Cuaca cerahnya hari Senin pagi ini pada kenyataannya tetap saja tidak berpihak pada suasana hati Rayla yang masih sangat merindukan libur panjang. Hatinya masih saja merutuki masalah jatuh sakit saat libur kemarin yang menyebabkan dirinya tidak bisa bepergian kemana-mana. Pun suasana yang masih sepi kian melengkapi nuansa hati Rayla. Lalu usai menyimpan tas di kelas, derap langkah kakinya melengos ke arah ruang multi-guna. Di sana ia menjumpai Bu Mina dan Bu Nirma, asisten wali kelas 11 IPS dan 11 IPA. Ternyata beliau berdua belum sempat sarapan dan oleh karenanya, beliau berdua mesti menyantapnya terdahulu sebelum mengajar.
“Eh, hai Rayla. Liburan kemana saja?” Tanya Bu Mina.
“Kemarin ke Farm House di Lembang.” Jawab Rayla singkat ditambah raut murung di paras cantiknya. Dia lalu menyambung cerita dengan curahan hati tentang pengalamannya jatuh sakit kemarin. Ingin dia menyalahkan bapak sebenarnya, tetapi selalu timbul rasa bersalah sebelum benar-benar menyalahkan bapak karena menerbangkan pesawat keluar kota dan keluar negeri adalah tugasnya. Masih berwajah murung dia kemudian beranjak meninggalkan ruangan tanpa mengetahui tujuan dengan jelas.
Lambat laun, setiap murid mulai berdatangan ke sekolah. Air muka mereka beragam, ekspresi datar ada ekspresi senang ada. Rayla berikutnya menderap langkah ke lain bagian sekolah. Sekelumit kawan-kawan sudah datang dan Rayla menghampiri mereka. Mulanya ia bertanya tentang kemana mereka pergi saat liburan. Lalu pertanyaan Rayla berbelok mengikuti rasa penasarannya tentang keberadaan Stevie.
“Belum datang Ray, tunggu saja. Paling sebentar lagi juga sudah keluyuran di sini.” Diandra mencoba menenangkan Rayla. Matanya lalu melirik jam tangan , kini pukul 07.10 WIB. Tenanglah, masih ada harapan menanti kedatangan Stevie ke sekolah.
Murid-murid non-Muslim yang semula menjalani kegiatan ibadah pagi secara terpisah hadir memasuki ruang aula sekolah karena mereka akan bersama-sama mendengar informasi yang disampaikan seorang narasumber. Tetapi sebelum narasumber menyampaikan informasi, Pak Adrian maju memberi sambutan.
“Assalamu’allaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, Salam sejahtera buat kita semua yang hadir di sini pada hari ini. Anak-anakku yang bapak cintai, teman-teman bapak dan ibu guru yang bapak banggakan, hari ini kita bertemu lagi di sekolah. Buat anak-anak, kayaknya masih pada jetlag karena kangen liburan ya?” Canda Pak Adrian di tengah sambutan. Sontak keramaian pecah.
Kemudian Pak Adrian menyambung kata-kata sambutannya lagi, “Oh iya... Waktu kalian libur minggu kemarin, kami para guru sempat masuk lebih dulu selama tiga hari. Kemarin kami berdiskusi tentang program kegiatan hari ini, dan akhirnya kami sepakat pakai baju berwarna terang biar kalian merasa ter-welcome di sekolah hari ini. Terus selain itu, kami juga sudah menyiapkan narasumber hari ini, ada Pak Ustad Khairul Suryo Laksono bersama kawan-kawan. Setelah selesai narasumber, nanti kalian akan menghias papan display di sekolah.” Pak Adrian mengambil jeda sejenak lalu meneruskan kata-katanya lagi,
“Barangkali tanpa membuang banyak waktu lagi, kita langsung saja mendengarkan narasumber dari Ustad Khairul Suryo Laksono ya...”
Tiba giliran Ustad Khairul Suryo Laksono mengambil alih panggung.
“Saya memanggil kalian pakai sebutan teman-teman saja ya, biar kelihatan kita seumuran.” Guyonan Ustad Khairul ini lantas kembali meletuskan gelak tawa. Sementara itu, di barisan belakang, Rayla, Stevie dan Jacqueline mengambil posisi duduk yang lebih dekat nan merapat saat Ustad Khairul memulai ceramahnya.
