“Rayla, kayaknya kamu selama belajar di SMA ini menikmati banget suasananya ya. Terus kamu seolah-olah enggak ingin keluar dari dunia itu lewat cara jadi guru. Nah, kamu kan sekarang belajar di sekolah yang nyaman. Tapi nanti, kamu belum tentu kayak sekarang.”Misal, yang muridnya suka tawuran atau ikutan geng motor. Siap enggak?” “Yang kayak begituan ya enggak akan dipilih pak.”
Rentetan kalimat percakapan antara Rayla dengan bapak dan ibu terngiang-ngiang kembali di benaknya tatkala hujan luruh semakin deras masih di ruang tunggu pasien dokter Tedja, dokter gigi langganannya sejak kecil dulu. Dia tiba-tiba teringat akan pertanyaan kedua orangtuanya mengenai cita-cita sebagai guru, atau yang lebih spesifiknya guru Bahasa Jerman. Masa remaja—wabil khusus masa SMA, bagi Rayla seorang diri adalah masa terindah selama 16 tahun hidupnya. Bukan tanpa alasan Rayla mentasbihkan masa SMA menjadi masa terindah, sebab di masa singkat yang berlangsung hanya tiga tahun seumur hidup ini ia bisa mengenali lebih dalam akan arti pertemanan, persahabatan, kebersamaan dan cinta. Maka oleh karenanya, dia ingin kembali lagi ke masa SMA dengan cara bekerja sebagai seorang guru.
Tersadar dari lamunannya barusan, sekarang Rayla melihat seorang wanita pemakai kerudung keluar dari balik pintu ruang praktik dokter Tedja. Usut punya usut, tak ayal lagi wanita berkerudung itu ialah Mbak Aci, perawat sekaligus asisten dokter Tedja. Dia sengaja keluar lewat teras, menembus sekelumit rinai hujan karena ada lain pasien yang turut hendak berobat ke dokter Tedja yang sebenarnya spesialis menangani pasien anak-anak, meski tak selalu begitu. Toh Rayla sendiri tetap berobat ke sini sampai menginjak usia remaja.
Christoff bagai terketuk hatinya begitu melihat seorang gadis sebayanya. Perawakan gadis yang datang berobat seyogyanya sepantar dengan Rayla dan sang kakak. Namun satu hal yang membuat pemuda-pemudi ini merasa tak lazim ialah kesulitan fisik pada gadis tersebut. Ketika baru turun dari mobil bersama ibunya, untuk urusan sekadar berjalan ke ruang praktik saja dia harus digotong berdua sekaligus. Christoff dan Rayla mengambil peran dengan menjadi penunjuk jalan, berupaya menyibak pohon yang menghalangi di depan. Dan ternyata, gadis penyandang kecacatan motorik dan lisan tersebut didahulukan berobat. Alhasil sekarang menunggu adalah fardhu ain alias wajib hukumnya bagi Rayla, Christoff serta bapak.
“Dia juga sudah berobat ke sini sejak kecil pak. Dulu umurnya 6 tahun sekarang 16 tahun.” Ujar Mbak Aci bercerita. “Ya, sama kayak ini berdua.” Bapak menunjuk Rayla dan Christoff yang telah duduk. Mbak Aci lalu pergi masuk ke ruang.
Dilema senja itu menyeruak kembali tatkala sedikit dari kawan-kawan yang menjenguk Andra mengaku telah sampai di rumahnya. Muncul bergelombang sesal pada bathin Rayla karena tak ikut menjenguk. Bahkan dia menyalahkan dirinya sendiri yang memilih jadwal pada hari ini. Namun Rayla berhasil kembali menguasai keadaan cukup dalam sekejap. Ia kini lebih memilih untuk melupakan dilemanya tersebut. Dan cara melupakan dilema yang paling ampuh adalah membaca lagi surat unprep miliknya tadi. Lalu sambil duduk dekat pintu, Rayla merogoh surat berlipat empat dari tas ransel baru kemudian menaruhnya di atas paha agar lebih gampang dibaca. Ia menyibak dulu halaman pertama, dan lalu membaca setelahnya.
Lubuk hati Rayla bergeming membaca itu susunan jadwal kegiatan unprep di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pun lubuk hati dan pikirannya kini melayang jauh ke momen-momen di awal semester ketika alam pikirannya mencurigai akan adanya kegiatan unprep yang mengambil tempat di Kota Gudeg. Dan nyatanya kecurigaan Rayla terbukti benar. Bulan November akan dibuka dengan kisah tentang pengalaman indah mengeksplorasi kota Yogyakarta bersama kawan-kawannya mencakup Stevie. Ahhh, hati senang bila begini.
