Kurang dari sepekan lagi masa libur lebaran akan berakhir segera. Berbutir-butir sabda tentang perihal apa yang wajib ditunaikan sesaat menjelang kembali mengisi aktivitas di sekolah mulai bertebaran luas di grup kelas, salah satunya adalah mengenai kegiatan di hari pertama. Berdasarkan penjelasan Bu Irvina, pada hari pertama sekolah kegiatan belajar-mengajar belum akan langsung dimulai pasalnya hendak ada acara “First day at school.” Lantas macam apa acara itu?
“Acaranya bakal diisi banyak game terus kalian bakal menghias display di setiap sudut sekolah berkelompok. Sama, kalian jangan lupa bawa oleh-oleh lebaran kemarin mau kalian mudik atau enggak. Yang penting bawa saja makanan yang ada, yang kalian punya.” Beginilah bunyi sabda epilog gubahan Bu Irvina. Kelakar kawan-kawan Rayla bertebaran memenuhi grup kelas. Hampir sebagian terlihat kelabakan tentang sisa oleh-oleh libur lebaran.
Rayla sendiri tak ambil pusing dalam urusan ini. Di bentangan meja makan masih tersisa sebungkus kacang koro serta kacang Bawang. Kacang-kacangan semua menurut bahasa sederhananya. Bapak dan ibu turut menanyakan sabda agar memboyong bungkusan makanan ke sekolah. “Bawa saja kacang yang belum dibuka ke sekolah. Paling nanti juga dimakan bareng-bareng.” Ujar bapak pada pekan terakhir liburnya jua karena saat Rayla masuk sekolah lagi, beliau sudah akan pergi menerbangkan pesawat ke Shanghai, Tiongkok.
Persis sehari jelang masuk sekolah, pagi-pagi sekali Rayla telah beranjak meninggalkan rumah demi mengantar ibunya ke kampus. Di awal-awal perjalanan, sorot kelopak matanya mendapati belasan sampai puluhan anak remaja seusia dirinya baru saja berangkat sekolah dalam rangka memenuhi kewajiban mereka ikut masa perkenalan. Mereka pergi ke sekolah barunya dengan menggenggam sebilah sapu atau alat mengepel seraya pakaiannya dihias ornamen seperti name tag, topi yang terbuat dari potongan bola plastik, serta beberapa ornamen lain sesuai syarat.
Hal demikian amat miris di pelupuk mata bapak dan ibu. “Kalau begini, bapak merasa lebih baik enggak sekalian bu. Coba lihat anak-anak ini, mereka harus pakai banyak atribut enggak jelas terus kalau sudah masuk masa perkenalan, pasti dibentaki senior enggak jelas.” Bapak mengutarakan kemirisannya sendiri. “Iya pak sama, ibu juga begitu. Mending enggak daripada anak-anak sampai jadi korban dari acara yang enggak jelas.” Tambah ibu seraya ia menambahkan ucapannya dengan mengutip berita tentang penghentian acara masa perkenalan siswa baru pada sejumlah sekolah di luar kota yang dinilai tidak efektif dan hanya berpotensi merenggut korban.
“Rayla mumpung besok sudah sekolah lagi, hari ini boleh buka buku pelajaran sama catatan lagi barangkali besok atau lusa ada tes try-out lagi kayak kemarin.” Ibu menyarankan anak gadisnya agar sesekali membuka buku catatan pelajaran dan Rayla hanya terdiam tak memberi jawaban apa-apa pada ibunya. Lalu seusai menepi di halaman Fakultas Ilmu Sosial-Politik Universitas Katolik Parahyangan, gadis itu mendapati suasana yang masih sepi. Mahasiswa dan dosen baru ada segelintir dibuktikan dengan masih lengangnya lapangan parkir. Selain jadi Arsitek, waktu masih duduk di bangku Kelas 6 SD sampai SMP, Rayla begitu mengimpikan kuliah di jurusan Hubungan Internasional Unpar lantaran ia tertarik menggeluti profesi diplomat.
Dan sesuai saran ibunya, apabila tertarik menjadi seorang diplomat ulung maka fardhu’ain[1] hukumnya mendalami ilmu dalam perkuliahan di HI Unpar. Empat tahun lamanya ia mengimpikan masuk jurusan Hubungan Internasional sampai pelajaran Bahasa Jerman sanggup mengalihkan navigasi minatnya setahun lalu. Saat ini Rayla berambisi mengincar kursi di jurusan Pendidikan Bahasa Jerman UPI sesuai cita-citanya menjadi Guru Bahasa Jerman.
“Rayla masih mau masuk Unpar enggak?” Tanya ibu.
