Ramadhan dan lebaran idul fitri selalu datang membawa cerita tersendiri setiap tahunnya. Ada kesan tersendiri bagi Rayla di setengah perjalanan bulan Ramadhan ini apalagi jika dia mengingat bulan-bulan puasa selama hampir tiga tahun masa SMA. Bulan Ramadhan 2014 terjadi saat dia baru lulus SMP pula awal-awal dirinya mengenal Stevie. Ramadhan 2015 mencampuri pikirannya tentang keindahan masa SMA setelah kenal dekat dengan Stevie. Dan Ramadhan tahun ini, dia sudah mengenal baik akan sosok Stevie dan Tiffany yang lambat laun dapat dianggap seperti saudara sendiri. “Nah itu enaknya punya teman atau sahabat dekat. Biasanya kalau hubungan kita sudah kuat, lama-kelamaan bisa kayak keluarga terus bisa nyambung ke orang lain.” Pungkas ibu tatkala memberi wejangan buat Rayla yang sedang curhat tentang kedekatannya dengan Stevie dan Tiffany. “Atau Tiffany bisa aku anggap jadi adik perempuan sendiri karena dua tahun lebih muda.” Rayla kini malah berandai-andai tentang hubungannya bersama mereka.
Lalu seperti biasanya, mumpung hari kian mendekati lebaran Idul Fitri bapak ingin lagi memborong bertoples-toples kue lebaran di rumah Bulik Darsini dan Rayla sudah pasti akan selalu mengekori bapak. Sepengetahuannya, kemarin bapak telah pulang bertugas menerbangkan pesawat dari London ke Jakarta lalu dilanjutkan perjalanan darat ke Bandung. Biar di London sekarang sedang digempur panasnya suhu udara summer, namun bapak tetap menguatkan tekad tidak membatalkan puasa apalagi saat belasan jam duduk di belakang kendali pesawat. Hal ini tak ayal membuat Rayla mengagumi kehebatan fisik bapak menahan lapar-dahaga di penerbangan.
Siang ini bapak akan membeli lagi kue di rumah Bulik Darsini.
Rumah minimalis yang tersaruk di tengah pemukiman padat penduduk dengan jalan akses utamanya terhubung ke banyak percabangan gang kecil menyambut Rayla, Christoff dan bapak. Bulik Darsini, wanita lanjut usia 73 tahun tersebut mempersilahkan tiga kerabatnya masuk. Sampai di ruang tamu, Bulik Darsini malah mengajak bapak mengobrol ngalor-ngidul tentang aneka persoalan mencakup jadwal terbang bapak dan perjalanan akademik Rayla serta Christoff.
“Sudah pada libur? Mau naik kelas berapa?” Tanya ibu empat anak tersebut ramah.
“Iya sejak tiga hari lalu sudah libur. Sekarang naik kelas tiga SMA.”
Bulik Darsini mendeham sejenak, “Hebat sekarang sudah mau kelas tiga SMA. Tahun depan sudah kuliah, enggak terasa ya.”
Kemudian bapak menimpali, “Betul enggak terasa anak-anak sudah semakin besar. Tahun depan tahu-tahu sudah kuliah.” Dan selanjutnya bapak menjelaskan rerangkai perjalanannya selama di Inggris kemarin. Masih menurut pengakuan bapak juga, jadwal terbangnya baru akan berlaku lagi setelah lebaran nanti atau dengan kata lain, selama penghujung bulan Ramadhan bapak akan setiap hari berada di rumah. Tentu Rayla adalah orang yang paling senang bila begini.
Lepas mengobrol ngalor-ngidul, Bulik Darsini menawarkan aneka ragam pilihan kue lebaran. Jenis kuenya standar alias masih sama seperti lebaran tahun kemarin. Kalau sudah seperti ini, Bulik Darsini terlihat seperti seorang pedagang ulung. Rayla yang siang itu tampil mengenakan jaket sejenis hoodie beresleting, kaos putih bergambar wajah Presiden Joko Widodo dan celana legging selutut sesekali menyentuh permukaan toples plastik. Christoff mencoba membanding-bandingkan jenis kue seperti bapak. Lalu bapak melempar tanya pada Rayla mau kue yang mana.
Menuruti seleranya yang sangat menyukai makanan asin, Rayla memilih kue Kaastengels dan keju. Christoff satu suara dengan Rayla sehingga kue-kue asin dan gurih terbeli secara aklamasi, tak ketinggalan kue manis sebelum di bawa pulang.