Rinai hujan mengguyur deras masih. Arloji di pergelangan kanan Rayla telah menunjukkan pukul 17.00 WIB, dan pasien pendahulu Rayla sekarang sudah keluar. Seperti tadi Rayla dan Christoff membantu gadis berambut pendek itu kembali ke mobilnya. Mereka dua kembali menjadi penunjuk jalan. Bahkan tidak sekadar menunjuk jalan, Rayla turut berbaik hati membukakan pintu mobil gadis tadi setelah ibunya memencet tombol pembuka pintu di perangkat kunci. Beres membantu, sekarang tiba giliran Rayla memeriksakan giginya.
vvv
Berbeda drastis dari pekan kemarin serta dua hari kemarin pada minggu terakhir di bulan Oktober 2016 ini. Masih pagi sekitar pukul tujuh, sekolah hanya didatangi oleh murid-murid yang jumlahnya hanya segelintir, sepertinya kurang dari 20 orang. Pun para guru, sebagian ada yang masuk mengajar pada hari ini dan sebagian lagi ada yang tidak. Lantas mengapa demikian? Ada apa gerangan? Oh, Rayla mengetahui jawabannya. Tadi subuh menurut cerita dari teman-temannya yang hari ini ada di sekolah, semua adik kelas Rayla berangkat ke daerah Lembang untuk mengikuti acara Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) selama tiga hari dua malam.
Kepergian para adik kelas mencakup Jacqueline yang ikut berkontribusi jadi panitia mengingatkan diri Rayla pada momen LDK yang tahun lalu dia kawasan Gunung Kareumbi, Cicalengka, Kabupaten Bandung. Tak terasa itu sudah satu tahun berlalu. Sekarang giliran Jacqueline yang menjadi panitia bersama kawan-kawannya dari kelas 11 IPS serta 11 IPA. Dan siswa-siswi kelas 12 memang sama sekali tidak mengikuti LDK di Lembang tahun ini sehingga kegiatan utamanya adalah belajar seperti biasa. Tetapi hari Rabu pagi ini, jumlah murid kelas 12 pun sangat sedikit. Sepuluh orang saja tidak sampai. Di kelas IPS ada Rayla, Fandy, Stevie, Nico, Hanum dan Diandra. Kelas IPA hanya menyisakan Ulki seorang diri.
Lantas pergi kemana anak-anak angkatan sembilan yang lain? Jawabannya, tentu saja mereka juga pergi ke wilayah Lembang namun berbeda lokasi dengan murid yang LDK. Mayoritas murid angkatan sembilan hari ini berpartisipasi dalam seminar tentang pengelolaan keuangan yang menyasar para pelajar SMA dan mahasiswa sebagai pesertanya. Oleh karena itu, mereka sudah langsung berangkat dari rumahnya masing-masing tadi pagi. Sementara Rayla, belum apa-apa sudah menolak kesempatan ikut seminar tentang keuangan tersebut sebab dia selalu takut dan trauma dengan hal-hal seputar menghitung.
Akan tetapi walau demikian, tetap tinggal di sekolah tidak juga menjadi solusi penghilang ketakutan akan menghitung sebab Rabu pagi ini menurut jadwal pelajaran, dia wajib mengikuti jam pelajaran Ekonomi yang digurui oleh Ibu Mita. Lewat dua bulan terakhir ini, mata pelajaran Ekonomi kelas 12 tidak kenal henti membahas tentang Akuntansi. Angka-angka yang dikepung garis tabel selalu menari ligat di atas halaman buku pelajaran Ekonomi. Dan biasanya jika harus menghitung tabel akuntansi, Rayla selalu berada dekat dengan Fandy. Hari ini pun begitu. Rayla duduk memisahkan diri dengan Fandy di lain meja. Sementara Stevie, Diandra, Nico dan Hanum membentuk kongsi dengan Bu Mita dekat papan tulis.
Ukie seperti terkatung-katung sendiri di kelas lain. Dari tadi dia sibuk dengan laptopnya sambil terus berpindah ruangan. Ikut bergabung bersama kongsi anak 12 IPS sangat tidak mungkin. Walau mata pelajarannya sama-sama menghitung, namun format menghitung antara kelas 12 IPS sudah pasti berbeda dari kelas 12 IPA. Alhasil Ukie menyendiri di perpustakaan bersama sedikit anak-anak kelas 10 dan 11 yang tidak ikut LDK.
Pelajaran tetap berlangsung seperti biasa sepanjang hari yang sepi.
vvv
Rayla mengikat janji sudah dengan Bu Rita untuk melakukan perwalian secara personal. Biasanya Bu Rita meminta muridnya agar jauh-jauh hari mengikat janji untuk bertemu secara personal. Dan Rayla memilih hari Kamis sebagai waktu untuk menemui guru Biologi yang baru masuk mengajar tahun ajaran ini, seperti biasa. Lalu saat Rayla sudah selesai mengerjakan tugas Matematika pada jam pelajaran dimana Pak Ja’far tak hadir karena mesti mengantar anak-anak kelas 10 dan 11 ke Lembang, Rayla tanpa pikir panjang lagi langsung datang menghampiri Bu Rita di perpustakaan. Tidak seorang diri Bu Rita di perpustakaan, sebab di sana ada Bu Eveline sang koordinator perpustakaan dan Bu Tria, asisten koordinator kelas 12. Rayla mengambil posisi duduk dekat Bu Rita untuk memulai pembicaraan.