Agaknya penghujung Oktober 2015 bukan akhir bulan yang bersahabat bagi Rayla karena di waktu tersebut sekolahnya akan mengadakan kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK) teruntuk keseluruhan siswa Kelas 10 dan sebagian siswa Kelas 11 yang tahun lalu belum sempat mengikuti LDK. Rayla sejatinya mengikuti LDK tahun ini sebagai peserta. Namun sejak pertama kali sosialisasi dirinya telah mempertunjukkan rasa trauma terhadap perlakuan panitia tahun lalu dan ia tetap mempertontonkan trauma walau sudah dibujuk untuk ikut lagi dengan catatan boleh protes saat merasa tak nyaman. Dia pernah sampai memprotes panitia dan mengancam takkan ikut jika masih sama dengan tahun kemarin, terlebih lagi saat ia melihat Jacqueline menangis karena trauma ‘digembleng’ seniornya. Rayla lalu bicara terus terang pada Pak Ja’far serta Pak Adrian, memperpanjang masalah yang sempat mempengaruhi hubungannya dengan anak lain.
Sempat ada konflik antara dia dengan kawan dan guru-gurunya. Menurut dia LDK sama saja dengan budaya senioritas yang sejatinya tak nampak di sekolah dan itu terkesan seperti menipu adik-adik kelasnya yang disambut baik pada awal tahun ajaran. Malahan tak tanggung-tanggung, seorang temannya menuduh Rayla ‘tidak mau berusaha’, membuatnya naik pitam.
“Kalau masih mau seperti ini, aku siap memviralkan lewat media sosial atau koran. Biar Presiden Jokowi dan Mendikbud tahu. Siap-siap mereka mengambil tindakan tegas ke kita. Di atas langit masih ada langit.” Amarah tak terbendung mendorong Rayla memanfaatkan ‘kekuatan politik’-nya untuk mengancam sekolahnya sendiri. Anak lain mempertontonkan reaksi beragam. Sebagian semakin murka dengan Rayla, namun sebagian lagi tunduk mendengar Rayla ingin bicara dengan Presiden dan Menteri Pendidikan.
Hingga keajaiban menghampiri Rayla. Pak Ja’far secara terbuka memberi tahu Rayla bilamana dirinya dapat hadir sebagai panitia LDK bidang dokumentasi. Sejenak Rayla dapat menghembuskan nafas lega mendengar kabar gembira dari Pak Ja’far tersebut. Dan oleh karenanya selama proses sosialisasi LDK, Rayla mengambil bagian dengan mendokumentasikan kegiatan secara utuh. Hari ini, tibalah hari pertama pelaksanaan LDK di sekolah sebelum ke Gunung Kareumbi, Cicalengka. Lalu yang paling penting, LDK tahun ini tak lagi mengadopsi konsep terdahulu. Perundingan antara Pak Ja’far, Pak Adrian dan Bu Wina dengan panitia menyepakati unsur senioritas dihapus. Guru akan lebih banyak mengambil peran menyusul evaluasi dari tahun kemarin. “Bapak akan ikut kalau perlu.” Tutur Pak Adrian tempo hari.
“Aku rasa lebih baik diambil-alih guru. Tahun lalu, kadang panitia sering baik ke teman seangkatannya yang jadi peserta. Kalau salah mereka enggak kenapa-kenapa. Sementara kita, langsung dicabik-cabik.” Imbuh Matthew. Diandra dan Natalie yang sempat bersitegang dengan Rayla terkait masalah ini akhirnya luluh jua. Keduanya hanya bisa mengangguk setuju tatkala Pak Adrian berencana membubarkan kegiatan seumpama terjadi pelanggaran kesepakatan.
Kegiatan secara resmi baru diawali pukul 15.00 WIB tatkala siswa-siswi kelas 10 tiba di sekolah sesuai dengan instruksi panitia kemarin. Mereka diminta berkumpul di aula untuk didata panitia sambil mengumpulkan telepon seluler masing-masing.
“Eh, Rayla mau memotret di dalam enggak?” Tawar Nico di pintu aula.
“Boleh juga, Nic.” Kemudian Rayla berjalan mengelilingi setiap sudut aula, menjepret gerak-gerik seluruh adik kelasnya yang sedang berkumpul atau menghadap tiga orang panitia. Salah satunya ada Jacqueline yang melempar senyum pada Rayla.
“Kak Rayla!!!” Pekiknya dalam bisik tatkala Rayla menjepret Jacqueline.
Canda dan tawa pecah di sudut lapangan sekolah tepat saat lapangan diterpa kilau cahaya senja. Kini anak-anak kelas 10 tengah melakoni permainan tupai meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya sambil dibimbing oleh Pak Ja’far. Ini tampak seperti awal yang ceria bagi para peserta LDK sebelum isi lain acara yang entah akan seperti apa. Seperti biasanya pula, jepretan kamera Rayla berkilauan memantulkan cahaya lampunya dari setiap sudut bersamaan dengan jepretan kamera Stevie, Radit dan Tama. Bahkan terkadang Stevie mengakak sendiri menertawakan ulahnya sendiri yang terekam lensa kamera.
Berikutnya panitia membimbing kegiatan PBB atau pelajaran baris-berbaris di sepetak lapangan luas tak jauh dari gedung sekolah. Sedikit berbeda dari tahun kemarin, PBB kali ini tidak menjatuhkan sanksi bagi siapapun yang salah. Malahan gerakan PBB turut diikuti senam olahraga. Yang tidak kuat boleh beristirahat, jangan memaksakan diri. Panitia pun sudah berjanji tidak akan bersikap keras pada peserta, dan ini terjadi berkat peran besar Rayla mengubah tradisi LDK beberapa minggu silam. Tak lupa kamera tim dokumentasi menjepret setiap kegiatan di lapangan.
