Hari Sabtu pagi, 6 Agustus 2016.
Rayla menghempas guling dari pelukan badannya ke sisi sebelah kanan kasur tempatnya tidur semalam. Waktu saat ini masih menunjukkan pukul 03.30 WIB yang artinya masih belum tiba waktu shalat Subuh. Namun, bangun tidur lebih awal hari ini bukan tanpa alasan bagi Rayla. Sabtu ini merupakan hari yang ditunggu-ditunggu Rayla selama dua pekan pertama menjadi siswi kelas 12. Ini hari, Rayla akan berangkat ke Cilegon demi mengikuti arisan keluarga besar bapak. Dan setelah benar-benar terjaga seraya mengurut paha kanannya, Rayla beringsut mengais handuk di jemuran belakang agar dia bisa mandi pagi lebih awal. Christoff bangun kurang lima menit.
Perjalanan pun bermula lewat dari pukul 04.30 WIB ba’da shalat Subuh. Mobil dipacu agak kencang mumpung lalu lintas Bandung masih belum padat. Rayla yang memilih duduk di jok baris kedua hari ini tampak mengenakan busana berupa kemeja kotak-kotak biru dan hijau favoritnya, kaos T-Shirt kelabu dan rok biru dongker selutut. Kaos kaki biru serta sepatu sewarna membungkus dua kaki kurusnya. Dan saat mobil mencapai gerbang tol Pasteur, tangan kiri Rayla mencomot kupluk abu-abu dari sandaran kaki di depannya. Dia lalu memakaikan kupluk abu-abu tersebut di kepalanya, menutupi sedikit rambut panjangnya.
Matahari naik lumayan tinggi. Lancarnya arus lalu lintas mempercepat perjalanan Rayla dari Bandung ke Cilegon walau ia sama sekali tidak sempat mengabadikan momen sunrise di jalan tol. Seperti biasanya juga, mata Rayla mengecek ponsel demi memastikan apakah ada informasi terbaru yang masuk ataukah tidak. Biasanya kalaupun ada, masih terkait keberadaan para kerabatnya yang juga sedang menempuh perjalanan ke Cilegon. Lalu tanpa disangka, secarik pesan singkat dari bapak merasuki layar besar ponsel Rayla.
“Nak, sekarang kamu dimana?” Tanya bapak lewat aplikasi Whatsapp.
“Aku baru masuk Jakarta. Bapak sudah mendarat?”
Sejurus kemudian bapak membalas, “Iya, bapak sudah mendarat jam 05.30 WIB. Tadi bapak menunggu kamu dulu. Nanti kalau sudah sampai, tolong ajak Mas Chris bantu memasukkan koper terus kita langsung ke Mbak Nana.” Belum sampai Bandara Soekarno-Hatta, bapak sudah memintanya membantu memindahkan koper.
Dasi hitam ditanggalkan bapak sudah. Sekarang bapak hanya tinggal memakai kemeja putih dan celana hitam sejak tadi menanti di pelataran Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang-Banten. Terhitung sudah lama sekali Rayla tidak mampir ke Terminal 2. Pengalaman terakhir menyambangi Bandara Soekarno-Hatta pun ia dapatkan saat ikut fieldtrip ke Kalimantan enam bulan silam. Itupun dia berangkat dari Terminal 1 yang diperuntukkan bagi penerbangan domestik. Kemudian begitu melihat bapak melambaikan tangan, Rayla segera turun mendahului ibu. Tangan kanan disalami, koper kecil disambar ke bagasi. Christoff melakukan hal serupa.
Berkaca dari pengalamannya menyambangi Cilegon dahulu, akses yang akan selalu ditempuh ialah dengan melintasi jalan tol tanpa pernah keluar gerbang di tengah-tengah. Dan hari ini pun masih tetap begitu. Dari Bandara Soekarno-Hatta Rayla masih harus melintasi Jalan Tol Jakarta-Tangerang-Merak sebelum nanti keluar di gerbang tol Cilegon Timur. Berikutnya masih dalam perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Cilegon, Rayla sekeluarga menyempatkan diri singgah di rest area Km. 13 saat tiba waktu dhuha. Ihwal ini sengaja dirinya lakukan dengan dalih ingin ke kamar mandi. Baru selepas beres, dia kembali ke mobil.
