Rayla

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #28

Titik di Ufuk Barat

Janji menyambangi rumah Kapten Harsono tertunai juga dalam jeda waktu tiga hari selepas lebaran usai berendam di daerah Lembang. Jarak tempuh dari rumah Rayla di kawasan Dago menuju kolam rendam Gratia seyogyanya dekat, tetapi kemacetan lalu-lintas di perjalanan pulang sore harinya mengantongi andil besar dalam urusan memperpanjang waktu tempuh. Rayla merasakan suatu pengalaman baru yang kedua kalinya sebab hamprir satu tahun lalu, ia pernah mengunjugi kolam rendam tersebut. Atau yang lebih terdahulu lagi, di kawasan Ciater, Subang Jawa Barat. Lelah bermacet-macetan ria di sepanjang Jalan Raya Lembang membekap relung tubuh Rayla sejak semalam. Maka, keesokan harinya sampai hari ini dirinya hanya mengistirahatkan badan di rumah saat bapak sibuk berkomunikasi dengan Kapten Harsono secara terus-menerus.

“Gimana, Kapten Harsono sudah pulang belum?” Rayla iseng bertanya kepada bapak.

“Berangkat langsung dari Singapura pagi ini terus naik mobil jemputan maskapai ke Bandung. Paling sudah sampai di Kota Baru nanti sore.” Bapak menjawab tenang.

           Ia menghela nafas sejenak lalu,

“Nanti sore bapak mau mampir ke rumah Kapten Harsono. Mau ikut enggak?”

“Ikut pak.” Tidak ada pilihan selain mengiyakan ajakan bapak bagi Rayla. Christoff dan ibu pun demikian. Mereka sama sekali tak sanggup menolak ajakan bapak.

“Oke, nanti kita berangkat jam setengah tiga. Shalat Ashar di tengah perjalanan saja. Hmm, jangan lupa bawa oleh-oleh dari Lembang kemarin buat Kapten Harsono.” Rayla menganggukkan kepala mendengar bapak bicara tadi.

“Pak, bawa buah saja?”

“Bawa buah saja, iya. Siapa tahu Kapten Harsono senang dikasih buah apalagi Alpukat.”

           Mata Christoff terbelalak lebar begitu pemuda 16 tahun ini mendapati sebuah mobil yang mematut stiker nama maskapai Garuda Indonesia keluar dari gerbang tol Padalarang Barat.

“Kayaknya Kapten Harsono naik mobil Garuda. Coba susul.” Bapak yang sejak tadi menatap keramaian warung dekat gerbang tol sekejap mengalihkan pandangannya pada laju mobil operasional penjemput awak pesawat. Lalu kakinya menekan pedal gas menyusul laju kendaraan tunggangan Kapten Harsono.

“Aku nang mburi mobil Garuda.[1]Intonasi bapak penuh semangat kala bicara dengan Kapten Harsono melalui ponsel.

“Monggo mbuntuti wae tekan omah[2].” Jadilah mobil Rayla terus melaju membuntuti Kapten Harsono di sepanjang jalan akses Kota Baru Parahyangan. Lahan kosong terhampar sekian luas hanya ditanami ilalang-ilalang tinggi yang bergoyang tertiup angin. Menyegarkan penglihatan bagi Rayla ditambah dengan bunyi kecipak-kecipuk riak air yang sesekali memecah suasana ibarat mengiringi lelambaian nyiur angin senja.

Mobil terus melaju sampai pemandangan berganti menjadi ruko, area perumahan dan jembatan melengkung sebagai simbol populer Kota Baru Parahyangan.

“Terus ikuti, nanti belok di cluster yang dekat ruko belakang.” Perintah Kapten Harsono masih melalui telepon seluler. Laju mobil melambat sedikit demi sedikit, hingar bingar jalan raya kian tak terdengar daun telinga karena sudah digantikan nuansa perumahan. Untuk dapat memasuki kompleks perumahan, wajib hukumnya melalui pemeriksaan keamanan persis saat memasuki hotel atau tempat-tempat penting lainnya.

“Ya boleh masuk pak.” Perintah petugas keamanan ramah.

Kapten Harsono lebih dulu keluar dari mobil bersamaan dengan bapak. Dua buah koper hitam legam dijinjingnya menapaki halaman rumah bersama satu stel jas pilot. Mobil pengantar Kapten Harsono pun berlalu setiba di ruang tamu.

“Minal aidzin kapten, selamat lebaran mohon maaf lahir-bathin.” Tutur Rayla mendahului bapak.

“Iya, minal aidizn juga, selamat lebaran ya.” Balas Kapten Harsono santun. Singkat berselang, seorang wanita paruh baya keluar dari rumah. Jelas siapa lagi kalau bukan Bu Endang, istri Kapten Harsono. Alangkah sumringahnya Bu Endang kala melihat bapak datang bersamaan dengan Kapten Harsono. Bapak yang tengah asyik bercengkrama jua tak segan-segan menyalami Bu Endang seiring ia mempersilakan masuk.

vvv

Kentalnya nuansa Jawa di setiap sudut rumah menambahkan kehangatan tersendiri bagi Rayla. Dalam lubuk hatinya, ia pun turut mengapresiasi upaya Kapten Harsono mengombinasikan perpaduan gaya arsitektur modern dengan nilai kebudayaan tradisional. Bu Endang menyuguhi enam toples kue lebaran ditambah selusin gelas air mineral. “Masih standard, kue lebaran selalu jadi suguhan utama.” Seloroh Kapten Harsono tertawa kecil. Rayla atau bapak tak keberatan.

Tidak lupa Kapten Harsono membagikan cerita seputar perjalanannya ke Singapura kemarin.

Lihat selengkapnya