung Daun pun turut menyajikan keasrian dari pepohonan maupun tanaman yang tumbuh di sekeliling saungnya. Di perjalanan ke saung Rayla banyak memperhatikan wajah pengunjung hari itu yang justru didominasi kalangan warga Tionghoa. Mereka umumnya berbicara Bahasa Indonesia meski ada juga yang berbicara Bahasa Mandarin atau Bahasa Inggris. Pemandangan demikian membuat Rayla ingat akan Stevie. Entah dia berlibur kemana.
Tetapi baru juga membicarakan Stevie dengan kakaknya, tahu-tahu sosok sahabatnya ini muncul dari arah berlawanan. Ia berjalan ditemani seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar tujuh atau delapan tahun serta seorang gadis hampir sebayanya. Rayla diam saja melihat Stevie dari kejauhan dan begitu mendekat barulah ia menyapa.
“Stevie..? Kamu liburan di sini nih?” Lalu Stevie menyahut balik, “Eh iya Rayla. Hmm.., aku liburan di sini. Habis dari sini mau meneruskan perjalanan ke Cikole, biasa nih Tiffany penasaran banget sama tempat di situ. Eh iya Tif, kamu masih ingat Rayla kan?” Stevie menyuruh Tiffany bersalaman lalu. Fauzan, adik kedua Stevie tak mau ketinggalan. Anak tambun ini malahan terbelalak lebar mengetahui ayah Rayla adalah pilot.
“Kak Rayla enggak takut nih kalau ayah harus terbang? Padahal aku saja takut mendengar berita kecelakaan pesawat.” Fauzan polos sekali mengungkapkan perasaanya.
“Takut sih, tapi bapak sekarang lagi enggak ada jadwal terbang jadi dia banyak di rumah selama liburan ini.” Tutur Rayla. Fauzan masih tak percaya ayah Rayla bekerja sebagai pilot. Ia lalu beringsut cuci tangan memakai keran wastafel dekatnya dan mengajak Stevie kembali ke saung. Tiffany membuntuti di belakang Rayla. Di depan saung langkah bapak dicegat Pak Darman, ayah Stevie. “Enggak terbang nih capt? Liburan enggak kemana-mana?” Imbuh Pak Darman.
“Enggak pak, kebetulan saya enggak jadwal terbang makanya di rumah saja dan liburan di sekitar Bandung. Ini lagi pada kumpul ya?”
“Iya capt, biasa tiap libur panjang begini. Adik saya, Omnya Stevie datang dari Bogor bawa anaknya sekaligus sepupu Stevie. Tuh anak cewek yang rambutnya dikuncir capt.”
“Sepupu dekat?”
“Betul sepupu dekat. Kalau sudah bertemu langsung lengket dan enggak mau jauh-jauh.”
Usai mengobrol ‘sepasang’ pria dewasa ini mengalihkan perhatian ke masing-masing anak serta keponakan perempuannya. Baru saja bertemu—Rayla, Stevie dan Tiffany sudah langsung akrab dekat. Bapak hanya tersenyum seperti Pak Darman. Christoff diam saja melihat adiknya akrab dengan dua anak perempuan lain sebayanya. Remaja 15 tahun ini nampak gugup.
“Mending ikut ngobrol Chris, daripada canggung.” Saran bapak kini membuat Christoff semakin gugup. Putra pertamanya ini hanya mencoba rileks sebelum mulai akrab dengan Stevie dan Tiffany. Lambat laun tak sampai lima menit ia sudah bisa akrab dan ibu mendapatkan saung yang letaknya agak di atas, tak begitu jauh dari saung keluarga besar Stevie.
Dekatnya jarak saung makan mereka cukup mempersering intensitas interaksi. Sambil menunggu pesanan saja Rayla banyak mengobrol dengan Stevie dan Tiffany di dekatnya tentang aneka topik seperti sekolahan maupun isu-isu terkini. Insiden Pesawat QZ 8501 turut mereka bahas bersama dan Christoff yang sudah akrab mendominasi pembicaraan, mungkin sebagai anak laki-laki juga karena pernah meniti impian jadi pilot mengikuti jejak ayahnya sehingga pengetahuannya seputar dunia penerbangan terasa lebih mumpuni ketimbang Rayla. Diam-diam di tengah obrolan, Tiffany mulai banyak melirik Christoff. Barangkali dia menilai Christoff itu cakep dan menarik untuk diajak jadian. Pengetahuannya yang luas apalagi. Layak menjadi nilai tambah dalam kriteria ‘pasangan idaman.’