Re:

AvaRe
Chapter #2

Dongeng 1 - Sejarah Re:


“Ray! Buruan! Keburu penuh tuh warnet,“ suara keras Didit menggelegar dari ujung lorong kelas yang sudah hampir kosong.

Tiap hari Selasa. Tidak, bukan tiap Selasa kami memiliki rutinitas main ke warnet. Kalau masalah itu, hampir setiap hari (selama sisa uang saku masih mencukupi). Tapi biar aku bahas masalah hari Selasa ini.

Sekali lagi, tiap hari Selasa, jam pelajaran terakhir. Jujur saja, aku selalu ingin menghilang tiap hari Selasa.

Berawal dari awal tahun ajaran baru dua bulan yang lalu. Ah, iya. Maaf. Cerita ini berlatar delapan tahun yang lalu, ketika aku baru naik kelas 3 SMA. Memang bukan awal dari segalanya, tapi aku memang lagi pingin cerita aja. Masalah?

Seperti biasa, tiap kenaikan kelas, itu artinya guru pelajaran kita akan ganti. Bahkan yang lebih keren, mungkin cuma di sekolahku, dari awal aku masuk kelas 1 sampai lulus, aku merasakan masa tiga kepala sekolah yang berbeda. Itu artinya, tiap tahun sekolahku ganti kepala sekolah. Apa ada juga yang pernah merasakan? Kalau iya, aku tebak kita mungkin satu sekolah. Hahaha.

Berbicara tentang pergantian guru ini, kita tidak bisa memilih akan dapat guru yang seperti apa dan bagaimana. Mungkin kita bisa tahu siapa namanya dan yang mana orangnya, tapi bagaimana sifatnya, bagaimana dia mengajar? Entahlah. Coba rasakan sendiri adalah jawaban yang tepat.

Guru juga manusia. Sangat tepat sekali. Hanya saja, jika kita berbicara karakter dan kepribadian manusia, satu planet jawabannya. Meskipun banyak yang terlihat mirip, meskipun sudah banyak ilmuwan dan para psikolog yang mengkotak-kotakkan tipe-tipe kepribadian manusia, bahkan yang lagi populer belakangan ini, Myerr Briggs Type Indicator, yang gak tanggung-tanggung bikin enam belas macam kepribadian, tapi realitanya tidak ada manusia yang memiliki sifat benar-benar identik. Semua memiliki ciri pembedanya masing-masing. Siapa sih yang suka disama-samakan?

Guru … ada yang baik hati, ada yang ramah, ada yang killer, ada yang murah nilai, ada yang pelit nilai, ada yang humoris, ada yang selalu serius, ada yang pilih kasih, ada yang sifatnya paradoks, ada yang merasa setingkat Dewa alias merasa selalu benar.

Dan begitulah. Aku pernah bertanya kepada beberapa teman sekelas apa mata pelajaran favorit mereka dan mata pelajaran yang mereka benci. Rata-rata menjawab suka dengan pelajaran olah raga, beberapa bilang suka pelajaran seni, dan komputer (karena bisa diam-diam buka facebook dan download film dan Drama Korea ilegal waktu pelajaran). Dan untuk pelajaran yang dibenci, hasil polling teratas masih diduduki oleh matematika, diikuti oleh IPA, lalu bahasa Inggris.

Lalu bagaimana denganku? Untuk pelajaran yang kubenci, dengan senang hati aku akan menobatkan pelajaran olahraga di posisi teratas. Disaat banyak anak laki-laki lain yang sangat menggemari pelajaran olahraga, aku benar-benar membencinya. Aku bukan tipe orang yang suka berolahraga. Aku lebih suka menghabiskan waktu untuk tiduran sambil baca komik atau novel, atau tidur beneran. Jika tumimbal lahir atau reinkarnasi itu memang nyata, aku yakin dikehidupan sebelumnya aku adalah seekor kucing. Satu-satunya yang kusuka dari pelajaran olahraga adalah aku bisa memakai kaos dan celana training tanpa perlu mengenakan seragam yang ada standar khususnya, yang kalau salah pakai dikit langsung dapat salam dari guru tatib. Karena begini-begini, aku adalah tipe manusia dibalik layar yang sebisa mungkin selalu menghindar dari masalah yang berkontradiksi, karena jauh di dalam hatiku aku adalah seorang rebel. Hahaha.

