“Rayla... Ayah kamu gimana? Aman-aman saja?”
“Yaps, Alhamdulillah bapak aman-aman saja kok. Malahan hari ini dia sudah terbang lagi ke Jepang. Tadi pagi baru berangkat dari rumah.”
“Wah syukurlah ayah kamu selamat. Dia kerja di Garuda Indonesia ya? Aku pikir di AirAsia, takut waktu kejadian QZ8501 kemarin ayah kamu kenapa-kenapa.”
Rayla teringat lagi percakapan teman-temannya pada hari pertama masuk kemarin. Baru saja sampai di sekolah pagi hari, sekitar tujuh orang teman seangkatannya datang menghampiri dan langsung menanyai kabar bapak. Kebanyakan dari mereka tahu ayah Rayla merupakan seorang pilot, hanya saja mereka tak tahu bapak bekerja di maskapai apa sehingga wajar saja bila mereka langsung memberondong Rayla dengan pertanyaan terkait nasib ayahnya sendiri. Tahu bapak meniti profesi di Garuda Indonesia—bukan AirAsia, ketujuh remaja tersebut lantas menarik nafas lega. Mereka bisa tenang mengetahui nasib Rayla dan keluarganya baik-baik saja di samping insiden pesawat QZ8501 tempo hari.
Pelajaran PKn di minggu pertama semester dua ini hanya Pak Adrian pakai untuk membahas sejumlah isu-isu terkini mencakup insiden jatuhnya pesawat QZ8501. Mulanya ia terlebih dahulu menanyai jumlah terkini akan korban yang telah berhasil dievakuasi Basarnas.
“... Total korban yang ditemukan ada berapa?” Ujar Pak Adrian dan kemudian dijawab oleh Rayla, “Yang ketemu ada 44 terus yang sudah teridentifikasi ada 34.” Entah bercanda atau serius Pak Erlangga melontarkan sebuah celetukan “Tanya Rayla saja.” Seisi kelas tertawa kecil melihat luasnya pengetahuan Rayla tentang perkembangan terkini insiden pesawat QZ8501. Latar belakangnya yang terlahir sebagai anak seorang pilot komersil boleh jadi mendorongnya agar selalu peka terhadap informasi seputar dunia penerbangan.
“Oke, bagus ya Rayla. Setiap saat kamu selalu mengikuti perkembangan beritanya dan kalau bapak boleh tahu, kayaknya kamu sering mengobrol sama ayah tentang ini. Oh iya, ayah gimana Ray? Sudah terbang lagi? Terus kira-kira apa yang kamu rasakan sebagai anak pilot terlebih lagi di saat ada kasus seperti ini?” Pak Adrian sekarang tertarik mengulik korelasi antara pengetahuan dan perasaan Rayla mengenai dunia penerbangan.
“Ya pak, aku suka mengobrol sama bapak kalau lagi enggak terbang, contohnya sepanjang liburan kemarin. Hari ini bapak sudah terbang lagi Jepang, tadi pagi berangkat dari rumah.” Imbuh Rayla jujur. Ia mendeham sebelum melanjutkan lagi ucapannya.
“Terus waktu lagi ada insiden pesawat jatuh macam ini dan bapak tetap harus terbang, sebenarnya takut, khawatir. Cuman aku sih sekarang sadar, itu aslinya risiko pekerjaan yang bisa terjadi kapan saja. Kalau boleh jujur waktu masih kecil malah lebih takut dari ini pak. Tapi sekarang cukup mengerti dan banyak mendoakan keselamatan bapak
Sekarang Pak Adrian kembali merebut ‘panggung.’ Cerita mengenai kasus AirAsia masih mendominasi dengan begitu gamblang. Singkat cerita, Pak Adrian mengisahkan awal mula berdirinya maskapai penerbangan berbiaya murah tersebut di kala sang CEO[1]terinspirasi maskapai ‘Virgin Blue’ asal Inggris yang sudah lebih dulu sukses menjalankan bisnis maskapai berbiaya murah. Mengutip slogan ‘Now Everyone Can Fly’ khas AirAsia, sang CEO ingin agar semua orang bisa menjangkau tiket pesawat dengan harga yang cukup murah sehingga dibuatlah maskapai AirAsia. Selama bertahun-tahun AirAsia berhasil mendulang kesuksesan hingga puncaknya terjadi saat insiden QZ8501 kemarin. Nah di kasus ini jadi terbuka masalahnya dan bapak cukup kaget karena selama ini maskapai itu selalu dikenal bereputasi baik. Berarti meskipun sudah sukses, tetap masih ada kekurangan yang pernah dibenahi.