“Rayla enggak pakai celana panjang? Mbok di mobil kedinginan.” Tawar ibu.
“Enggak usah bu. Nanti di Cilegon juga panas...” Rayla dengan halus menolak tawaran ibu tatkala dia mengurut paha kirinya sambil berdiri. Mas Chris baru datang sebelum ada bapak. Berikutnya Rayla lebih mendekatkan diri ke kaca mobil agar bisa berkaca melihat lagi penampilannya. Tidak ada yang salah, tidak ada apa-apa. Justru Rayla merasa dirinya jadi sangat cantik jika berpenampilan demikian. Apalagi jika ada baju kotak-kotak yang selalu mengingatkan dirinya pada Presiden Joko Widodo.
Alhamdulillah Rayla bisa menemui gerbang tol Cilegon Timur pukul 08.20 WIB. Antrian panjang mengular dan dia hanya tinggal membidik rumah Mbak Nana kakak sepupu tertuanya dari keluarga besar bapak. Dan sembari mengerahkan sisa ingatan pasca kunjungan terakhir ke Cilegon tiga setengah tahun lalu, Pak Warsono dibantu Christoff dan bapak mencoba mencari rumah Mbak Nana dengan melintasi jalan masuk komplek perumahan. Upaya mereka membuahkan hasil tatkala melihat sanak saudara baru saja turun dari sebuah bus pendek di depan mobil. Ternyata mereka juga sampai di kisaran rentang waktu yang sama.
Satu per satu orang disalami Rayla sampai ke rumah minimalis yang kini telah disesaki sekitar 30 orang. Celotehan, canda-tawa juga guyonan meletus di setiap sudut dengan dapur yang telah ramai oleh hiruk-pikuknya sendiri. Rayla secara bergantian memegang kamera dengan Mas Chris memotret tiap sudut rumah dan sesekali mereka keluar karena kepanasan. Di luar rumah pun bukan berarti mereka tidak mengantongi apapun aktivitas pasalnya sebagian kerabat lebih memilih berada di beranda depan sebuah masjid kecil yang dilengkapi oleh sebidang lapangan tenis. Seringkali memotret mengambil potret diri kerabat-kerabatnya dari keluarga besar bapak.
“Pak Guru-Bu Guru, foto dong...” Pinta Tante Laksmi saat menggendong cucunya.
vvv
Dua jam dirasa cukup untuk berkumpul di rumah Mbak Nana. Menjelang siang pukul 10.30 WIB, Rayla menyambung lagi perjalanan ke Pantai Anyer di tepi garis selat Sunda sana. Mbak Nana pergi menggunakan mobilnya sendiri, Rayla juga turut berangkat memakai mobilnya sendiri sedang lain kerabat kini kembali ke bus. Berdus-dus makanan dimasukkan ke bagasi belakang bus dan cerita disambung lagi kini. Mereka lalu berduyun-duyun keluar kompleks menembus sempitnya jalan akses penghubung ke jalan raya. Kali ini Rayla membuntuti mobil hitam Mbak Madya, kakak sepupunya yang telah dinikahi Mas Marwan dan punya dua anak lelaki.
Berdasarkan rencana, Rayla dan Mbak Madya akan terlebih dahulu check-in di Hotel Horison Cilegon baru kemudian beranjak lagi ke Anyer. Mereka selanjutnya menurunkan masing-masing barang bawaan dari bagasi mobil dan check-in di hadapan resepsionis. Lalu dua keluarga kecil yang rentang usianya terpaut sangat jauh tersebut menyurvei kamar di lantai tiga. Karena kurang cocok, mereka meminta kamar di lantai dua. Dan di lift menuju lantai dasar, Rayla kembali mengarahkan pandangannya ke wajah Harsa, anak bungsu Mbak Madya-Mas Marwan.
Kepala berambut tipis dan tubuh tambun seakan menjadi daya tarik Rayla agar bisa bercanda dengan Harsa. Berulang kali ia mendekati wajah Harsa saking gemasnya melihat bayi empat bulan tersebut.
“Rayla suka anak kecil ya...” Komentar Mbak Madya yang ternyata ikut gemas.