“Teman-teman semuanya, enggak terasa banget ya sekarang kita sudah masuk tahun 2016, sudah tahun baru lagi. Padahal kayak baru kemarin kita masuk tahun 2015. Hmm, terus kira-kira itu ada hubungannya enggak sama ceramah saya hari ini? Jawabannya, ya pasti ada! Hari ini saya mau bahas tentang betapa berharganya waktu buat manusia.”
“Ada pepatah berbunyi, waktu lebih berharga daripada uang. Ya, pepatah itu benar banget. Waktu memang lebih berharga ketimbang uang Karena waktu ini terus berjalan tanpa pernah balik lagi selamanya sedangkan uang, setelah hilang atau habis masih bisa balik lagi. Sebagai manusia, kita semua yang Muslim juga yang Non-Muslim tentu harus bisa menghargai waktu. Urusan apa maknanya waktu, kita bisa tanya ke siapa saja. Contoh, makna waktu dua jam kita tanyakan ke penumpang yang tertinggal pesawat. Makna waktu dua bulan kita tanyakan ke ibu-ibu hamil yang melahirkan secara prematur dan makna waktu dua tahun, coba kita tanyakan ke mahasiswa yang drop-out kuliah.” Bahasa ceramah Ustad Khairul terdengar menggetar hati.
“Kalau kita enggak bisa menghargai waktu, ya jelas rugi banget bro & sis. Terutama waktu yang ada, harus benar-benar dipakai buat ibadah. Yang namanya ibadah sudah pasti tidak boleh ditinggalkan. Hari ini kita berbeda-beda dari bentuk wajah, warna kulit, gaya & warna rambut, pakaian, rumah dan jumlah harta benda. Nanti bakal ada waktunya kita berwajah sama, pakaian sama dan tempat tinggal yang sama yaitu ketika kita sudah meninggal dunia. Mohon maaf, buat teman-teman yang Non-Muslim, nanti apabila sudah meninggal atau mungkin ada orang terdekat yang sudah pergi mendahului, biasanya sering didandani dengan pakaian seperti saat masih hidup. Tapi intinya, nanti kita akan berwajah sama bila sudah tidak ada.” Imbuh Ustad Khairul.
Puas berceramah mengenai makna waktu, Ustad Khairul lantas memperkenalkan sosok kawan-kawan yang sekarang datang bersamanya. Sebagian dari mereka adalah para aktivis pemuda masjid dan pegiat komunitas toleransi-pluralisme. Bahkan ada yang berasal dari komunitas pencipta lagu religi. Mereka tidak sungkan memperkenalkan diri juga memberi persembahan di depan orang yang berbeda agama. Malah siswa-siswi non-Muslim justru menyukai penampilan komunitas lagu religi tersebut. Matthew saja sampai merekamnya dengan memakai kameranya sendiri. Di tengah ceramahnya usai komunitas lagu religi tampil, Ustad Khairul memberi informasi mengenai komunitas itu. Ia menyebut bilamana komunitas lagu religi turut diisi oleh seorang mantan pemain band papan atas yang mengundurkan diri belum lama ini.
Bersorak heboh suara Stevie tatkala nama pemain band itu disebutkan. Jacqueline kemudian berupaya menenangkan kakak kelasnya itu.
“Kak Stevie tenang dong.” Stevie lalu merunduk malu selepas Jacqueline angkat bicara. “Kak Stev, suka shalat di masjid enggak?” Telinga Stevie dan Rayla tercekat mendengar pertanyaan Jacqueline yang satu ini. Jacqueline yang memeluk agama Katolik mengingatkan dua kakak kelasnya yang memeluk agama Islam.
“Ppp... Pernah sih Jacqueline, tapi kebanyakan sih aku shalat di rumah.” Jawab Stevie terbata-bata, selaras dengan jawaban Rayla.
“Ya sudah deh, enggak apa-apa kalau begitu. Tapi enggak ada salahnya juga tetap mengusahakan shalat di masjid. Nanti sore setelah pulang sekolah, coba Kak Stevie atau Kak Rayla shalat Ashar berjamaah di masjid.” Imbuh Jacqueline panjang lebar.
Dan nyatanya, saran Jacqueline untuk menunaikan shalat berjamaah di masjid tadi diseimbangi ceramah Boy Alvin, salah satu anggota komunitas lagu religi.
“Jujur saja... Saya sudah pernah tidak shalat di masjid bertahun-tahun. Terus di suatu kesempatan, saya harus ikut men-shalatkan jenazah di masjid yang sekaligus jadi peringatan buat saya. Shalat berjamaah di masjidlah sebelum nanti dishalatkan berjamaah di masjid... Dan Alhamdulillah, sekarang saya selalu shalat lima waktu berjamaah di masjid.”