“Rayla, baju kayak gini ditambah sepatu sama kaos kaki bikin kelihatan cantik banget. Serius deh.” Tiba-tiba terbesit niat gombal bin usil di hati Christoff untuk menggoda adik perempuan satu-satunya ini.
“Ih, kenapa menggombal sih? Iya aku memang cantik, tapi enggak usah pakai gombal-gombal segala. Malu tahu.” Rayla mencubit lengan kakak lelaki satu-satunya ini karena tersipu malu akan pujian tadi.
vvv
Sisa 10 hari di bulan Ramadhan tak menyurutkan semangat Rayla menjalani ibadah shalat berjamaah di masjid dekat rumah. Setiap hari di waktu Dzuhur dan Ashar, ditemani kakaknya dia akan selalu meniti langkah ke masjid. Baginya ini merupakan suatu kesempatan emas yang hukumnya adalah fardhu’ ain. Wajib. Belum lagi Stevie dan Tiffany yang turut serta. Itu akan selalu menyulut tekad Rayla menunaikan shalat berjamaah dan siang hari sekarang, ia boleh melonjak-lonjak girang melihat dua gadis di depan batang hidungnya.
“Ketemu lagi disini. Ayah-bunda enggak ikut?” Tanya Rayla memotong obrolan Stevie- Tiffany.
“Enggak, ayah-bunda shalat di rumah saja. Kamu enggak mengajak bapak-ibu?” Stevie bertanya balik. “Sama, enggak juga.” Christoff mulanya terlihat agak canggung mendekati dua gadis di dekat adiknya tersebut. Akan tetapi, toh pada akhirnya anak bujang yang baru merayakan ulang tahun ke-17-nya sepekan silam ini memberanikan diri mennyapa Tiffany.
“Kamu Tiffany ya? Sejak kapan di Bandung? Rencana berapa lama di sini?” Rupanya suara Christoff tetap mengalir tenang.
“Iya kak, aku Tiffany. Sejak tanggal 22 aku sudah di sini sebulan penuh. Nanti masuk lagi tanggal 25 Juli.” Jawab Tiffany panjang lebar meskipun dia baru hari ini mengenal sosok Christoff. “Wah sama dong Tif, aku juga libur sebulan penuh. Nanti masuk lagi tanggal 25 Juli.” Dan Tiffany mengangguk-angguk mahfum.
Sebelum mengambil air wudhu, Rayla membisiki Christoff sesuatu. “Mas, naksir Tiffany enggak? Dia cantik lho terus belum pacaran. Coba dekati mumpung dia di Bandung.” Dan Mas Chris membalas, “Ah enggak lah Ray. Aku enggak minat pacaran sama Tiffany.” Rayla hanya bisa tertawa cekikikan mendengar jawaban dari sang kakak yang kemudian bersegera mengambil air wudhu. Rayla-Stevie-Tiffany pun turut melakukan hal yang sama hanya saja tempatnya berbeda.
Ibadah shalat Dzuhur berjamaah hari ini diimami Ustad Rochiem. Jumlah jamaah ikhwan[1] selalu jadi monopoli atas jumlah jamaah akhwat[2]. Pun di dalam shaf [3]jamaah ikhwan, itu akan didominasi oleh bapak-bapak berkisaran usia antara 50 hingga 60 tahun, bahkan ada satu atau dua kakek-kakek berusia 70 tahun ke atas. Christoff termasuk golongan jamaah anak muda yang jumlahnya hanya segelintir. Dan lain cerita dijumpai di shaf jamaah akhwat. Kuantitas mereka tidak akan menyamai kuantitas jamaah ikhwan dengan kisaran usia yang pula didominasi kaum ibu-ibu sementara Rayla-Stevie-Tiffany tercakup dalam segelintir jamaah perempuan muda.
Ustad Rochiem mengucap takbiratul ihram[4] paling awal disusul jamaahnya di belakang. Tiap kali tiba waktu shalat Dzuhur dan Ashar, imam hanya cukup melafalkan bacaan di dalam hati dan melantangkan kalimat takbir sebagai aba-aba penanda berganti gerakan. Ustad Rochiem memekik takbir dengan begitu lantang selama shalat Dzuhur berjamaah sampai beres.
vvv