Rayla

Rivaldi Zakie Indrayana
Chapter #61

Ekspektasi Ke Depan

Rayla, dalam benaknya sibuk memutar-mutar memori sepanjang tahun 2016 yang menurutnya menjadi salah satu tahun terbaik selama 16 tahun hayatnya. Masih kental dalam ingatannya, ketika bagaimana Rayla asyik merangkai mimpinya bekerja sebagai Guru Bahasa Jerman di suatu sekolah usai menjalani proses perkuliahan di jurusan Pendidikan Bahasa Jerman UPI. Dan seolah enggan mengubur mimpinya itu dalam-dalam, ia iseng membuat blog.

Isi akun blog itu didominasi khayalan Rayla jika nanti sudah bekerja sebagai Guru Bahasa Jerman yang ia ceritakan sendiri—disusul keberadaan murid kesayangannya. Murid yang kisaran usianya masih remaja adalah daya tarik untuk dapat mengambil profesi sebagai guru. Lambat laun, dia mulai suka menulis cerita tentang pengalaman masa remajanya di blog menggunakan alur cerita campuran. Lalu, biasanya, gadis bertubuh kurus tadi hendak menyisipkan kawan-kawannya sendiri sebagai tokoh dalam cerita perjalanan di Eropa. Contoh, di Belanda ia pergi mengembara dari satu kota ke lain kota menggunakan mobil untuk berikutnya berhenti dan memulai cerita sampai beres, lalu meneruskan perjalanan lagi. Itu kebiasaan, bersemayam lekat pada tabir impian dalam jiwa Rayla berbulan-bulan lamanya hingga kurang lebih Oktober kemarin sampai sudah pada puncak kejayaannya. Segelintir cerita ada yang paling dirinya cintai, lalu selepasnya tak banyak lagi yang dapat ia kisahkan. Hanya menyumbang tiga cerita bulan November saja, Desember enyah sedikit maknanya sudah kendati Rayla mengerahkan upayanya biar gaya puitis sang arwah dari ceritanya tetap bernafas hidup. Kenangan tinggal kenangan akan tetapi. Hasil berkata lain pabila demikian yang terjadi pada dirinya di masa remaja yang indah ini.

Tersadar dari lamunan, mata Rayla sontak menangkap kelabat wajah Stevie dan Tiffany di trotoar pedestrian Jalan Ganeca yang menyambungkan Jalan Dago dengan Kampus ITB. Ini hari yang cerah dan belum mencapai setengah masa libur panjang, Rayla mengajak kedua gadis yang punya wajah oriental barusan supaya boleh ikut kongkow alias nongkrong bareng di sekitar Kampus ITB. “Biar enggak bosan di rumah sekaligus hitung-hitung tahu ITB.” Imbuh Rayla memaparkan maksud alasan jiwanya memboyong lain gadis agak sedikit menjauhi pelataran rumah. Dan Stevie maupun Tiffany, hanya bisa menuruti instruksi Rayla ke ITB. Tiffany, belum pernah sepanjang hayatnya 14 tahun ini bercumbu dekat dengan ITB, satu dari sederet lumbung ilmu kelas kakap tanah air yang bulir-bulir ilmunya diincar hasrat banyak manusia dari pelbagai penjuru bumi pertiwi sedang Rayla dan Stevie, dulu bercumbu pernah dengan area Kampus ITB terlebih lagi tatkala pada suatu waktu, mahasiswa dan mahasiswinya menggelar “Pasar Seni.” Itu pasar sekaligus lautan manusia hanya hendak dijumpai selalu empat tahun sekali. Sehingga janganlah dikau heran jika manusia sanggup tumpah ruah bak Es Cendol di sana.

Dan walau mencumbui sisi pinggir ITB, Rayla-Stevie-Tiffany takkan menelusuri penuh seluk beluk bangunan kampus buatan era kolonialisme Belanda itu. Hanya ingin mereka bersepoi-sepoi menyambut angin yang datang dibawakan oleh rimbunnya dedaunan pohon. Busana santai kawan sejati tiga dara rupawan ini. Stevie apalagi. Kaos putih berlukiskan banyak mungil menemani ia menikmati angin pagi ITB sekarang serta yang unik diperhatikan satu pasang atau bahkan banyak pasang mata, Stevie memakai celana pendek saja saat menyapa angin pagi ditambah sandal jepit di kedua telapak kaki putihnya. Hmmm, cantik nian ini anak gadis. Lebih dan kurangnya begitu orang-orang memuji keelokan pesona fisik Stevie.

