Re:

AvaRe
Chapter #7

Dongeng 6 - Langkah Pertama Perjalanan Pulang

Re:

Saya sudah pernah bertanya sebelumnya. Sebagai manusia, untuk apa kita dilahirkan? Lalu, untuk apa kita hidup? Apa yang ingin kita raih? Kesuksesan? Kebanggaan? Kebahagiaan?

Saya teringat satu kalimat yang berbunyi, Ubi dubium, ibi libertas. Yang berarti kurang lebih, dimana ada keraguan, disana ada kebebasan. Tapi simpan dulu untuk nanti.

Disini, ini adalah titik awal. Mulai dari sini, saya akan mengajak anda untuk mengambil langkah pertama untuk mengenali diri anda sendiri, mengenali esensi seorang manusia, mengenali diri anda sebagai partikel kecil di alam semesta, mengenali asal muasal anda … mengenali kemana tempat pulang anda nantinya.

Dan mungkin dari sini, apapun yang akan saya ceritakan akan sulit diterima oleh kebanyakan orang. Maka, silahkan akhiri saja disini jika anda merasa tidak ingin menerima apapun yang akan saya ceritakan nantinya. Karena, ini bukanlah sebuah perjalanan yang mulus. Perjalanan ini akan penuh gelombang, jalan berlubang, penuh rintangan. Saya tidak mau anda nanti merasa mabuk perjalanan. Tetapi jika anda merasa sudah siap, pasang sabuk pengaman, dan mari kita mulai perjalanan ini.


Selamat datang di bus karyawisata Re:

Mari kita mulai dari titik awal, perjalanan panjang mengenai kehidupan.



Ray

“Ray, lo kapan ada hari libur? Sabtu besok libur gak? Atau Minggu?” tanya Hugo, lelaki blasteran Chindo-Ambon berkacamata dengan tinggi badan yang gak tinggi-tinggi amat, dan dengan badan yang agak lumayan melebar kesamping, seperti namanya, Hugo … huge. Dia dulu adalah teman kuliahku.

“Kenapa emang?” tanyaku balik. Aku tidak sengaja bertemu dengan Hugo saat sedang mengantri nasi goreng di abang di ujung persimpangan jalan, tepat di depan ruko milik keluarga Hugo. Sekarang sudah pukul delapan malam, dan aku kelaparan. Karena di rumah hanya ada mie instan, dan aku sudah makan mie instan selama lima hari berturut-turut, kurasa tidak baik untuk memakan menu yang sama lagi selama berhari-hari, jadi kuputuskan untuk (dengan berat hati) pergi keluar. Kan bisa order makanan online? Oh, tidak. Aku paling anti order online kalau hanya untuk diriku sendiri. Berat di ongkos. Entah ini hanya aku saja atau tidak, tetapi aku tidak pernah mendapatkan promo atau diskon kalau hanya beli dalam jumlah sedikit. Belum memenuhi syarat dan ketentuan kalau kata aplikasinya. Ya, aku kan super hemat. Jadi lebih baik beli langsung saja. Dan, disanalah aku bertemu dengan teman kuliahku dulu itu, toh dia memang kadang ada disana buat bantu-bantu keluarganya jaga toko.

“Naik gunung, yuk,” ajaknya. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal, “Yah … gimana, ya … .”

“Ayolah. Mumpung liburan udah selesai nih. Lumayan gunung sepi,” Hugo masih bersikeras dengan muka yang berseri-seri. Ya, dulu aku memang beberapa kali naik ke gunung bersama dengan dia. Kebetulan, Hugo adalah anggota organisasi Mapala di kampusku. Aku? Bukan, hanya pastisipan yang kadang cuma ikut-ikutan saja. “Lo gak kangen apa naik gunung? Kapan terakhir naik?” cercanya.

“Udah lama, sih,” jawabku malas-malasan.

“Nah, makanya itu. Ayo udah.”

“Nah, makanya itu. Gue kayaknya udah gak kuat,” balasku sambil menirukan nada bicaranya, dan dibalas dengan satu pukulan di punggungku.

“Ah, bullshitGue aja dengan badan segini kuat kok. Badan lo kan atletis. Ayolah …” Hugo terus merayu. Aku cuma diam sambil menggelengkan kepala.

“Eh iya, ngomong-ngomong, gue kan diminta buat ngebina ekskul kayak Mapala gitu di sekolah adek gue, nah, gue ngomong ke guru penanggung jawabnya gitu, kalo ada temen gue yang lebih jago dan cocok soal masalah kepergunungan, dan itu elo, hahaha,” cerita Hugo sambil tertawa lebar.

“Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Iya, jadi gue ngomong kalau lo cocok jadi pembina disana. Nanti kalau ada pertemuan lagi, gue hubungi ya, oke?” Aku makin bingung mendengar ucapan Hugo. “Maksud lo apaan? Kenapa seenaknya gitu? Gue gak ngerti apa-apa, sialan,” aku mengeluarkan emosiku pada Hugo yang hanya cengar-cengir seolah tanpa dosa itu.

“Udah-udah, pokoknya gitu deh,” katanya lagi, lalu buru-buru mengendarai motornya dan pergi sebelum aku sempat membalasnya lagi.

Sialan. Apa coba maksudnya? Sudahlah, lupakan dulu masalah ini. Nasi gorengku sudah jadi. Aku kelaparan.

Setelah mendapatkan nasi gorengku, segera aku kembali pulang dengan langkah yang cepat. Kulupakan saja ucapan Hugo barusan, yang penting sekarang segara mengisi perutku yang sudah meraung-raung keroncongan sejak tadi.


Mimpi indah di hari Mingguku tiba-tiba terpotong saat kudengar suara gedoran pintu di depan rumahku, diselingi gonggongan anjingku yang sudah pasti menandakan ada orang asing di depan. Dengan masih setengah sadar, kuraih ponsel untuk mengecek jam berapa sekarang. Setengah tujuh. Siapa sih pagi-pagi begini?

Dengan nyawa yang masih terkumpul tiga perempat, aku berjalan dengan langkah yang malas untuk membuka pintu.

“Siapa ya?” tanyaku seraya memutar slot kunci. Di balik pintu, sudah berdiri seonggok eh, maksudku sesosok anak manusia bertubuh lebar dengan senyuman yang juga sama lebarnya.

Lihat selengkapnya