Rayla

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #37

Kampus Unpad dan Farm House

Mobil Kia Pregio berwarna cokelat metalik berderum penuh semangat di sepanjang tanjakan Jalan Dago Bandung. Hiruk-pikuk lalu lintasnya menemani perjalanan Rayla dari rumah menuju ke suatu tempat di Jalan Dago atas, yakni Kampus Universitas Padjajaran. Perlu diketahui, satu bulan belakangan ini ibunya sedang menjalankan tawaranmengajari mata kuliah pasca-sarjana di Kamus Unpad Bukit Dago sebagai dosen luar biasa. Tujuan Rayla mendatangi Kampus Unpad Bukit Dago adalah menemani ibu mengambil sebagian berkas ujian mahasiswa.

“Kamu nanti boleh jalan-jalan ke Gedung Taman Budaya sambil menunggu ibu. Hitung-hitung biar tahu gedung Taman Budaya.” Imbuh ibu melalui pesan singkat Whatsapp.

Usai parkir mobil di kampus Unpad, Rayla langsung meniti langkah ke gedung Taman Budaya diikuti bapak dan Christoff.

“Pak, tadi mendarat jam berapa di Bandara Soekarno-Hatta?” Rayla menanyakan sesuatu.

“Tadi jam enam. Terus bapak langsung diantar mobil operasional maskapai ke Bandung. Alhamdulillah lalu-lintas lancar.” Ujarnya menyadari bapak masih mengenakan baju dinas pilot, hanya dasinya sudah ditanggalkan dan tidak tampak kelelahan berarti di wajahnya. Perjalanan ke gedung Taman Budaya lalu dilanjutkan lagi.

Tiba di gedung Taman Budaya, Rayla mendapati suasana yang sangat sepi. Tidak ada orang selain dirinya sendiri, bapak, Christoff serta hilir-mudik petugas kebersihan di situ. Tirai panggung menganga lebar dan barisan kursi penonton dibiarkan kosong teronggok. Semilir angin bukit Dago bersepoi-sepoi meniupkan rambut panjangnya.

“Kosong pak, enggak ada apa-apa.” Tutur Christoff.

“Oh ya iya, kalau lagi enggak ada acara gini ya jelas sepi..” Bapak menelurkan sedikit jawaban sebelum pergi meninggalkan area Taman Budaya, kembali lagi ke lapangan parkir.

“Ti mana, néng?[1]Seorang juru parkir datang memakai jaket cokelat menanyai Rayla yang sedang mengecek telepon selulernya.

“Abdi ti Bandung kénéh pak. Tadi némbé nepi ti Taman Budaya, ayeuna hayang balik deui ka Kampus Unpad ngajemput indung anu nuju ngajar diditu[2]Rayla memalingkan wajahnya kepada juru parkir tersebut. Lalu dia lantas mengajak Rayla berbincang-bincang sampai terdengar bapak. Beliau selanjutnya menanyakan letak Tebing Keraton, setitik objek wisata yang sedang menjadi buah bibir karena keindahan pemandangannya.

“Ari Tebing Keraton mah kudu ka luhur deui pak, teras kaditu kudu nganggo ojék[3]” Pria tersebut ternyata dapat menjelma jadi pemandu wisata dadakan karena pengetahuannya akan objek wisata di Dago.

“Iya pak, saya juga sudah sering dengar tapi belum pernah ke sana karena enggak tahu letaknya dimana.” Bapak meninggalkan jawaban dalam Bahasa Indonesia sesaat menjelang dirinya berlalu mengucap selamat tinggal untuk si juru parkir.

Lalu di halaman Kampus Unpad, Rayla merogoh telepon seluler dari saku kanan celana jeans biru favoritnya. Dua status anyar bertengger di layar kaca ponselnya, jelas bisa ditebak. Siapa lagi kalau bukan Stevie serta Matthew yang mem-posting liburannya di media sosial. Dari status pertama, Rayla berhasil melacak jejak Stevie kala mencecah lantai Farm House ditemani Tiffany, sepupu dekatnya. Lewat status buatan Stevie pula, Rayla melihat sesosok laki-laki muda berdiri di belakang Stevie dan Tiffany. Mungkin itu Aris dan Salman, kakak Tiffany. Duganya dalam hati.

Pada waktu bersamaan, Matthew diketahui sedang menjelajahi trotoar Jalan Riau seorang diri. Suatu kegiatan yang dinilai sudah awam bagi rakyat kota kembang. Namun kesendirian di tengah-tengah keramaian terlihat seperti sangat nikmat bagi seorang Matthew. Tersenyum manislah Rayla melihat isi kiriman dua temannya di media sosial. Ibu datang singkat berselang.