“Kayaknya bu.” Jawab Rayla singkat kala tangan kirinya berusaha merapikan rambut.
“Nak, kalau ingin jadi guru enggak harus kuliah di UPI juga. Bisa saja di Unpar atau kampus-kampus lain. Toh enggak semua guru di sekolahmu dari UPI kan?” Bapak ikut nimbrung di tengah percakapan Rayla dan ibu.
Mungkin ucapan bapak benar. Guru tidak harus menimba ilmu di UPI, bisa saja di jurusan non-pendidikan di luar UPI sekalipun. Guru-guru di sekolahnya turut demikian. Pertanda setiap calon pengajar mengantongi kebebasan memilih jurusan di perguruan tinggi. Pun jika Rayla tetap ingin menjadi seorang guru, ia bisa menempuh jalur perkuliahan di Unpar. Ia melamun di bawah belaian langit fajar. Lamunannya seketika buyar begitu tiga larik pesan merangsek masuk ke telepon seluler. Masih dari Bu Irvina tentang tambahan informasi untuk besok.
Terbubuh tiga perkara yang mesti Rayla tunaikan esok hari, diantaranya:
- Masuk sekolah mulai pukul 07.30 WIB sampai pulang pukul 15.00 WIB,
- Berpakaian batik dengan bawahan yang sopan,
- Membawa kakaren[2].
Disusul sebiji bonus informasi dari Bu Irvina: “Kegiatannya belum belajar sama sekali, hendak diadakan acara firstday at school seperti yang sudah ibu bilang tadi. Sampai ketemu besok.J ”
Rayla tersenyum membaca tiga pesan singkat dari guru kelasnya. Usai mahasiswa dan dosen berdatangan, ibu pamit kepadanya sebelum kembali pulang ke rumah agar dapat mempersiapkan diri mengawali masa sekolah esok hari. Malas bagai terdengar paling keras walau kerinduannya pada Stevie hendak terobati besok.
vvv
Cericit burung menemani ayunan langkah Rayla dari rumah ke sekolah pagi hari itu. Mereka mencericitnya dari balik rerimbunan pohon di sepanjang sisi jalan menuju sekolah. Cerahnya sinar mentari turut menyumbang andil besar pagi itu seakan ini hari yang indah di awal masa sekolah. Dan Rayla bergegas menyalami barisan para guru tak teramat jauh dari pintu gerbang. Wajah mereka sumringah bak diliputi bahagia dapat menjumpai anak didiknya sendiri.
Di kelas, segelintir dara dan jaka telah berkumpul sambil berbagi cerita liburan masing-masing. Alangkah girangnya Rayla begitu sosok Stevie muncul tepat di hadapannya. Pasti kacamatanya jelas menjamah raut wajah Rayla sambil ia melompat kegirangan jua. Mereka saling berpelukan ibarat sudah puluhan tahun berpisah jauh.
“Aku kangen banget sama kamu Ray. Setiap hari pasti baca facebook atau Whatsapp terus semuanya kosong.” Tutur Stevie malu-malu. Rayla tidak menyangka bila Stevie akan serindu itu.
“Kakaren kamu apa Stev?” Ia mencoba mengalihkan pembicaraannya tadi.
“Ehmmm, hari ini aku bawa roti unyil khas Bogor, oleh-oleh dari Tiffany.” Jawab Stevie. Lalu mereka berdua menaruhnya pada sepetak meja di aula sekolah.
Mereka bergilir menjelaskan deskripsi makanan masing-masing. Namun setiap siswa yang diberi kesempatan maju bakal didampingi orang lain. Dan makanan yang dibawa jenisnya beraneka ragam. Ada yang membawa Kue Brem khas Jawa Timur, Lanting, Bakpia, Bika Ambon dan lain-lain. Lalu usai segelintir siswa laki-laki presentasi di depan, saat ini tiba giliran Rayla.
“Ini punya... Rayla. Dimana? Bisa maju?” Pak Ja’far mencari-cari Rayla begitu tahu siapa pemilik setoples kacang di tangan seorang siswa laki-laki Kelas 10. Lepas mengacungkan tangannya ia bergegas maju demi mejelaskan makanannya.
“Cek-cek siji-loro-telu...[3]” Dalam Bahasa Jawa dia menguji kemampuan mikrofon terlebih dahulu. “Ini namanya kacang Bawang, aku beli di toko dekat rumah. Terus terang sebenarnya memang bukan oleh-oleh mudik.” Begitu penggalan kalimat pertamanya.
“Terus?” Pak Ja’far menyeloroh. Namun adik kelas laki-laki di sebelahnya justru bertanya.
“Harganya berapa? Masih ingat kak?” “Regone... Nyuwun sewu aku wis lali maning iki piro.[4]”