Cuaca sepanjang Januari, sayangnya tidak banyak berpihak pada suasana hati Rayla sekarang di ruang sekolah saat tiba minggu pertamanya kembali belajar. Semester ini sebagai siswi kelas 12, bersama kawan-kawannya dia akan menjalani banyak ujian yang merupakan proses evaluasi akhir pembelajaran beberapa kali dengan jenis yang berbeda-beda. Bulan Januari serta Februari ini, kelas 12 masih akan terlebih dahulu mengikuti kegiatan belajar-mengajar sepenuhnya dan baru mulai bulan Maret nanti, akan banyak ujian yang dijalani.
Pekan ini malah, biar terhitung masih pekan pertama di semester genap, kelas 12 sudah melaksanakan try-out SBMPTN tanggal 12 Januari. Semula Rayla menganggapnya akan mudah seperti yang pernah ia jalani sehabis UAS bulan Desember lalu. Namun, rupanya ekspektasi Rayla berbanding terbalik hari Kamis ini saat hujan mengguyur kota Bandung dari pagi. Berulang kali, tangan kanannya menggaruk-garuk kepala karena sulit memahami soal barusan. Ia tak jarang membolak-balikkan kertas soal di atas lembar jawaban yang sudah ia isi sedikit.
Jiwa Rayla bertambah frustasi saat mencoba menjawab rumpun soal Matematika, mata pelajaran yang jelas dia benci selama SMA. Ia tampak uring-uringan, kesal dan seperti sedang memarahi soal Matematika yang menurutnya hidup dengan penuh gelimang dosa. Teman-temannya turut menyemangati Rayla karena tidak ada aturan try-out berjalan kondusif. “Rayla, gimanapun juga di dalam hidup, kamu pasti butuh Matematika. Apalagi kalau jadi politisi, biasanya nanti harus menghitung laju pertumbuhan ekonomi daerah atau negara.” Ujar Diandra persis di depan Rayla. Emosinya hari ini sudah memuncak, dan ia tak sempat merespon Diandra. Dia justru bangkit dan membenturkan kepala ke papan tulis menyebabkan tempurungnya agak sakit. “Rayla, sudah kerjakan yang kamu bisa saja.” Lalu masih dalam frustasi tingkat tinggi, Rayla membolak-balikkan kertas yang dia mampu beri jawaban.
Alif, saat Rayla kembali melihat soal Matematika dengan frustasi parah, mencoba menyemangati teman perempuannya ini. “Pasti bisa, Ray.” Ujarnya di bangku kedua dari barisan paling depan. Akan tetapi bukannya menjadi lebih semangat, Rayla justru tambah murka seraya bibirnya lantang mengatakan, “Jangan mau dibohongi pakai Soal Matematika!!!” Seisi kelas spontan terkejut karena ucapan Rayla tadi. “Nanaonan Rayla téh?[1]” Fatimah berucap penuh keheranan di bangku belakang sedang Alex mencoba bertanya maksud ucapan Rayla tadi. “Ray, itu penistaan Matematika ya?” Rayla hanya diam masih dengan emosi yang baru dilepaskan jauh-jauh.
Ia sekarang merasa lebih lega usai melepaskan jauh-jauh emosinya barusan.
Siang harinya tatkala langit tetap mendung, Rayla seperti biasa mengajak Stevie berdiskusi mengenai soal simulasi SBMPTN barusan di kantin. “Aku heran ya Stev, sebulan lalu soal try-out SBMPTN kayak gampang banget waktu dikerjakan. Tapi kenapa sekarang harus sesusah itu coba? Pusing banget dah lihat Karena, apalagi kalau ada Matematika. Ugghh!!!” Nyatanya masih ada sisa uneg-uneg di dada Rayla selepas try-out SBMPTN barusan. “Ya coz sebulan lalu kita ‘kan baru beres UAS. Mungkin ingatan kita tentang materi-materi pelajaran masih segar, makanya waktu mengerjakan soal try-out SBMPTN jadi gampang.” Argumentasi Stevie dirasa benar oleh Rayla saat ia menatap garis wajah oriental teman dekatnya tersebut. Lalu Stevie meluapkan argumentasinya yang didominasi kebencian terhadap Matematika sejak SD. Menurutnya Matematika sangat sulit dipahami, hanya menjadi momok akademis baginya. Lebih saat SMP, dia semakin benci ditambah adanya keinginan 100% menghindarinya hingga dia merasakan kebencian berlebih selama tiga tahun SMA. “Kalau bisa masuk jurusan kuliah yang Matematikanya sedikit, atau enggak ada sekalian.” Stevie mendeham sejenak, minum air lalu meneruskan omongannya. “Umpamanya bisa, Matematika dihapus dari kurikulum saja. Coba kalau ada pembenci Matematika jadi Presiden Indonesia, mungkin dia bisa bertindak macam itu.” Seumur-umur berkawan dekat, baru kali ini dia melihat Stevie memarahi sesuatu yang dianggap hina menurut kebencian akut.