Langit Samudera Atlantik, empat tahun tujuh bulan kemudian.
Keempat mesin rolls-royce besar pada kedua sayap pesawat Emirates Airlines Airbus A380-842 berputar-putar kencang saat pilot menerbangkannya pada ketinggian 33.000 kaki di atas Samudera Atlantik. Seorang gadis 21 tahun tersenyum puas menatap foto di kamera DSLRnya ketika ia berdiri di belakang pintu kokpit. Dalam kokpit itu, empat pilot—dua di antaranya bertugas mengendalikan sistem dan alat kemudi pesawat sedangkan sisanya mengawasi di belakang. Mereka kelihatan serius bertugas. Pintu kokpit yang terbuka agak lebar pagi ini memungkinkan Rayla mengintip aktivitas pilot di sana. Sesekali dia memotretnya supaya nanti bisa ditunjukkan kepada bapak. Berselang tak lama, seorang gadis sebayanya keluar dari kamar mandi. Dia mengajak kembali ke kursinya. Rayla hanya menuruti permintaan Stevie, gadis yang baru keluar kamar mandi itu dan mereka mendapati empat kawannya menanti. “Sebentar lagi kita sampai di Kanada.” Gumam seorang pemuda berjaket pilot di kursi paling tengah.
Rayla, saat dirinya baru saja menduduki kursi kembali lantas iseng menilik navigasi jarum jam tangannya di pergelangan kanan. Kini waktu menunjukkan pukul 08.25 waktu Samudera Atlantik. Berdasarkan jadwal penerbangan yang Rayla dan keempat kawannya terima jauh-jauh hari sebelum terbang, pesawat tumpangan mereka direncanakan hendak mendarat di Bandara Internasional Toronto pukul 09.30 waktu setempat. Artinya, kurang lebih mereka akan mendarat satu jam lagi. Rayla tersenyum puas melihat sisa waktu penerbangan terpanjangnya sepanjang hidup. Namun senyumnya mendadak sirna tatkala seseorang berbicara lewat pengeras suara.
“Ladies and gentlemen, this is your captain speaking. Now we are still flying in the highness level of 33.000 feet over Atlantic Ocean. The local time now is 08.25 o’clock and we will landing at Toronto Pearson International Airport at 09.30 o’clock. But few minutes ago I receive a report about an unfriendly weather over Canada. So, because of that, now I will take this plane to turn around before we delayed to landing while our avtur is still enough and don’t worry. Thank you for your attention.”
Pengumuman pilot sekejap mengubah waktu tempuh perjalanan Rayla ke Kanada. Cuaca buruk membuat Kapten Hamid Al-Khabeer memutuskan berputar sedikit lebih jauh dari rute asli.
Pesawat semakin terbang merendah walau jalurnya melantur. Rayla dan Stevie, karena duduk dekat jendela dan sayap kiri bisa melihat daratan Kanada sambil tak lupa memotretnya. Lalu sebelum awak kabin menyuruh penumpang mematikan gawai, Stevie menepuk-nepuk tangan Rayla pertanda ingin memberitahu sesuatu. “Ray! Jacqueline tanya ‘sudah sampai mana?’ Jawab apa kira-kira?” Rayla kemudian mendekatkan kepalanya ke arah laptop Stevie. “Kasih tahu, cuaca agak kurang bersahabat. Pilot mau berputar enggak tahu berapa lama. Tapi kita pasti telat mendarat.” Dan jemari Stevie menari ligat di atas keyboard laptopnya. Tulisan “Online” terpampang di bawah nama Jacqueline. Beres mendikte Rayla, Stevie menekan tombol enter untuk meladeni Jacqueline yang langsung mengetik balasan. “Siap deh kak... Cuaca di Kanada memang lagi agak kurang bersahabat. Jadwal penerbangan sama berita TV juga bilang begitu...”
Pesona langit fajar dengan pemandangan matahari terbit memanjakan kelopak mata indah Rayla pagi itu. Berulang kali dia memotret matahari yang hampir terbit.
Wushhh.... Roda pendaratan pesawat berhasil menjejak permukaan landasan Bandara Internasional Toronto Pearson pukul 10.45 waktu setempat. Badan Rayla dan Stevie sampai berguncang-guncang. Lambat laun dua pilot yang kebagian tugas memegang kendali pesawat memperlambat laju sambil berjalan mencapai garbarata. Hari sudah lebih terang namun tetap bersalju, penumpang berduyun-duyun turun meninggalkan pesawat. “Jazakumullah hairan katsiran.[1]” Tutur Fariq mengucapkan terima kasih kepada semua awak penerbangan di ambang pintu depan pesawat. Turun kian jauh dari si burung besi, Rayla mengayun langkah bersama lima kawan semasa SMA-nya menuju loket imigrasi serta tempat pengambilan bagasi. Fariq dan Stevie yang sudah saling mencintai memimpin di paling depan. Lewat antrian panjang di loket imigrasi, mereka kini beranjak mengambil bagasi sebelum keluar melalui pintu kedatangan.
