Re:

AvaRe
Chapter #3

Dongeng 2 - Manusia, Mengapa Kita Ada

Re:

Saya sering berpikir, untuk apa saya dilahirkan sebagai manusia. Meski saya yakin bahwa jiwa saya adalah seekor kucing. Dalam agama masa kecil saya, saya di doktrin bahwa manusia adalah makhluk paling mulia, melebihi malaikat, seorang khilafah atau pemimpin di bumi. Meski kini yang ada hanyalah sebuah pertanyaan :“kalau manusia adalah pemimpin bumi, mengapa mereka masih berbuat kerusakan bukannya melindungi?”

Buddha berkata, bahwa dilahirkan menjadi manusia adalah sebuah keberuntungan yang luar biasa. Tapi saya bukan orang yang beruntung. Kalau boleh memilih, saya ingin jadi air saja. Mengalir, tanpa beban. Mau jernih, atau kotor penuh lumpur tak akan protes. Mau dia dibuat bersuci, atau cebok sehabis boker, tak akan protes. Malah air memberi kehidupan di muka bumi ini. Apa jadinya kita tanpa air?

Manusia di mata saya tak lebih hanya sekumpulan makhluk kerdil sombong yang merasa ‘paling’ dalam banyak hal.

Pernahkah kamu mendaki gunung atau bukit? Tidak perlu yang tinggi. 2000 meter diatas permukaan laut saja. Atau bahkan cuma beberapa ratus meter dari permukaan desa terdekat.

Bisakah kamu melihat sebuah kota dari atas puncaknya. Bisa. Tapi apakah kamu bisa melihat ribuan manusia yang berjejalan disana? Tidak. Menemukan dimana rumahmu pun pasti akan sangat sulit.

Padahal hanya dilihat dari puncak gunung, manusia sudah tampak seperti amuba yang butuh diteropong lewat mikroskop. Bagaimana kalau dilihat dari tempat Tuhan yang sering digambarkan berada jauh di atas sana? Tapi begitulah manusia, sombongnya minta ampun.

Tapi Tuhan kan bukan manusia? Ya jelas bisa lihat lah.

Ya sudah kalau begitu.

Saya diam.

Ray

Akhir-akhir ini aku sering kepikiran, sejak kapan aku jadi manusia yang suka mempertanyakan? Makin kesini kok rasanya diriku semakin menjadi manusia super menyebalkan yang menentang segala sesuatu. Tapi tidak. Aku tidak menentang. Hanya mempertanyakan. Dan aku mengharapkan sebuah atau beberapa buah jawaban. Bukan cercaan.

Kalau di tarik kembali, semua berawal dari zaman SD dulu. Aku lupa kapan tepatnya, mungkin sekitar kelas 5 SD. Itu adalah pertanyaan menyebalkan dariku yang (kemungkinan besar yang) pertama.

Seperti plot cerita sebelumnya, waktu itu sedang pelajaran agama. Cuma bedanya, kali ini aku suka gurunya.

Pak, mana yang benar. Manusia pertama itu Nabi Adam, atau manusia purba-nya Darwin?“ (Karena jaman itu sedang populernya teori Evolusi punya Darwin di antara teman-teman di sekolahku).

Dan tentu saja, karena itu pelajaran agama, siapapun pasti sudah tahu jawabannya. Namun yang disayangkan, pertanyaan itu masih menghantuiku hingga kini. Bahkan aku sudah beberapa kali berdiskusi (atau berdebat) dengan berbagai orang dari banyak latar belakang, tapi tetap saja belum ada jawaban yang memuaskanku.

Mungkin aku akan terus bertanya.

Mungkin sampai mati.

Mungkin aku harus nunggu ketemu malaikat.

Mungkin aku harus nunggu dipertemukan sama Tuhan.

Kalau memang ada.

Atau kalau aku gak berakhir jadi daging barbekyu duluan.

Re:

Sering pula saya berpikir, apa sih istimewanya label “Manusia“?

Jika saya membuka kamus bahasa Indonesia, manusia memiliki arti ‘makhluk yang berakal budi’. Lalu, benarkah manusia itu adalah makhluk yang berakal budi?