Ustad Khairul berikutnya menyambung isi ceramah singkat Boy Alvin, “Wah luar biasa ya perjuangan Kang Boy shalat berjamaah di masjid. Dia diingatkan oleh peristiwa kematian orang lain setelah dulu ogah-ogahan shalat di masjid. Alhamdulillah sekarang Kang Boy istiqamah shalat di masjid.” Ustad Khairul memasang raut senyum di wajahnya.
vvv
Nama masing-masing siswa disebutkan guru di depan karena sekarang acara sudah memasuki sesi kedua, yakni menghias display sekolah sesuai tema yang diberikan kepada setiap kelompok. Hari ini Rayla kebagian menghias display yang mematut tema berupa kebijakan pemerintah bersama Diandra, Kak Hana, Kak Lukman dan Dwie. Sayang Dwie dan Kak Lukman berhalangan hadir hari ini, sehingga Rayla hanya mengerjakan display bersama Diandra dan Kak Hana. Mereka mengambil tema kebijakan pemerintah kota Bandung yang mereka ambil sebagai tema display. Info mengenai deskripsi kebijakan, gambar-gambar terkait sampai foto potret diri Walikota Bandung Ridwan Kamil ada di tangan para penghias display ini.
Lambat laun garis sketsa tergambar di atas karton. Diandra menarik garis dari segala arah, sementara Rayla dan Kak Hana menggunting-gunting kertas pula karton selama dua jam hingga masuk waktu Shalat Dzuhur. Hiasan di papan display kian banyak yang terpampang mempercantik segala sudut bangunan sekolah. Beres menghias, Rayla mendapati Jacqueline berdiri di dekatnya lalu wajahnya tercenung sejenak. Jacqueline, demikian nama gadis di dekat Rayla itu. Hitam warna rambut panjangnya, putih bersih warna kulitnya pun berkilau kemilau bola matanya. Siapa yang dapat menyembunyikan decak kagum apabila mendapat kesempatan melihat kecantikan atau rupawan pesona fisik Jacqueline. Belum lagi topi merah di kepala Jacqueline. Apalagi sesuatu yang kurang dari kecantikan Jacqueline? Tidak ada, sepertinya sudah terlihat sempurna bagi seorang Jacqueline. Bermenit-menit Rayla terpana pada eksotisme paras Jacqueline sampai adik kelasnya ini menyuruh Rayla shalat. “Kak Rayla, langsung ambil wudhu saja. Sekarang sudah waktunya shalat Dzuhur lho.” Rayla berlalu meninggalkan Jacqueline demi mengambil air wudhu.
Betapa senangnya Rayla saat kelompoknya diumumkan keluar sebagai pemenang lomba menghias display sekolah. Ia lantas maju untuk menerima hadiah berupa sekotak wafer Beng-Beng. Tidak untuk dimakan sendiri tentunya. Dan setelah kembali ke kerumunan teman-temannya yang tadi secara berbarengan menyimak informasi dari sesi briefing mengenai penggalangan dana fieldtrip ke Kalimantan bulan depan, dengan sukarela Rayla membagikan wafer Beng-beng pada semua kawannya. Mereka bersemangat merebut wafer Beng-beng termasuk Stevie dan Matthew. Ah, Stevie-Matthew, bisa saja kalian bersemangat mengincar wafer Beng-beng. Sanjung Rayla dalam hatinya sendiri.
Dan saat tiba waktu pulang sekolah, tanpa berpikir panjang lagi Rayla menderapkan langkah telapak kakinya menuju sebuah masjid yang memaut jarak 60 meter dari gerbang sekolah. Apa boleh buat, sayang seribu sayang matahari sudah terlanjur mengurung diri di balik gerumbul awan kelabu pertanda guyuran hujan ingin menyiram tanah bumi. Relung benaknya teringat saran yang dikirim langsung oleh Jacqueline tadi pagi. Biarpun berbeda agama, tetapi selama masih ada niat baik untuk saling mengingatkan maka tak ada salahnya juga untuk melaksanakan sesuatu persis seperti apa yang diperintahkan.
“Lha, Stevie mana? Enggak ikut ke masjid?” Langkah kaki Rayla tercekat sejenak di tengah perjalanan ke masjid seusai menempuh jarak sejauh 25 meter. Kepalanya lalu menoleh ke belakang seraya berharap agar Stevie datang menyusul langkahnya.