Rabu siang, 24 Agustus 2016, pukul 13.10 WIB.
Tahu-tahu sudah hari Rabu lagi. Tahu-tahu besok sudah hari Kamis lagi, dan lusa sudah akan sampai hari Jumat lagi lalu libur akhir pekan selama dua hari. Itulah yang terbesit dalam ruang pikiran Rayla sekarang, di tengah-tengah pelajaran Bahasa Indonesia. Rayla mendudukkan tubuhnya di dekat Nico yang masih sibuk melengkapi tugas ulasan teks cerita sejarah tadi. Di bawah layar televisi LED, Pak Irham masih terlihat bersemangat mengajarkan materi teks cerita sejarah kepada murid-muridnya menjelang penghujung bulan Agustus. Akan tetapi sayang seribu sayang, semangat beliau mengajarkannya tidak sebanding dengan semangat Rayla yang mulai layu karena mengantuk. Badan kurusnya menyamping mengikuti bentuk meja persegi panjang di ruangan. Dua meja kotak mengepung dirinya di depan tatkala tangan kiri menyangga pipi kanan supaya kepalanya tidak rubuh ke meja. Pun badannya demikian. Lalu begitu jarum panjang menghujam angka tiga, pintu ruangan dikoyak lebar-lebar oleh tangan seorang bujang 17 tahun yang masuk ruangan seraya mengucap salam sekaligus memamerkan senyum bahagia. Dia tak bertutur apa-apa sampai menduduki kembali kursinya. “Co, kenapa si Andra senyum-senyum sendiri?” Rayla memendam rasa penasaran terhadap ekspresi laki-laki pujaan hatinya itu. “Mana kutahu, Rayla. Coba saja tanya ke Andra langsung.” Nico mengangkat kedua bahunya menguncup.
Selang 25 detik, Stevie menyusul Andra masuk kelas dengan ekspresi serupa. Pekikan tawa kecil meletup sekali-kali, hanya saja, bedanya ekspresi meliputi bahasa tubuh Stevie berguncang-gunang lebih heboh dari Andra. Tanpa ditanya dia segera mengungkapkan maksud pergerakan bahasa tubuhnya ke arah Nico dan Rayla. “Ada Pak Erlangga!!! Tadi aku ketemu di depan!!!” Pekik Stevie girang, sama sekali tidak bisa menyembunyikan kesenangannya biarpun mesti berbisik bagai tak sudi orang lain mendengar ucapannya. “Lha, sudah datang lagi. Kok enggak mengabari?” Mata Rayla yang sudah sayu terlonjak nyalang begitu Stevie mendatangi dirinya. “Iya memang sudah datang...” Sambung Stevie girang. Ucapan Stevie benar adanya. Pukul 13.25 WIB, Pak Erlangga muncul di jendela ruang kelas. Beliau melambaikan tangannya sekilas, membuyarkan konsentrasi anak-anak kelas 12 IPS yang masih belajar. Alhasil anak-anak yang langsung heboh sendiri melihat Pak Erlangga datang, lantas meminta izin ke Pak Irham supaya diberi kesempatan bertemu Pak Erlangga di luar. Dan ajaib, anak-anak kelas 12 IPS hanya dalam sekejap berhasil mengepung Pak Erlangga. Anak laki-laki rupanya tidak kalah heboh dengan anak perempuan. Persis seperti kawanan semut yang merubungi gula dan koloni lebah yang merubungi sekuntum bunga.
Rayla yang masih berada di luar barisan pengepung mencoba sedikit membangun interaksi dengan Pak Erlangga.
“Halo Rayla... Sehat?” Tanya Pak Erlangga ramah seperti dulu.
“Alhamdulillah sehat pak. Terus Pak Erlangga juga gimana, sehat?” Balas Rayla.