Mark Twain pernah berkata, Dua hari terpenting dalam hidupmu, adalah hari dimana kamu dilahirkan, dan hari dimana kamu menemukan alasan mengapa kamu dilahirkan.

Saya pribadi belum menemukan jawaban atas pertanyaan besar itu.

Mengapa saya dilahirkan sebagai manusia?

Apakah ada misi khusus?

Entahlah. Saya bukan Nabi yang mengemban misi mencari pengikut. Lagipula (katanya) tak ada nabi di jaman modern.

Saya bukan orang suci, dan tak ingin memiliki label suci.

Bukan orang baik yang dengan sukarela membantu sesama.

Bahkan bisa dibilang, saya lebih bangga melabeli diri saya sebagai brengsek yang akan berbuat sesuka hati saya, yang tanpa sadar hobi mengkoleksi dosa, baca buku sampai ketiduran, atau boker sambil nonton Youtube. Tapi yang jelas, saya sadar kalau saya lahir sebagai manusia bukan hanya untuk mengulang siklus kuno yang membosankan: lahir-sekolah-kerja-nikah-punya anak-punya cucu-mati.

Tapi coba kita lihat manusia secara umum. Kita lahir sebagai manusia, tapi apa benar kita sekarang sudah hidup sebagai manusia? 

Jadi seperti apa manusia itu sebenarnya? Sudahkah kita berakal budi? 

Lalu sebuah pertanyaan lagi. Apa itu akal budi? Akal budi berasal dari dua kata: akal dan budi. Akal adalah alat berpikir atau daya pikir; jalan atau cara melakukan sesuatu; kemampuan melihat atau cara memahami lingkungan. Budi adalah alat batiniah untuk menimbang baik-buruk; benar-salah.

Ah, sial. Banyak yang sering protes kepada saya, “Kalau tanpa agama, memangnya kamu mau membedakan baik-buruk dari mana? Belajar moral dari mana?”

Itu adalah …—maaf—entah pertanyaan, atau statement yang paling sampah yang paling sering saya dengar.

Kita terlahir sebagai manusia saja, sudah cukup untuk kita memiliki kemampuan membedakan baik-buruk sesuatu. Karena kita punya otak untuk berpikir. Tidak perlu dicerca doktrin seperti itu pun kita akan mampu membedakan baik-buruk sesuatu. Ilmu tentang itu, bisa kita dapatkan dimanapun. Lewat orang tua, lingkungan, adat, budaya. Agama hanya salah satunya, bukan satu-satunya. Tapi yang lebih penting, kita mempelajari dari diri kita sendiri. Dari kesadaran diri sendiri.

Doktrin, menurut saya, hanyalah diperuntukkan kepada mereka yang malas, atau tidak mampu berpikir. Sia-sialah Tuhan memberi otak bagi manusia. Apa bedanya dengan mengajari anjing saya untuk duduk dan pura-pura mati?

Ray

►[Ray, sibuk gak? Kesini dong, bantuin,]

Sebuah pesan whatsapp dengan nama pengirim yang tertulis Bang Adi tiba-tiba nongol di layar ponselku yang senantiasa selalu hening kecuali ada notifikasi game. Bisa dibilang, Bang Adi adalah marketing studio tato kecil-kecilan yang berhasil berdiri dari hasil patungan antara aku, Bang Adi, Bang Wisnu, dan Mbak Rara yang juga satu-satunya artis tato cewek di studio kami.

[Ngapain? Kan aku libur hari ini,]◄

►[Iya, sori banget. Bentar aja. ]

►[Ini ada klien minta di tato, tapi maunya sama kamu,]

►[ dia datang dari luar pulau katanya..]

[Hah?]◄

[ Bilangin besok aja lah,]◄

[sekarang orangnya lagi libur.]◄

►[Gak bisa, nanti malem udah terbang pulang.]

[Ngerepotin orang aja,]◄

►[Yaelah, rejeki, bro..]

►[Jangan gitu lah. Udah sini buruan. Orangnya nungguin.]

[Aduh, gimana ya…]◄

[Bang?]◄

[Bang Adi?]◄

Lihat selengkapnya