Tepat satu tahun mengenal sosok Jacqueline sebagai adik kelas kesayangan terdekatnya, belum pernah sama sekali rasanya Rayla mencekoki dia dengan pertanyaan terkait perasaannya jatuh cinta. Sudahkah Jacqueline merasa jatuh cinta? Jika sudah, pada siapa? Hati Rayla terketuk untuk menanyai ihwal tersebut pada siswi kelas 11 IPS tadi. Lalu pagi ini seusai menyimpan tas, Rayla tanpa lebih panjang berpikir lagi berputar-putar mencari Jacqueline di tiap sudut sekolah. Dan sukar ia mencarinya. Akan tetapi dia sama sekali tidak menyerah.
Hingga pada akhirnya, dia menemukan Jacqueline sedang asyik memilih buku di rak perpustakaan. Matanya bingung menentukan buku mana yang akan dia jamah. Rayla yang berdiri di belakang Jacqueline pun lantas memanfaatkan kesempatan emas ini.
“Hi Jacqueline. Mau baca buku yang mana?” Topi merah di kepalanya sedikit berguncang.
“Enggak tahu kak, bingung. Kemarin-kemarin juga sudah banyak buku yang aku baca.” Beruntung Jacqueline sanggup menguasai keadaan. Dia tidak gugup, tidak terbata-bata. Namun Rayla malah tidak bisa menguasai keadaan. Bertanya tentang keinginan membaca buku membuat otaknya lupa mau bertanya apa. Rayla berhenti sejenak me-refresh lagi isi otaknya, baru kemudian dia mengajak Jacqueline duduk di dekat jendela. Jari tangan kiri Jacqueline yang baru sedetik mencomot buku biografi mendiang Presiden RI kedua Soeharto hanya dapat menuruti titah kakak kelas kesayangannya tersebut. Buku setebal kira-kira 250 halaman tersebut digenggam tangan kiri sebentar lalu diletakkan di atas permukaan paha kiri.
Barulah Rayla berhasil menembakkan pertanyaannya dalam kesempatan emas sekarang.
“Jacqueline, aku sekarang sudah setahun kenal sama kamu. Selama setahun ini pasti kita sering mengobrol tentang banyak hal tapi belum pernah soal perasaan jatuh cinta. Nah, selama setahun jadi anak SMA, kamu sudah pernah naksir atau ngecengin anak cowok belum?” Kalimat tanya meluncur deras dari rongga mulut Rayla menghujam Jacqueline. Dia sepertinya kaget dan tersentak mendengar pertanyaan Rayla yang tiba-tiba hadir. Jacqueline diam saja.
“Kamu jujur saja. Pernah jatuh cinta atau enggak.” Imbuh Rayla mengingatkan Jacqueline yang hanya bisa menekuri ujung sepatunya sedang tangan kanan mengelus ujung paha kanan.
Berikutnya dalam fraksi sepersekian detik, Jacqueline mengangkat wajahnya. Kini merah merona sudah kulit wajah putihnya pertanda dia malu. “Kak Rayla.., Selama masa remajaku terus terang aku belum pernah merasa jatuh cinta biarpun kadang-kadang ada cowok yang menarik di mataku. Terus seandainya jatuh cinta, rasanya kayak gimana ya?” Gadis nyaris berusia 16 tahun di bulan September nanti ini tersipu malu-malu. Sekarang saja sudah bisa senyum-senyum sendiri. Bagaimana jika dia benar-benar jatuh cinta?
vvv
Buah pemikiran Rayla tentang aspek-aspek perubahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya saat ini ternyata selaras dengan topik yang dibahas oleh Bu Yani dalam kelas Sosiologi pagi ini. Menggunakan media berupa televisi LED dan papan tulis putih, Bu Yani memaparkan dua buah teori perubahan sosial, yakni teori siklus dan linier. Pulpen bergambar seekor anjing tokoh kartun “Snoopy” dijepit tiga jari kanan Rayla menari ligat di atas buku tulis pemilik sampul merah tempat gambar Menara Eiffel terlukis. Setengah dari halaman pertama dilahap pulpen Rayla yang mencatat teori buah hasil pemaparan teori siklus dan linier.
Teori siklus menyatakan tentang perubahan berulang-ulang dari zaman ke zaman yang sama sekali tanpa perkembangan secara signifikan semisal upaya pemerintah menumpas tindak pidana korupsi, pengentasan kemiskinan dan lain-lain. Sedang teori linier memaparkan makna perubahan secara signifikan sesuai perkembangan zaman seumpama evolusi teknologi, pembangunan infrastruktur, dan lain sebagainya. Baru di pembahasan tentang teori siklus, buah pemikiran Rayla mengenai evolusi teknologi bisa diungkapkan ke Alif di sebelah kirinya.
“Lif, sekarang kamu ngeh enggak, gaya orang mendengar musik sudah beda? Dulu, setiap kali ingin dengar musik pasti selalu beli CD[1]atau kaset terus diputar di radio.”