Celana legging kelabu menjadi Stevie sekarang. Bahannya yang tipis membuat celana legging kelabu itu tak bosan-bosannya menjadi primadona Stevie. “Di rumah, selain sarung atau rok selutut aku juga sering pakai legging kayak gini. Enak juga, bisa buat olahraga.” Terang Stevie di bawah pohon yang menjorok ke ITB. Sandal jepit hijaunya sesekali bergoyang-goyang di bawah kaki Stevie. Dan Rayla ternyata tidak banyak bicara selama kongkow di Jalan Ganeca. Paling hanya sebatas mengiyakan segala ucapan Stevie, lalu menganggukkan kepalanya.

“Ada yang mau kacang?” Tiffany tahu-tahu menyodorkan sebungkus kacang kulit kepada Stevie dan Rayla. Mereka berdua tersentak kaget saat ada ratusan butir kacang kulit dalam bungkusan kertas HVS bekas di hadapan mereka. “Mau dong!!!” Ujar Rayla mencomot beberapa butir kacang dibuntuti Stevie. Kacang yang barusan diambil, lalu dikunyah satu per satu. “Kamu beli dimana? Kok enggak bilang-bilang?” Tuturnya usai menghabiskan separuh jumlah kacang. “Halah masih dekat kok. Tuh di sana.” Timpal Tiffany seraya wajah ovalnya menunjuk ke sebuah gerobak pedagang kacang kulit. “Lha kamu beli di sana...” Timpal Stevie. Kacang kulit lalu dicomot lagi oleh Rayla juga Stevie. Tiffany baru mencomot beberapa lagi justru belakangan walau ruas jemarinya sendiri yang memegang bungkus kacang. Dan saat rongga mulut Tiffany mengunyah kacang, otaknya baru seperti mendapatkan inspirasi obrolan baru pada dua gadis cantik di sebelahnya. “Eh, ngomong-ngomong nanti pada mau kuliah di ITB enggak?” Ujarnya santai mengikuti lelambaian nyiur angin pohon. “Insha Allah aku mau daftar ke FSRD fan. Kamu mau kuliah dimana?” Tutur Stevie. “Hmm, masih belum tahu euy. Palingan sih mau juga masuk Unpar, Binus atau Pelita Harapan enggak tahu jurusan apa.” Balas Tiffany polos.

“Eh, btw kenapa FSRD? Bukan masuk jurusan langsung semisal DKV, Seni Grafis atau apa gitu...” Stevie kaget mendengar sambungan kata-kata Tiffany mengenai FSRD-ITB. “Kalau masuk jurusan seni ITB, waktu pendaftaran di tahap awal kita harus menyebutkan FSRD dulu Karena di setahun pertama, mahasiswa masih dapat kuliah tentang kesenian umum terus baru mulai spesifikasi jurusan di tahun kedua. Misalnya mau masuk DKV, Seni Kriya, Patung, Seni Desain Grafis atau seni yang lain.” Tiffany mengangguk penuh pengertian. “Kampus lain gimana? Selain FSRD ITB Kak Stevie mau kemana lagi?” Kini Tiffany bertanya lagi. “Mungkin langsung spesifikasi jurusan kalau di kampus lain mah. Pilihan alternatif selain FSRD ITB, Insha Allah mau ke Hubungan Internasional Unpar bareng Kak Rayla. Terus dia ingin ke Bahasa Jerman UPI.” Terang Stevie panjang lebar sebelum Tiffany bertanya lagi.

Lalu Rayla yang sedari tadi lebih banyak diam seribu bahasa, ikut menimpali pembicaraan seiring dengan adanya lalu-lalang mahasiswa ITB di depannya. “Insha Allah aku daftar ke UPI nanti, semoga masuk lewat jalur SNMPTN biar enggak berat di tes tertulis. Terus, Sastra Jerman Unpad, kayaknya aku daftar juga Karena waktu aku baca kurikulumnya enggak beda jauh dari Bahasa Jerman UPI.” Ujar Rayla penuh harap dalam ekspektasi ke depan. “Eh, sorry aku lupa bilang. Seni Rupa UPI juga mau daftar ke sana biar nanti lebih gampang jadi guru kayak Kak Rayla.” Stevie menambahkan daftar universitas tujuannya belakangan. UPI rupanya menjadi pilihan kedua Stevie untuk melabuhkan mimpinya.

Serta terlampau dua tahun mengikat tali pertemanan dengan Rayla membuat Stevie melihat akan banyaknya kesamaan sifat karakter. Pandangan politik selaras sejak awal masa pemerintahan Jokowi sebagai Presiden Indonesia, selera musik hingga cita-cita di masa mendatang seluruhnya melekat erat pada diri mereka berdua. Dan bila begini, rasanya akan sulit untuk berpisah saat nanti sudah mengawali masa kuliah di perguruan tinggi.

vvv

Lihat selengkapnya