Ray
"Ray pinjem korek," Mas Wisnu menepuk pundakku dari belakang, sedikit mengejutkanku yang tengah fokus membuat sketsa desain tato.
"Noh," jawabku sambil menunjuk ke arah tas pinggangku di meja seberang.
Mas Wisnu segera meraih tasku, membukanya dan mencari-cari korek di dalamnya. Ia lalu mendudukkan diri di kursi sambil memandangiku yang tengah menggambar.
"Huh~" Mas Wisnu menarik napas panjang.
"Bantuin ngomong sama Rara, Ray," ujarnya setelah terdiam agak lama. Kulirik Mas Wisnu, tak ku jawab, lalu aku kembali fokus pada kertas di hadapanku.
"Ray ..." celetuk Mas Wisnu kemudian saat tahu aku tidak menanggapinya. "Bingung banget ini, sumpah."
"Ya aku juga gak ngerti, Mas. Itu kan masalahnya Mas Wisnu sama Mbak Rara. Aku mah tau apa ..." jawabku akhirnya.
Oke. Sedikit cerita singkat. Aku sudah pernah menyinggung soal Mas Wisnu dan Mbak Rara di bab sebelumnya. Ya. Mereka adalah salah-dua orang yang bekerja di studio tato yang sama denganku. Mas Wisnu bisa dikatakan sebagai leader dan dia adalah tato artis yang paling terkenal di studio ini. Bahkan, sering client-clientnya rela datang jauh-jauh dari luar kota atau bahkan luar pulau hanya demi di tato oleh Mas Wisnu. Mungkin alasan lainnya juga karena Mas Wismu memang satu-satunya tattoo artist di studio ini yang pernah menyabet penghargaan kompetisi tato tingkat internasional.
Mbak Rara gak jauh berbeda. Dia adalah satu-satunya tato artis cewek di studio ini atau mungkin di kota ini (seenggaknya itu yang aku tahu waktu kita ikut tattoo gathering, belum pernah ketemu tato artis cewek selain mbak Rara yang berasal dari kota yang sama). Karena itu, dia juga lumayan terkenal. Apalagi dikalangan cowok-cowok yang mau ditato. Lumayan, sekalian dapet servis katanya.
Tetapi sudah hampir menjadi rahasia umum, eh, mungkin bukan. Tetapi sesuatu yang disebut "rahasia" itu sudah diketahui oleh semua penghuni studio tato ini bahwa Mas Wisnu menyukai Mbak Rara. Dan semua juga tahu, bahwa Mas Wisnu sudah berencana untuk melamar sang wanita idaman. Namun sayangnya sekitar empat hari yang lalu terjadi sebuah konflik kecil di antara mereka karena kesalahpahaman.
Hmm, baik. Akan aku ceritakan dulu apa yang terjadi beberapa jam yang lalu lalu. Seperti biasa, pagi itu adalah hari yang sepi. Tentu saja. Apa yang kalian harapkan dari sebuah studio tato kecil di sebuah kota yang juga kecil? Ini bukan mall. Dapat tiga atau lima client sehari itu sudah lumayan banyak. Kami berempat; aku, Mas Wisnu, Bang Adi, dan Mbak Rara tengah berkumpul di ruang depan studio. Waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi. Hal yang jarang kita semua sudah berkumpul disini. Meski begitu, saat itu kami sedang sibuk sendiri-sendiri, aku sibuk dengan manga (komik Jepang) yang sedang kubaca di ponselku. Bang Adi tengah asik menelepon sambil jongkok di depan konter kasir. Mbak Rara sedang duduk di sofa di sampingku sambil menggambar desain di kertas. Mas Wisnu … entah sedang apa. Dia tampak sibuk di balik meja kasir, tubuhnya tertutup layar komputer yang besar itu. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang ia lakukan.
Tak lama, Mas Wisnu beranjak dari kursinya, dan berjalan perlahan ke arah kami. “Ra,“ ujarnya memanggil Mbak Rara.
“Hm?“ jawab Mbak Rara tanpa menoleh.
“Ngobrol yuk,“ Mas Wisnu memberi kode kepada Mbak Rara untuk keluar bersamanya.
“Hah? Apaan?“ Mbak Rara meletakkan pensil di tangannya. “Disini aja, ada apa sih?“ lanjutnya.
Belum sempat Mas Wisnu menjawab, pintu depan studio tiba-tiba dibuka oleh seseorang. “Ada yang bisa dibantu, Mas?“ Bang Adi beranjak menghampiri lelaki yang tampak bingung itu.
“Oh, Ra!“ ujarnya, mengabaikan pertanyaan Bang Adi sambil melambaikan tangannya ke arah Mbak Rara. Senyum lebar merekah di wajah Mbak Rara. “Boby? Katanya masih nanti sore?“ ujar Mbak Rara sambil menghampiri lelaki bernama Boby itu. Kulirik Mas Wisnu yang juga tengah melirikku. Matanya menatapku seolah sedang berkata, “siapa itu?“ Aku hanya mengangkat bahu, tak tahu-menahu.