Pak Erlangga melempar jawaban dari balik serbuan murid-muridnya, “Sehat juga, Alhamdulillah.” Kehebohan yang diawali Stevie sekarang diteruskan Diandra dan Natalie. Dua gadis yang disebut-sebut mengantongi kemiripan wajah ini baru mengetahui kehadiran Pak Erlangga tatkala mendapati ruang Pak Irham mendadak lengang. Mereka lalu melacak keberadaan beliau setelah berhasil diseret ke ruangan Bu Laksmi, tempat mereka sekelas belajar Sejarah tadi siang. Natalie yang belum sempat bertemu Pak Erlangga masuk mendahului Diandra. Natalie kemudian menyalami Pak Erlangga dan selanjutnya berinteraksi secara langsung untuk kali pertama di kelas 12.
Kehebohan kelas 12 IPS belum juga surut di awal jam pelajaran Matematika. Tanpa diminta anak-anak, Pak Erlangga ikut menemani ke ruangan Pak Ja’far. Dan tidak hanya sebatas mengantar masuk ruangan, melainkan Pak Erlangga turut menemani seluruh penghuni kelas 12 IPS menyimak pelajaran Matematika Dasar selama setengah dari dua jam pelajaran. Selepasnya Pak Erlangga keluar kelas dan menyapa guru-guru lain di sekolah.
vvv
Pak Erlangga tidak menyambangi sekolah keesokan harinya. Dengan kata lain, anak-anak kelas 12 IPS tetap belajar seperti biasa sesuai dengan jadwal yang sudah diberikan sebelumnya. Hanya saja, hari ini Rayla sudah kesulitan mengontrol pikirannya tentang rencana foto bareng Pak Erlangga di salah satu studio foto diteruskan makan malam bersama. Apalagi jika ditambah oleh adanya pelajaran Bahasa Jerman pagi ini. Melengkapi jiwa Rayla sudah.
Masih digurui Herr Warsono yang sekarang usianya menginjak angka 47 tahun, siswa-siswi pemilih mata pelajaran Bahasa Jerman pula tetap berkutat pada materi tentang hobi dalam Bahasa Jerman. “Jetzt ich habe ein karten mit das malen auf das hobby. Ihr musst denkt, was ist das hobby.[1]” Beliau lalu mengacungkan segepuk kartu dari tangan kirinya satu per satu. Banyak yang berusaha menebak jenis hobi di kartu, akan tetapi jawabannya salah. Dan peluang kesalahan menebak sangat sedikit bagi Rayla. Saat Herr Warsono menunjukkan gambar orang mendaki gunung, gadis pemakai baju batik hijau lumut ini lantas saja menjawab “Wandern” sebagai terjemahan gambar tersebut dalam Bahasa Jerman. Setali tiga uang, begitu juga saat Herr Warsono menunjukkan gambar dua orang mengayuh sepeda. Tanpa perlu berpikir panjang lagi, Rayla menjawab “Fahrrad Fahren.” Lalu, merasa tidak ingin menang sendiri, Rayla meminta kawan-kawannya agar bisa menjawab pertanyaan dari Herr Warsono. Stevie menerima tantangan teman dekatnya tersebut.
Berikutnya Herr Warsono meminta para muridnya menebak gambar buatan sendiri.
Natalie mengajak anak-anak kelas 12 IPS agar ngerumpi sebentar di ruang Matematika selepas jam pelajaran berakhir sepenuhnya. Maksud Natalie mengajak ngerumpi setelah pulang sekolah ialah ingin berdiskusi menentukan dimana tempat makan malam yang ingin disambangi bersama Pak Erlangga besok. Berfoto sudah pasti di studio Jonas Jalan Banda, namun perkara penentuan tempat makan masih berada di tengah jalan buntu. “Kira-kira ada yang punya usul? Mendingan dimana?” Tanya Natalie di antara kegaduhan anak-anak. Mendengar Natalie bertanya, anak-anak lantas mengusulkan idenya masing-masing. Ada yang ingin dinner di sekitar Jalan Riau-Banda, ada juga yang ingin ke daerah utara. “Macet kalau ke daerah Setiabudi sore-sore gitu. Mending cari yang di tengah kota.” Imbuh Diandra singkat.
“Usul di Marugame ‘Hardono’ deh.” Lidah Nico yang sengaja mempelesetkan nama restoran “Marugame Udon” spontan membuat anak lain tertawa lepas. Disematkannya kata “Hardono” terasa tidak cocok dengan nama asli restoran tersebut. Malah jadi seperti nama pendirinya. Anak laki-laki yang sudah kepalang heboh kemudian mencoba membenarkan penulisan nama restoran tadi.