Masih di lapangan, Rayla bersungut-sungut mendekati Pak Asep yang dikelilingi segelintir tim panitia dan dua orang anak laki-laki kelas 10. Mereka berdua, Baron dan Cliff tidak dapat melanjutkan karena sesak nafas serta rasa nyeri di lutut kanan sehingga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, mereka harus beristirahat di pinggir lapangan.
“Kamu punya penyakit asma?” Rayla iseng menanyai Baron.
“Enggak ada kak, lutut aku cuma pegal-pegal.” Jawab Baron sambil merintih kesakitan. Lalu sambil dibantu uluran ruas tangan Stevie, Rayla memberi sebotol air minum pada Cliff.
“Ini minum dulu yang banyak. Kalau kamu memang benar-benar enggak kuat, enggak usah dipaksakan ikut PBB biar tetap sehat sampai hari Jumat.” Stevie dan Rayla berlagak persis seperti seorang dokter dan perawat profesional.
“Pak Asep, kalau ospek perkuliahan biasanya banyak kekerasan fisik enggak?” Rayla sudah memendam penasaran tentang ospek dan sore ini ia menanyakannya pada Pak Asep.
“Tergantung kampus juga sih Ray, biasanya masih banyak yang pakai hukuman fisik juga. Dulu waktu bapak masuk kuliah dapat perlakuan gitu juga.” Terang Pak Asep sekaligus menambahkan kegelisahan Rayla. “Wah kalau buat aku sih mending enggak usah ikut ospek kalau begitu...” Sergah Rayla bagai orang yang berpasrah. Lalu Tama menimpali, “Rayla, seandainya enggak ikut ospek bisa-bisa kamu jadi enggak masuk kuliah...” Entah apa jawaban Rayla.
Sesi PBB berakhir, setiap murid kelas 10 berduyun-duyun kembali ke sekolah untuk berikutnya memasak makan malam, bermain games lagi lalu tidur.
vvv
Belum lagi adzan Subuh bergema, panitia LDK mencakup Rayla sudah grusak-grusuk mempersiapkan dirinya menempuh perjalanan ke Gunung Kareumbi dengan kereta api. Rayla mengisi jeda waktu sebelum berangkat sambil membersihkan diri di kamar mandi sekolah dan kembali mengemasi barang-barang yang ditaruh di kelas. Telepon seluler dan alat power bank ia sekap dalam saku celananya tatkala jam tangan dipasang di pergelangan kanan. Akan tetapi sebelum beranjak meninggalkan sekolah menuju stasiun, Rayla turut menunaikan Shalat Subuh berjamaah di musholla bersama panitia muslim lainnya. Kemudian begitu selesai shalat, dimulailah perjalanan berangkat ke stasiun kereta api.
Tim panitia menggelagak heboh sendiri sepanjang perjalanan dari sekolah ke stasiun. Mobil Elf kelabu berpacu dalam kecepatan tinggi mengejar waktu keberangkatan kereta panitia yang dijadwalkan pergi pukul 04.30 WIB. Tetapi sayang seribu sayang, supir salah membelokkan mobil ke pintu lain stasiun dan sebagai konsekuensinya, panitia harus terlambat berangkat ke Cicalengka. Tidak ada kereta lagi yang berangkat setelah pukul 04.30 WIB. “Kita naik kereta yang jam enam.” Ujar Bu Lasya yang tak lain tak bukan ialah guru biologi dan begitu tahu harus menunggu selama satu jam lebih di peron stasiun, Rayla membidik lensa kameranya ke beberapa sudut stasiun kereta. Semuanya mencakup lokomotif tanpa gerbong yang melintas dengan lampu hidup, Rayla potret dengan apik. Ia mengangguk puas dengan hasil jepretan kameranya sendiri.
Kemudian menjelang matahari timbul dari peraduannya, Rayla turut membidik momen indah tersebut dengan kamera DSLR hitamnya sambil serangkaian kereta api memulai awal perjalanannya mengangkut penumpang ke lain stasiun bagai baru bangun tidur. Lampu stasiun masih menyala sehingga suasana dalam foto terlihat sangat indah memukau kelopak mata. Rayla sangat menyukai suasana beberapa foto tersebut. Sejenak berselang menjelang pukul enam pagi, satu per satu kelompok LDK mulai berdatangan ke stasiun kereta. Mereka duduk di kursi area tunggu sambil diajari kakak-kakak kelasnya membuat yel-yel kelompok.
Ada pun mereka mencoba saling mengenal kakak kelasnya saat dibagikan tiket kereta api.
“Rayla, ini tiketnya jangan sampai hilang.” Perintah Jennifer di buai sinar matahari pagi yang mengundang lagi jepretan kamera Rayla dan Stevie.
“Jarang banget bisa dapat momen kayak gini. Kayaknya sih aku beruntung juga kebagian jadi panitia tim dokumentasi LDK.” Seloroh Stevie tersenyum di depan Rayla sampai perintah naik ke peron bagi seluruh penumpang kereta tujuan Cicalengka bergema melalui corong pengeras suara. Terlihat ramai rombongan panitia dan peserta LDK pagi hari itu.
“Neng, badé kamana?[1]” Delon menceletuk dalam Bahasa Sunda kental melihat Rayla berdiri di peron.
“Badé ka Gunung Kareumbi kang, ayeuna langsung naék karéta ka Cicalengka. Ari akang rék kamana?[2]”Rayla membalas celetukan Delon.