“Assalamu’allaikum...” Di fajar yang masih senyap ini Rayla mengucapkan salam ketika dirinya masuk kelas. Belum ada yang datang selain dirinya sendiri serta Diandra.
“Kegiatan kemarin apa saja, Rayla?” Bibir Diandra menjurus ke arah Rayla, tetapi matanya justru tetap mengarah ke layar ponselnya sendiri.
“Kemarin sih cuma tryout SBMPTN. Sudah sih cuma itu.” Rayla menjawab tenang dengan hati yang a lebih ringan.
“Itu doang?” Diandra bertanya lagi seolah belum puas atas jawaban Rayla. “Ya, cuma itu. Kemarin kamu kemana, Diandra? Sakit?” Rayla sekarang bertanya balik kepada dara 17 tahun yang sedang duduk di pojok kiri kelas tersebut.
Diandra mendeham sebentar lalu menyambung kalimat jawaban “Bosan masuk. Makanya di rumah saja.” Pengakuan Diandra membuat Rayla terkekeh sendiri.
“Halah... Sebentar lagi juga libur panjang. Kenapa mesti bosan segala???”
“Ah ya begitulah. Kemarin memang sudah bosan masuk.., makanya aku mau di rumah terus ayah-ibu membolehkan juga.” Timpal Natalie yang senyum-senyum sendiri. Berikutnya Rayla berjalan-jalan mengelilingi sekolah sendiri. Belum banyak yang datang. Menurut rencana, mulai hari ini siswa dan siswi yang sudah bebas hutang remedial atau susulan UKK akan bekerja sama mempersiapkan kontestasi pemilihan ketua serta wakil ketua OSIS. Rayla sendiri ingin bekerja di tim properti mempersiapkan alat-alat kebutuhan pemilu seperti bilik suara, kotak suara, dan lain sebagainya untuk pemilihan nanti.
Dan masih dalam minggu-minggu tahap persiapan pemilu, di kelas 11 IPA sorot kelopak mata Rayla tertuju ke arah Donny. Terhitung hampir setahun sudah Rayla tidak melihatnyaselama ia mengikuti pertukaran pelajar ke Kanada.
“Donny?? Sudah pulang? Kapan sampai di sini??” Sembur ujung bibir Rayla seiring langkahnya menyambar Donny di kelas 11 IPA.
“Eh Rayla... Dua hari lalu sampai di sini. Kemarin istirahat dulu sebentar, terus hari ini langsung masuk.” Jawab bujang gempal itu. Dia lalu melayangkan telapak tangannya di udara untuk tos dengan Rayla.
Setibanya Donny di sekolah, Rayla selalu menemaninya bersafari sambil bercerita tentang event sepanjang kelas 11.
“Iya Don, semester kemarin LDK di Gunung Kareumbi. Sistemnya sama kayak angkatan kita waktu kelas 10, semalam di sekolah terus semalam di gunung. Habis itu pertengahan Februari fieldtrip ke Kalimantan, baru bulan April bikin pensi “Isoma” téa. Tahu pensi angkatan kita?”
Donny lalu menjawab, “Oh tahu dong. Duh sayang banget kalian bikin pensi waktu aku masih di Kanada.” Bagai penuh sesal pemuda 16 tahun ini bicara. Baru Donny yang datang dari luar negeri di Bulan Juni. Rayla masih menanti yang lain, termasuk Stevie yang belum datang ke sekolah biar dia tak ikut pertukaran ke luar negeri.
vvv
“Kak Stevie, kenapa enggak ikut program pertukaran ke luar negeri kemarin?” Ujung rongga mulut Jacqueline meluncurkan serentetan kalimat tanya ke arah Stevie begitu deras, menghentak jiwa kakak kelasnya ini. Tatapan mata Stevie yang kala itu tengah menghujam layar ponsel, sekonyong-konyong kelabakan mencari sumber suara.
“Kak Stevie cantik, aku di sebelah kanan...” Alangkah terkejutnya dara 16 tahun ini begitu mendapati sesosok makhluk berparas ayu di sebelahnya. Tidak lain tidak bukan adalah Jacqueline si pemakai setia topi merah. Tersenyumlah Stevie melihat Jacqueline dengan topi merah kesayangannya berbentuk setengah mangkuk ditambah kerah lingkaran sedikit menjuntai ke atas.
“Wah enggak euy Jacqueline. Mulanya sih aku ingin banget tuh ikutan program pertukaran pelajar di Inggris. Cuma setelah ngomong sama ayah-bunda, mereka bilang mending sekalian kuliah saja biar lebih lama. Sebabnya di SMA cuma sebentar terus langsung lulus.” Jawab Stevie panjanglebar. “Kuliah di luar negeri?” Jacqueline bertanya lagi, seolah belum puas. “Kurang lebih gitu, Jac. Bunda bilang coba mulai sekarang cari info beasiswa ke luar negeri, siapa tahu ada peluang kesana...” Ujar Stevie penuh harap. Lalu pembicaraan dua gadis ini berbelok ke arah informasi beasiswa. Lempar pertanyaan dan jawaban tak terhindarkan.
“Minat Kak Stevie ke jurusan apa?” Ujar Jacqueline.
“Aku ingin masuk jurusan DKV[1] atau Hubungan Internasional.”
“Di kampus mana?”
“DKV sih mau di UPI atau FSRD-ITB[2] terus Hubungan Internasional di Unpar. Kalau Jacqueline mau di jurusan apa? Kampus mana?”
“Pilihanku antara Seni Rupa ITB sama Hubungan Internasional Unpar. Mungkin juga luar negeri, di Kanada. Kampusnya University of Toronto jurusan Bahasa Perancis atau Design.”
Mata Stevie terbelalak oleh ucap tutur-kata Jacqueline ini. Masih semuda itu, Jacqueline telah berani mengukir mimpi sangat tinggi. Hatinya mengincar sejumlah kampus di Indonesia dan Kanada, dua negara berbeda warna terpisah jarak ribuan kilometer. Stevie saja belum terpikirkan kuliah di luar negeri. Baru dua kampus papan atas di Bandung yang ia incar dan entah bagaimana Rayla. “Ehmmm, Inggris minat enggak?” Kini giliran Stevie terlebih dahulu melempar pertanyaan pada Jaqueline. Akan tetapi Jacqueline diam saja, seperti telah bisu. Stevie mengulangi pertanyaan yang sama. “Minat kuliah di Inggris enggak? Peluang beasiswanya banyak lho...”
Jacqueline terhenyak dari lamunannya kemudian melempar jawaban, “Enggak minat Kak Stev. Kanada saja.” Gadis ini setelahnya memperbaiki posisi topi merah walau tak kenapa-kenapa.