Pelajaran yang kusuka? Jawabanku hanya satu. Relatif. Aku tidak pernah benar-benar menyukai mata pelajaran tertentu. Tapi apakah aku akan menikmati pelajaran itu atau tidak, semua bergantung pada guru yang mengajar. Se-me-nye-nang-kan bagaimanapun sebuah mata pelajaran, kalau guru yang mengajar itu menyebalkan, aku akan selalu berharap semoga waktu bisa berlalu dengan cepat. Bahkan aku kadang menghabiskan belasan menit hanya untuk memandangi jam dinding, dengan menaruh jari telunjuk dan tengahku di pelipis kanan, menirukan gaya ala Romy Rafael di TV, menanamkan sugesti dari alam bawah sadarku biar jarum panjang itu tiba-tiba berputar dengan cepat. Menghipnotis jam dinding. Sayangnya tidak pernah berhasil (atau aku yang kurang berusaha, atau bisa jadi juga aku salah ilmu. Seharusnya bukan hipnotisnya Romy Rafael, tapi mentalisnya Dedy Corbuzier).

Dan untuk ketiga kalinya aku katakan, tiap hari Selasa … Ah, sekarang aku ceritakan apa yang terjadi dua bulan yang lalu. Tidak ada hal khusus usai pembagian kelas, perkenalan wali kelas baru, lalu memilih siapa-siapa yang akan menjadi pengurus kelas (kecuali aku yang entah bagaimana bisa terpilih menjadi ketua kelas … lagi—tanpa ada voting, tapi hanya karena dari semua siswa di kelas, aku yang punya rangking paling tinggi semester kemarin, sudah berpengalaman, dan begini-begini aku lumayan populer sebagai siswa ganteng, pintar, dan misterius (kalau tidak tahan, muntah saja tidak apa-apa); yang tanpa ba-bi-bu langsung ketok palu menyatakan diriku sebagai ketua kelas, tanpa ada waktu untukku melakukan protes dengan alasan waktunya mepet—bisa dibilang sebuah kejadian ajaib.

Kemudian lanjut dengan rutinitas biasanya. Ada jam kosong spesial, lalu ketua kelas turun ke ruang Tata Usaha atau TU, mengambil lembaran jadwal pelajaran, kembali ke kelas, menyerahkannya ke sekretaris kelas untuk ditulis di papan tulis, yang kemudian mendapat banyak protes dari para warga kelas yang budiman calon masyarakat penerus bangsa, yang menuntut agar lembaran jadwal pelajaran itu di fotocopy saja. Lalu Ibu Sekretaris Kelas yang setali tiga uang, menghampiri meja ketua kelas untuk meminta persetujuan dan saran penyelesaian masalah, namun sayangnya Bapak Ketua Kelas sudah pura-pura ketiduran.

Tidak ada masalah dengan jadwal pelajaran baru itu. Hanya saja, hari Selasa, jam pelajaran terakhir adalah pelajaran PAI atau Pendidikan Agama Islam.

Jangan berburuk sangka dulu. Sebagai seseorang penganut agama Islam warisan dari jamannya buyutnya buyut (meski aku yakin nenek moyangku dulu bukan seorang muslim, kemungkinan besar penganut animisme, lalu menjadi seorang Hindu atau Buddha; kalau dipikirkan dari segi sejarah bangsa Indonesia), aku tidak pernah punya masalah dengan pelajaran itu. Malah sejak SD aku lumayan suka karena rata-rata guru Agama Islam itu humoris. Tapi tidak kali ini.

Seperti yang kubilang di atas, suka atau tidaknya aku dengan suatu mata pelajaran itu relatif, tergantung pada guru yang mengajar. Jadi bukan suka atau tidak aku dengan suatu mata pelajaran, tapi suka atau tidak aku dengan ‘guru‘ suatu mata pelajaran.