“Jangan pernah sombong setelah mencapai kesuksesan, karena jika begitu kita rugi sendiri.” Ujar Pak Adrian mengakhiri cerita kelam pesawat AirAsia QZ8501. Rayla merekam baik-baik cerita kepala sekolahnya tadi. Baginya dari lubuk hati terdalam, meskipun seram dan menyedihkan, kasus pesawat jatuh tidak jarang sekali menarik dibahas saat sedang ramai-ramainya.
vvv
Hari Kamis tiba, pikiran Rayla semakin gelisah karena masih saja memikirkan waktu libur yang terasa sangat singkat dan terkadang ia iri dengan sekolah lain yang baru masuk hari Senin tanggal 12 Januari. Karena pikirannya semakin terbelenggu maka ia menulis surat malamnya.
“Hi Stevie... Apa kabar, gimana liburan kamu, menyenangkan enggak? Kemana saja?” “
“Stev, sebelumnya maaf ya aku harus merepotkan kamu lewat surat ini. Aku sengaja menulis surat ini demi curhat ke kamu, habisnya sejak kemarin-kemarin aku selalu suntuk memikirkan waktu libur yang sebentar banget karena dipakai minggu pendek. Menurutku itu jelas aneh banget, orang masalah nilai ‘kan bisa diselesaikan kapan saja. Bisa sebelum bagi rapor atau nanti setelah masuk dan lagipula ini bukan masalah darurat. Kalau itu darurat dan butuh penanganan segera, baru harus langsung ditangani. Tuh lihat sekolah lain saja liburnya masih lama. Masa kita enggak? Aneh banget kan..? Dan ini yang bikin aku suntuk banget apalagi kemarin aku masih harus mengurus nilai Bahasa Inggris & Matematika. Keduanya susah, masih lebih gampang Bahasa Jerman.” “Nanti kalau sudah masuk lagi aku ingin usul ke Pak Adrian deh, lain kali sebaiknya jangan dibuat kebijakan macam ini lagi karena ini benar-benar mengganggu waktu libur lagian bukan hal darurat juga. Ini harus dievaluasi lagi ke depannya.”
“Makanya sampai saat ini diriku masih belum bisa tenang karena apa yang aku rasakan masih terngiang-ngiang didalam pikiranku. Namun aku tetap harus bersyukur sebab aku masih mempunyai waktu libur dan disisi lain aku juga harus tetap ingat, yang menurut kita baik itu sesungguhnya belum tentu bai dan yang menurut kita buruk itu sesungguhnya belum tentu buruk...”
Hari Jumat pagi disekolah, secara diam-diam Rayla menaruh surat yang berisi ungkapan perasaannya tersebut diatas meja Stevie. Dalam hati ia berharap semoga Stevie meluangkan waktunya untuk membaca surat itu dan saat ini ia juga bersemangat sebab pelajaran pertama adalah Bahasa Jerman.
“Untuk hari ini, Herr Warsono tidak bisa masuk karena ada keperluan jadi beliau memberikan tugas untuk kalian. Tugasnya, silahkan cari kata-kata benda dan sifat artikel atau kata sandangnya dalam Bahasa Jerman.” Seperti biasa setiap jam pelajaran vocational tiba maka anak IPS dan anak IPA akan berada didalam satu kelas. Kemudian Rayla segera menuliskan satu per satu kata-kata benda dalam Bahasa Jerman di buku tulisnya.
Dengan bantuan internet ia menemukan sejumlah kata seperti Heiß[2], Kalt[3], Süß[4], Fenster [5], Gerald[6], Bett[7], dsb. Saat Rayla sedang membantu Dessna guna mencari terjemahan kata-kata benda dan sifat, Natalie yang kebetulan mengambil pelajaran Bahasa Jepang masuk ke kelas dan menanyakan arti dari salah satu kaca juga cara membacanya.
“Kayaknya semester ini kita belajar der-die-das[8] deh...” Ujar Stevie tepat disebelah kanan Rayla. “Iya, waktu semester satu kan Herr Warsono pernah bilang itu terus siap-siap bingung...” Jawab Rayla yang kemudian melanjutkan lagi ucapannya,