“Co, lain kali hati-hati menyebut nama orang kayak begitu. Nanti bisa dikira menghina nama orang tua. ‘Pak Hardono’ itu kan ayahnya Fariq.” Matthew mengeluarkan sebaris nasihat bijak yang cepat disambar Stevie. “Iya tuh, betul.”
Rayla lalu menyoraki Stevie disusul anak-anak lain. Ungkapan “aduh,” “so sweet” dan “cieee” mengudara di ruang kelas menyasar diri Stevie yang justru sekarang tersipu malu-malu karena ulah-tingkahnya sendiri.
“Ugh si Stevie, sekali saja nama calon ayah mertua dihina langsung membela habis-habisan geura.” Komentar Hanum dari dekat papan tulis. Dan ujung-ujungnya, setiap anak disuruh mencari restoran masing-masing di rumah.
vvv
Hari yang dinanti tiba juga. Jumat sore yang terakhir di bulan Agustus ini, sesuai janji yang telah diikat dengan Pak Erlangga, penghuni kelas 12 IPS berangkat dari sekolah membidik Studio Jonas Photo yang menjadi tujuan utama mereka. Kebanyakan anak perempuan ikut menumpang di mobil Natalie, meliputi Stevie. Dari bibir trotoar, Natalie menyahut jauh ke arah telinga Rayla.
“Ray, enggak bareng sekalian?”
Rayla kemudian menyahut balik, “Enggak Nat, terima kasih banyak. Aku bareng Haykal.” Alhasil Rayla harus rela membiarkan Natalie pergi lebih dulu. Sehingga wajib baginya untuk lebih sabar menanti Haykal yang tadi mampir ke rumah Diandra bersama Biman. Lebih dari setengah jam yang rasanya lama betul, mata Rayla melihat mobil Kijang model keluaran tahun 1990-an berputar agak jauh dari gerbang sekolah. Di dalamnya Haykal terlihat memegang kendali, Biman duduk di depan dan tidak diragukan lagi Diandra di jok belakang baris kedua. Rayla lantas masuk ke mobil begitu telapak kaki Haykal menginjak pedal rem.
“Aku kira kamu shalat dulu di Masjid Darul Hikam. Tadi sebenarnya mau terus, eh tapi ternyata kamu sudah menunggu di gerbang. Makanya langsung berputar ke sini.” Tutur Haykal tersenyum tipis. Diandra menggeser tubuh kurus nan tingginya ke sisi kanan mobil. Rayla menghempaskan badannya ke kursi, baru mobil Haykal ditancap-gas kemudian.
Sepanjang perjalanan dari sekolah ke studio Jonas, keempat remaja di dalam mobil Kijang itu tiada putus-putusnya berkomunikasi melalui Whatsapp. Rombongan Natalie mengaku masih terjebak macet di pertigaan Jalan Diponegoro. Pun yang naik motor sama sekali belum memberik kabar terbaru. Walau demikian, Rayla tetap berupaya semaksimal mungkin mempertahankan komunikasi. Dan begitu mobil Kijang membelah Jalan Riau, Haykal merasa yakin studio Jonas harus belok kiri dari arah Perempatan Masjid Istiqomah. Pemuda 18 tahun pemilik SIM “A” tersebut menyetir mobil di sepanjang sisi Lapangan Saparua sambil tidak kunjung menemukan studio Jonas. Diandra yang secara pasti mengetahui kesalahan Haykal berikutnya menyuruh kembali ke arah Jalan Riau. “Kal, putar balik ke perempatan kantor pos deh. Tinggal lurus sedikit sudah sampai Jonas kok.” Perintah Diandra seraya membaca peta di ponsel.
“Wah sudah susah lagi Di. Sekalian saja lewat Jalan Sumbawa, Taman Maluku, Rumah Sakit Halmahera terus sampai Jonas.” Ternyata Haykal tidak bisa langsung menuruti perintah Diandra. Lalu ia hanya bisa pasrah.