Dan tubuh Rayla serta Stevie dibekap erat-erat oleh Jacqueline begitu melewati pintu kedatangan Bandara Internasional Pearson Toronto. Ini menjadi pertemuan pertama antara Jacqueline dengan para kakak kelasnya setelah berpisah empat tahun lamanya. Perlu diketahui, begitu lulus SMA Jacqueline mengambil keputusan masuk kuliah di HI Unpar mengikuti Rayla dan Stevie. Di tengah jalan ia memutuskan ikut program student exchange di Kanada. Kini dia sudah tiga bulan menjalani pertukaran sebelum kembali ke Indonesia tahun depan. Keberanian Jacqueline merantau jauh di usia muda patut dibanggakan oleh Rayla dan Stevie.
Asyiknya percakapan di teras bandara membuat mereka lupa waktu juga tidak menyadari akan adanya udara dingin yang membekap tubuh mereka. Lalu enggan berlama-lama dibekap udara dingin berbonus guyuran salju putih, mereka menyegerakan diri berangkat ke rumah Jacqueline menggunakan kereta api bawah tanah. Tangan mereka terus-terusan memegang tas koper milik masing-masing selama di kereta bawah tanah. Sementara Jacqueline duduk sangat dekat dengan Rayla dan Stevie demi melepas rindu. Mereka lantas membersihkan diri, makan malam dan istirahat setiba di rumah Jacqueline siang harinya.
vvv
Esok harinya Stevie mengajak seisi rumah Jacqueline datang mengunjungi Saint-Raymond, sebuah kota kecil di pedalaman Quebec. Menurut pengakuan Stevie, jarak tempuh dari Toronto ke Saint-Raymond sangat jauh dicapai memakai mobil. Tetapi sejauh-jauhnya Saint-Raymond, cara mencapai yang paling efektif hanyalah mengendarai mobil semata. Maka secara sepihak Stevie memutuskan pergi menggunakan mobil dan berhubung tidak ada yang membawanya, salah seorang tetangga Jacqueline berbaik hati meminjamkan mobil VW minibusnya. Pun kebetulan Matthew memegang SIM Internasional. Ketika ditawari diantar, Matthew menolak halus dan meminta Stevie menunjukkan jalan ke arah Saint-Raymond tempat tinggal orang tua angkatnya kala mengikuti program foreign exchange pada masa kuliahnya dulu. Dan silih berganti nuansa jalanan yang Matthew libas. Mula-mula perkotaan, batas kota, hutan pinus dan cemara, padang rumput, padang bunga, peternakan hingga ladang kebun. “Masih ingat banget waktu ikut pertukaran dulu...” Kenang Stevie masih dalam perjalanan mengunjungi orang tua angkatnya.
Kian menjauh, Stevie kian sibuk membaca peta demi mencari navigasi tepat ke arah Saint-Raymond sementara Matthew terus menyetir. Sedangkan di jok belakang, Rayla asyik melihat pemandangan yang terus silih berganti. Pula sesekali, dia menavigasikan bola matanya ke arah wajah Jacqueline yang menurutnya tidak banyak berubah. Topi merahnya sejak dulu tetap bersemayam rapi di atas kepala menutupi sedikit rambut panjangnya dan wajah Stevie juga tidak luput. Kecantikannya tak memudar, malah keindahan matanya justru hari ini memancarkan memori-memori masa remaja yang kembali hidup dengan nafas segar.
Anak-anak muda di sekelilingnya turut begitu walau sekarang mereka sudah dibedakan perjalanan hidup masing-masing. Biar dulu tidak kuliah satu jurusan, akan tetapi pertemanan merangkap persahabatan menjadi harta karun paling berharga sampai kini. Dan sesekali, Rayla menghidupkan lensa kameranya supaya dapat mengabadikan pemandangan-pemandangan alam dari balik kaca mobil. “Guys siap-siap sebentar lagi kita sampai di Saint-Raymond. Matthew, punten[2] ya nanti perlambat laju mobil biar mereka tahu kotanya.” Ucap Stevie. Mencakup setitik perlintasan kereta api sebidang tidak luput dari pandangan Rayla sepanjang perjalanan menuju “kampung halaman” Stevie pada hari kedua kunjungan ini. Sinyal pertanda akan lewatnya serangkai kereta api berdenting kencang tatkala Matthew mengerem tak sampai satu meter dari rel. Palang portal menghalangi jalan mereka sekarang, dan hanya dalam fraksi sepersekian detik berselang kereta lewat membuyarkan lamunan Rayla dan Stevie. “Ih kenapa aku baru sadar sekarang-lah ternyata kita bisa naik kereta dulu sampai Montreal. Hitung-hitung hemat waktu.”