Semua berawal dari konflik kecil, entah karena aku yang tanpa sadar melepaskan kunci pengaman mulutku ini, atau karena guru Agama baru itu yang lagi pms. Tapi aku sadar, yang salah adalah kita berdua, sama-sama egois. Sama-sama tidak mau salah.

Sudah menjadi aturan tak tertulis, jika dalam waktu sepuluh menit guru belum masuk kelas, tugas ketua kelas adalah untuk pergi mencari sang guru, entah dimanapun itu, sampai ketemu. Di momen inilah aku sangat ingin menyumpahi siapapun yang menobatkan diriku menjadi ketua kelas (lagi).

Tujuan utama tentu saja Ruang Guru yang ada di lantai satu. Kelasku tahun ini, ada di lantai empat. Di ruang guru beliau tidak ada, mau tidak mau aku harus mencarinya keliling sekolah. Tetap tidak ada. Kuputuskan kembali melihat ruang guru, masih tidak ada. Jadi kupikir mungkin beliau sudah masuk kelas. Kalaupun belum, tinggal bilang saja gurunya menghilang, dan kita jam kosong. Teman-teman bahagia, dan aku dapat pahala karena membuat teman-teman bahagia. (Lupakan).

Sayang sekali, saat mau kembali, sudah setengah jalan di anak tangga menuju lantai dua, tiba-tiba ada suara ibu-ibu yang memanggil dari arah Ruang Guru yang jaraknya sekitar lebih dari tiga puluh meter dari posisiku kini. Beliaulah yang dicari-cari, Yang Terhormat Ibu Guru Pendidikan Agama Islam.

“Hei, kamu ketua kelasnya 3 IPA 1?”

Dengan nada enggan aku setengah berteriak, “Iya, Bu!”

“Sini.“

“Barusan mau kemana? Kok gak panggil saya? Ini jam pelajaran saya, kan? Ini sudah jam berapa?” cercah beliau.

Sialan. Ibu pikir dari tadi saya ngapain, mondar-mandir dilihatin guru lain, menghabiskan banyak energi yang berharga di siang bolong yang terik dan menggerahkan ini, bolak-balik dikira guru lain saya lagi bolos kelas.

“Ini saya habis cari Ibu, udah keliling-keliling ibunya gak ada.”

“Cari kemana? Lha ini saya ada,” kata sang Ibu guru yang berjilbab hijau muda yang mungkin usianya sekitar pertengahan empat puluhan itu dengan nada yang lumayan ketus.

“Iya, sekarang, kan tadi nggak ada.”

“Ya cari dong makanya sampai ketemu, gimana sih, kamu ini. Tugasnya ketua kelas itu. Saya barusan habis dari kantor Dinas Pendidikan,“ dengan santainya dan seolah tanpa dosa beliau berkata-kata, entah sadar atau tidak kata-katanya begitu kontradiktif. Ya kalau Ibu habis dari kantor Dinas, gimana saya nyarinya, Bu? Jaraknya dari sekolah ini saja dua kilometer juga ada. 

“Bentar lagi saya ke kelas, kamu ambil Al-Quran di mushola buat satu anak satu. Gak bisa bawa sendiri. Minta bantuan temenmu,“ lanjutnya lalu masuk kembali ke Ruang Guru.

Aku mau jujur saja lah. Dengan sangat berat hati aku kembali naik ke kelas, memanggil wakil ketua kelas, turun lagi ke mushola di lantai 1, mengambil dua tumpuk Al-Qur’an sebanyak dua puluh lima buku, membawanya lagi ke kelas di lantai 4. Me-le-lah-kan.

Lima menit, sepuluh menit berlalu, yang ditunggu tak kunjung datang. Atas desakan warga kelas yang budiman lagi, aku dipaksa kembali turun untuk menemui sang Ibu Guru Yang Terhormat.

“Mad, kamu aja gih yang turun. Gantian,“ perintahku kepada Ahmad si wakil ketua kelas tanpa nama panjang yang entah kenapa dari dulu semua anak panggil dia Mamad, aku jadi ikut-ikutan.

“Ogah, kan ente ketua kelasnya. Lagian tuh guru orangnya sewot, males.“

Lihat selengkapnya