“Berkas ujian sudah semua bu?” Tanya bapak sekilas.

“Sudah pak. Tadi ibu ketemu Mas Nugie, hari ini dia mengawas ujian terus berkas belum bisa diambil semua Karena mahasiswa lagi pada UAS.” Kata terakhir di ujung kalimat ibu membuat telinga Rayla berdiri nyalang.

“Hah, lagi UAS? Terus kapan libur?” Volume suaranya ikut melonjak naik.

“Cuma di tanggal merah mereka libur.” Singkat ibu menjawab walau belum memuaskan hati Rayla.

“Kenapa? Terus UPI gimana?” Ia mempertanyakan sendiri minatnya mendalami ilmu jurusan Pendidikan Bahasa Jerman.

“Ini karena di Indonesia, Ray. Biasanya libur lebaran di Unpad lama banget terus giliran libur akhir tahun sebentar banget.” Jawaban ibu yang lebih panjang kini menemui sedikit titik terang di lubuk hati Rayla.

“Beda enggak kaya di Eropa. Libur akhir tahun pasti lama.” Sambung bapak dari kursi belakang ketika Pak Warsono sibuk memegang kendali.

Sambil merenungi obrolan pendeknya dengan ibu tadi, Rayla teringat lagi akan minatnya bekerja sebagai Guru Bahasa Jerman melaluikuliahdi program studi Pendidikan Bahasa Jerman UPI. Ini merupakan suatu langkah merangkap pilihan yang tepat sebab mahasiswa akan diarahkan menjadi guru sesuai kurikulumnya. Namun perkara durasi liburnya hari ini sedikit menggoyahkan jiwa Rayla. Masih mungkinkah ia mendaftarkan diri ke Jurusan Pendidikan Bahasa Jerman? Mungkinkah ia tetap bisa menjadi seorang guru jika tidak berkuliah di UPI? Perguruan tinggi mana yang mengalami libur panjang di akhir tahun juga?

Kelopak mata Rayla tampak ragu sesaat kini. Sontak dirinya bingung menentukan perguruan tinggi tempatnya berkuliah nanti.

vvv

Tahu Tauhid Lembang menjadi sasaran pertama Rayla beserta keluarganya pagi hari ini dikarenakan Farm House baru akan buka pukul 09.00 WIB. Ketika melewati gerbang Farm House tadi pagi, Rayla mendapati suasana yang masih sepi. Belum banyak orang datang ke objek wisata anyar di ibukota tanah Parahyangan itu. Dan oleh karenanya, ibu meminta Pak Warsono agar memacu mobilnya ke tempat penjualan Tahu Tauhid di Pasar Lembang sana, hampir mendekati muara air terjun Maribaya. Rayla kemudian menilik arah navigasi jarum jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 07.45 WIB. Butuh 1 jam 15 menit lagi untuk menunggu Farm House dibuka.

“Santai saja, nak. Enggak usah terburu-buru.” Ujar bapak di tengah penantian tahu goreng.

Pun ini sudah menjadi kebiasaan rutin bagi Rayla apabila datang mengunjungi Lembang. Ibu akan mengantri di loket tempat tahu dan tempe mentah dijual sedangkan bapak akan selalu mengantri dalam penantian bagi tahu goreng yang disajikan bersama lontong.

“Gimana, sekarang mau langsung ke Farm House saja? Enggak mau coba yang lain?” Bapak mencoba memberi tawaran lagi tentang tujuan utama walau Farm House telah direncanakan.

“Ke sana saja pak.” Imbuh Rayla bagai enggan berkompromi lagi dan begitu selesai mengunyah tahu, perjalanan diteruskan lagi ke bawah atau lebih tepatnya pada lokasi Farm House.

Antrian panjang kendaraan telah mengular panjang sesaat menjelang gerbang Farm House. Tidak hanya kendaraan roda dua dan roda empat, melainkan para calon pengunjung sudah membentuk antrian panjang di luar gerbang juga. Sejumlah lahan kosong pun digunakan sebagai area parkir dadakan. Hal ini lantas membuat bapak menawarkan opsi lain.

“Antrian masuk Farm House panjang banget nak. Masih mau ke sini atau mau menonton film di bioskop saja?” Rayla terdiam mendengar penawaran bapak.

Lihat selengkapnya